Padang | Lintasgayo.com – Di era modern guru dituntut tidak hanya mengajarkan teori di depan kelas, tetapi diharapkan dapat menjadi pelopor dan motivator utama agar siswa aktif menulis. Guru yang menulis buku atau karyanya dipublikasikan di media massa akan menjadi contoh bagi siswa untuk turut pula berkarya.
“Banyak di antara guru yang belum menulis, sebatas mengajarkan teori menulis di kelas, tetapi takut memunculkan karya mereka di publik, apalagi menerbitkan buku atau mengirimnya ke media massa,” ujar Muhammad Subhan, Pegiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang tampil sebagai narasumber dalam diskusi bulanan Majelis Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bidang Studi Bahasa Indonesia tingkat SMA/MA se Kota Padang, Jumat (13/9), di ruang pertemuan Dinas Pendidikan Kota Padang, Sumatera Barat, dan dihadiri 30-an peserta.
“Ketakutan” sejumlah guru itu, sebut Muhammad Subhan, didasari beberapa faktor, di antaranya kebuntuan ide menulis, merasa tidak mampu menulis, frustasi akibat karya yang dikirim ke media ditolak redaktur, dan berbagai sebab lainnya.
“Alasan yang paling banyak diungkapkan adalah ketiadaan waktu lantaran sibuk mengajar dan sibuk mengurus rumah tangga karena mayoritas guru adalah perempuan,” kata Muhammad Subhan yang juga seorang jurnalis dan penulis itu.
Menurut Muhammad Subhan, sibuk merupakan alasan umum bagi banyak orang. Tetapi seorang guru, apalagi yang mengajarkan bidang studi bahasa dan sastra Indonesia, bila tidak menulis kreatif dan tidak menerbitkan karyanya, dirasakan ada sesuatu yang kurang lengkap.
“Nyatanya banyak ditemui, guru yang bukan mengajarkan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tetapi mereka menulis karya sastra. Di satu sisi hal itu tampak aneh, tetapi di sisi lain ini hendaknya menjadi dorongan bagi guru bidang studi bahasa dan sastra Indonesia untuk aktif menulis karya sastra,” ungkapnya.
Selain mendiskusikan tentang fenomena banyak guru bahasa dan sastra Indonesia yang minim menulis karya sastra, pada kesempatan tersebut didiskusikan pula kiat-kiat menulis cerita pendek (cerpen). Sebuah cerpen yang menarik, menurut Muhammad Subhan, penulis mampu mendramatisir konflik dan lihai menuturkan cerita.
“Cerita tanpa konflik seperti makanan tanpa bumbu, terasa hambar,” ujarnya.
Sementara salah seorang peserta diskusi, Daswita dari SMA Negeri 7 Padang mengatakan, setiap kali dia menulis cerpen selalu melalui tahapan pengendapan naskah, yaitu menyimpan naskah dalam jumlah waktu tertentu. “Namun masalahnya, setelah diendapkan dan ketika saya membaca kembali cerpen itu, bermunculan ide-ide lainnya sehingga saya bingung harus menempatkan di mana ide-ide yang muncul itu,” ungkapnya.
Apa yang dialami Daswita itu, didiskusikan bersama guru-guru lainnya dan mayoritas guru berkesimpulan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang lumrah dan selayaknya terjadi dalam proses tulis-menulis.
“Begitulah, menulis tidak boleh instan, maka mengendapkan naskah dalam waktu tertentu akan menambah bobot naskah. Di saat membaca kembali naskah yang sudah diendapkan lalu bermunculan ide-ide baru, penulis jangan bingung. Hendaknya ide-ide dipilah mana yang layak masuk atau disimpan untuk menggarap tulisan yang baru,” tambah Muhammad Subhan.
Diskusi itu diakhiri dengan tugas menulis cerpen singkat dan masing-masing cerpen yang ditulis dibacakan oleh penulisnya lalu didiskusikan. Tindaklanjut dari pertemuan tersebut, MGMP Bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia SMA/MA Kota Padang merencanakan menerbitkan buku cerpen karya guru. (Rel/LG1)