Prof Dr Ascobat Gani MPH DrPH: Health is Human Right and Investment

Pdpersi, Jakarta – Sosok lelaki itu memasuki ruangan. Setiap karyawan yang ada dari level terendah hingga tinggi, berdiri menyambut sekaligus menyapanya. Senyum dia tebar, pun tak lupa membalas sapa. Kharismatik, begitu penilaian pdpersi.co.idsaat mengikuti Prof Dr Ascobat Gani MPH DrPH memasuki gedung dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, di kawasan Depok.

“Pribadi yang penuh perhatian” adalah benang merah ucapan yang meluncur dari bibir para karyawan FKM-UI. Dan memang, kehangatan memancar selama wawancara khusus, Rabu (21/2) pagi, dengan Prof Ascobat (begitu pdpersi.co.id memanggilnya-red).

Suatu hal kontradiktif mungkin, mengingat reputasi Prof Ascobat yang “konon” kerap berseberangan dengan kebijakan pemerintah. “Bukan berseberangan sesungguhnya, saya hanya meyakini apa yang benar sesuai dengan disiplin ilmu yang saya pelajari,” cetusnya.

Begitulah Prof Ascobat, pribadi idealis yang tidak menilai sesuatu hanya dari sudut pandang “uang”. Public Health lah, yang melandasi setiap pemikirannya. Untuk mewujudkan itu, dia rela bersusah payah dengan inisiatifnya sendiri, plus mencari dana sendiri, menyebarkan idenya ke 12 propinsi.

Jelas, dia tertuntut sebagai anak bangsa yang diberi “kelebihan” dibanding anak bangsanya yang lain. Bukan sekedar NATO (Not Action Talk Only) atau tenggelam dalam dunia kampus, dia turun untuk merealisasikan impiannya: meningkatnya derajat kesehatan masyarakat Indonesia…

Cita-cita Combat Warrior

“Waktu kecil saya sudah bercita-cita jadi dokter,” ucapnya. Lelaki kelahiran Takengon Aceh, 27 September 1946 ini bercerita, keinginannya ini tak lebih untuk membalas perbuatan dokter gigi yang mencabut giginya. “Saya bilang sama ibu, saya mau cabutin gigi semua dokter,” kenangnya.

Namun ketika remaja, keinginan itu padam. Yang menggelegak didadanya adalah cita-cita untuk jadi combat warrior. Apalagi warna kehidupan masa kecilnya dipoles perang saudara DI/TII-TNI. “Bapak saya mengungsi ke Medan, ibulah yang mengurus semuanya. Bahkan waktu Takengon dikuasai TNI, dalam pengungsian saya terpisah dari keluarga.”

“Saya membayangkan ikut perang terbuka, face to face war,” ujarnya. Selepas SMP di Takengon, Ascobat muda merantau ke Jakarta berbekal cita-cita menjadi serdadu. Namun usianya saat lulus SMA tahun 1964 belum memenuhi syarat masuk Akademi Militer Nasional. Dia pun banting stir dan ikut test Perguruan Tinggi.

“Saya lebih tertarik masuk fakultas teknik daripada kedokteran,” katanya. Ascobat lulus test di kedua fakultas. Tapi niatnya masuk fakultas teknik gagal, sebab keluarganya lebih berminat dirinya menggeluti dunia kedokteran. “Jadilah saya dokter…” ucapnya.

Kehidupan merantau yang keras menempa pribadi Ascobat sehingga menjadi pribadi tangguh dan kuat. Semasa SMA (SMA Muhammadiyah Jl Limo Kebayoran), dia terpilih menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah Kebayoran. Di Fakultas Kedokteran dia menjadi aktivis beberapa organisasi seperti GMNI. Ascobat pun tercatat sebagai salah satu pilar berdirinya Media Aesculapius (media kemahasiswaan FKUI-red).

Untuk survive, dia menjadi pedagang beras di Banten. Membeli beras hingga dua truk di desa Pagelaran, Ascobat lalu mendropnya ke daerah Banten. “Ke perkebunan milik pemerintah atau PTP. Yang jelas karena kesibukan ini-itu kuliah saya terganggu,” ucapnya. Tujuh tahun adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran UI.

Anggaran Kesehatan = Semangkok Bakso

Dalam perjalanan berikutnya, anak ke lima dari sembilan bersaudara ini sempat meramaikan bursa calon menteri kesehatan di era Abdurrahman Wahid. Namun gagal, entah karena dianggap terlalu vokal atau pertimbangan-pertimbangan lain.

Lalu apa yang menonjol dari Prof Ascobat sehingga dia sempat dilirik untuk jabatan prestisius tersebut? Yang pasti, selama kurang lebih dua jam obrolan bersama pdpersi.co.id, ide- ide murni dan berani yang diolah dari disiplin ilmu yang dipegangnya, mengalir deras. Plus, Prof Ascobat bukan cuma orang yang berbicara pada paparan retorika saja, rasa idealisme membawa dia terjun langsung ke lapangan tanpa pamrih.

“Terpinggirnya bidang kesehatan, merupakan akibat konsep pembangunan kita,” tegasnya. Dia menunjuk jaman Soekarno, dimana sektor kesehatan adalah sektor yang terpuruk. “Jaman Soeharto, kita begitu terobsesi dengan pembangunan sektor ekonomi. Investor diundang masuk, berharap ada akumulasi modal, employment, atau terkenal dengan theroetical down effect. Tapi jadi kebablasan” ulasnya.

Di jaman Soeharto, ulas Prof Ascobat, kesehatan menjadi sektor gurem. “Hanya 2,5 persen dari total anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk kesehatan. Itu sebesar empat dolar atau 36 ribu rupiah perkapita pertahun, harga sekali makan bakso di Gang Kelinci!” cibirnya.

Saat  pdpersi.co.id melampirkan kenyataan bahwa di masa orde baru dibangun tujuh ribu Puskesmas, 21 ribu Puskesmas pembantu, 6800 Puskesmas keliling, penempatan 54 ribu bidan di desa, 250 ribu Posyandu dan 600 rumah sakit pemerintah, Prof Ascobat mengajukan argumentasi lain.

“Tapi kenapa dengan pembangunan fisik yang sedemikian massif, angka kematian ibu dan anak lebih tinggi dari Vietnam atau Srilanka? Balita kurang gizi tak pernah turun dari angka 3,5 persen, 60 persen ibu hamil kita kena anemia, artinya ini hanyalah fisik tanpa biaya operasional. Pembangunan fisik kan hanya soal kontrak-mengontrak, tapi kinerjanya jelek!” tukas Prof Ascobat.

Subsidi untuk Public Goods

Gamblang Prof Ascobat berujar, sebenarnya konsep kesehatan yang pernah dibuat pemikir bangsa sudah sangat bagus mendekati sempurna. Dia mengulas seperti, Sistem Kesehatan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kesehatan, Panca Karsa Husada, Panca Karya Husada, UU Kesehatan Nomor 23 tahun 1992, bahkan saat dipimpin Prof Moeloek ada Paradigma Sehat, Menuju Indonesia Sehat 2010 dengan empat strateginya.

“Perfect! tapi dengan implementasi semangkok bakso pertahun, omong kosong!” cetusnya. Dana kesehatan yang kecil itupun, tukas Prof Ascobat, dialokasikan dengan strategi yang salah. Menurut Prof Ascobat, pelayanan kesehatan itu terbagi menjadi dua, yaitu Privat Goods dan Public Goods. Privat Goods adalah pelayanan kesehatan yang hanya berguna untuk diri sendiri, tanpa ada manfaatnya untuk orang lain.

“Pelayanan macam ini jangan dibebankan pada dana publik (subsidi-red),” ungkapnya. Dia mencontohkan, orang yang merokok hingga berpenyakit bronkhitis jangan dibayar oleh pemerintah. “Tak usah bagi-bagi obat, biarkan sesuai mekanisme pasar,” tekan Prof Ascobat.

Subsidi, menurutnya, dialokasikan pada public health atau pelayanan kesehatan yang bermanfaat pada orang banyak. Misalnya, lanjut ayah dua anak ini, adalah imunisasi. Jika seorang anak diimunisasi maka dengan sendirinya akan memutus mata rantai infeksi. Atau mengatasi malaria bukan dengan bagi-bagi obat, melainkan intervensi pemerintah dengan penyemprotan sarang nyamuk atau perbaikan prilaku masyarakat.

“Kita mesti melihat secara komprehensif! Sehingga intervensi-intervensi terjadi pada determinan yang sangat strategis. Artinya, ini dapat menjadi daya ungkit yang besar,” katanya lagi. Apa yang terjadi selama ini, tutur mantan dekan dua periode FKM-UI, adalah sebaliknya. Sehingga pemerintah selalu berkutat pada penanganan kuratif, bukan promotif atau preventif.

60 Juta Dollar AS untuk Ratusan Puskesmas

Contoh terbaru tindakan tak tepat ditinjau dari sudut health economy dan termasuk kesalahan prioritas, ungkap Prof Ascobat, adalah rencana pembelian kapal rumah sakit sebesar 60 juta dollar AS per unit. “Wah, berapa besar biaya operasionalnya? Untuk menjalankan kapal, pelayanan medis, lalu saat kapal berhenti di pelabuhan?” ucapnya masygul.

Dirinya pun tak yakin jika penduduk mau berbondong-bondong ke pelabuhan. Jika masalahnya aksesibilitas, Prof Ascobat lebih setuju jika uang tersebut dibagi-bagikan ke Puskesmas, digunakan untuk membayar dokter sewajarnya (melalui insentif-red), membeli obat bermutu baik, dan membuat poli emergency sederhana.

“Uang 60 juta dollar AS ini bisa membantu ratusan Puskesmas selama krisis enam hingga delapan tahun ke depan. Kalau dihabisin untuk satu kapal, saya tak setuju!” putusnya.

Diluar itu, toh Prof Ascobat sempat gembira manakala Menkes & Kesos di berbagai kesempatan menyatakan secara eksplisit bahwa sehat itu adalah Hak Azasi Manusia, hal yang memang menjadi impiannya sejak dulu. Tapi begitu melihat banner raksasa yang dibentangkan dari puncak Monas, hatinya serasa tertonjok.

“Sponsornya joss! Wah, saya marah betul, padahal sudah sempat senang. Bagaimana itu, selalu saja tak lepas dari naluri-naluri komersil,” keluhnya.

Health is Human Right, Health is Investment

Sebelum memulai pembangunan kesehatan, ulas Prof Ascobat, bangsa ini harus menyepakati dua hal. “Pertama, kesehatan itu hak azasi atau bukan? Kalau ya, harus ada produk hukum yang menyatakan bagi bangsa Indonesia, bahwa Health is Human Right!”, ungkapnya. Alasannya, kesehatan adalah hak kodrati dari keberadaan manusia, deklarasi HAM internasional juga menyebut secara spesifik bahwa kesehatan adalah hak azasi manusia, dan konstitusi WHO 1948 menyatakan Health is a Fundamental Human Right.

Hal ini, tukas Prof Ascobat, belum tampak dalam UUD 45 atau UU Kesehatan Nomor 23 tahun 1992. “Yang kedua, bangsa ini harus sepakat bahwa Health is Investment,” ucap Prof Ascobat. Dia berargumen, dengan hitungan statistik sederhana dirinya bisa menunjukkan bahwa nilai ekonomi kerugian akibat sakit para penduduk di sebuah kabupaten/propinsi dalam setahun, ada yang melampaui Pendapatan asli Daerah (PAD).

Tapi untuk mencapai dua hal yang diimpi-impikannya itu, Prof Ascobat mengakui banyak kendala dan butuh nafas panjang. Dia juga sadar, otonomi daerah mampu menjadi ancaman serius bagi pembangunan kesehatan. Inilah yang membuatnya berinisiatif road show ke propinsi- propinsi seraya menawarkan paradigma pembangunan kesehatan.

“Saya banyak teman. Jika mereka mau bantu, memberi saya tiket, makan dan bantal, maka saya akan berangkat!” tegasnya. Ketika pdpersi.co.id bertanya alasan apa yang membuatnya begitu menggebu menawarkan idenya, Prof Ascobat dengan nada serius berujar,”Saya sudah memilih Public Health, apa yang dilakukan adalah tuntutan profesi. Tujuan Public Health adalah menyehatkan penduduk secara massal, kalau hal itu tidak saya lakukan, maka saya harus keluar dari Public Health.”

Prof Ascobat sadar bahwa masalah utama rakyat negeri ini adalah kemiskinan dan ketidakmerdekaan 201 juta rakyatnya. Ilmu kedokteran saja tak cukup untuk menyelesaikan masalah ini, karena lebih luas dari sekadar penyakit fisik, biologis dan mental. “Ini yang membuat saya tertarik mempelajari ekonomi kesehatan,” ucapnya.

Tapi siapa sangka, filosofi hidup untuk mengabdi pada anak bangsanya sedikit banyak dipengaruhi buku “Not As A Stranger” karya Morton Thomson. Buku ini menceritakan seorang pemuda miskin dari lingkungan kumuh yang sekolah di fakultas kedokteran. Pemuda bernama Lukas ini hampir putus asa untuk melanjutkan studinya. Tapi seorang profesor berhasil menggugah semangatnya hingga Lukas berhasil menjadi dokter. Di ending cerita, sang profesor berujar pada Lukas;

Lukas now you became a doctor But let me tell you, it is not Tubercolosis, it is not cancer, it is not diarrhea, it is not skin infection, the most worst desease you have to treat But it is poverty…

Dan Prof Ascobat, mengejewantahkan “tantangan Lukas” dalam api semangatnya, semangat yang semoga tertular pada anak bangsanya yang lain…

Sumber : http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=550&tbl=figur

LYH / Gilang

Link kiriman Yusradi Usman al-Gayoni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Assalamu’alaikum………..
    Mohon Ma’af Prof, apakah bisa sharing mengenai pendidikan (akademik) dengan Bapak, saya asli Putra Tanoh Gayo, Takengon, Aceh Tengah, dengan jujur saya ingin mengikut jejak Bapak, Terimakasih
    wassalam, Joni MN