Mengutip pemberitaan di salah satu situs berita Gayo beberapa tahun lalu, www.gayolinge.com yang ditautkan ke catatan jejaring sosial Facebook www.facebook.com/GAYOKU, tentang pertemuan yang dilakukan pada Senin malam, 30/11/2009 lalu di Gedung kuliah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Universitas Gajah Putih, dimana saat itu Yusra Habib Abdul Gani, menjadi pembicara kunci tentang Kegayoan dalam kuliah terbuka.
Berbagai kalangan Aceh Tengah hadir saat itu seperti aktivis kampus ,LSM, wartawan, dosen, seniman, PNS dan sejumlah kalangan lainnya. Yusra Habib, pria asal Kampung Kenawat Kecamatan Lut Tawar yang telah bertahun-tahun berada diluar negeri dan menjadi warga Negara salah satu Negara Eropa, Denmark, mengulas berbagai hal.
Mengawali diskusi, Yusra Habib menyatakan, ada karakter masyarakat Gayo yang dalam keadaan terjepit baru menunjukkan potensi dan kemampuan intelektualnya. “Ini harus dirubah, bagaimana caranya potensi masyarakat Gayo yang cerdas dikembangkan dan diaplikasikan demi Gayo kedepan. Untuk itu, masyarakat Gayo harus merubah diri dan terbuka”, kata Yusra dalam bahasa Gayo yang fasih.
Menurut Yusra Habib, ada penyakit masyarakat Gayo, yakni sulit bersatu dan terkotak-kotak dan kurang menghargai keberhasilan dan karya orang lain.”Ini harus dirubah, jika selama ini kebanyakan masyarakat Gayo selalu melakukan keberhasilan seorang diri (single fighter), kini harus didukung oleh komponen lainnya. Jika ingin maju dengan filosofi Gayo dan blue printnya yang jelas sehingga bisa diukur parameter keberhasilan dan ketidakberhasilan”, tegas Yusra Habib.
Akibat tidak adanya kekuatan kolektip masyarakat Gayo, lanjut penulis artikel di harian yang terbit di Aceh ini, hubungan moral dan emosional kurang sesama pribadi masyarakat Gayo yang harus segera dirubah dengan memulai kekuatan kolektif tanpa pandang batasan urang-urangan dan belah atau klan yang ada di Gayo demi Gayo kedepan dengan mengutamakan professional, keahlian dan penghargaan.
Salman Yoga M Ag, dosen Gajah Putih dan IAIN Ar Raniry Banda Aceh, mempertanyakan karakter masyarakat Gayo yang dinilainya belu berubah, yakni, masyarakat Gayo cerdas melihat masalah, lambat mengkongkritkan solusi dan lemah mengiplementasikan solusi.
Menjawab hal ini, menurut Yusra, perlu otokritik bagi karakter yang negative ini dengan lebih sering berdiskusi, membuka diri dan meniru cara berpikir dan bertindak masyarakat maju didunia. “Kita perlu meniru cara berpikir Yahudi yang kompak dan memiliki jaringan didunia antara masyarakat Yahudi, dimanapun mereka berada untuk membangun”, kata Yusra sembari menjelaskan cara berfikir seperti itu patut dicontoh untuk bersatu dan tetap mengedepankan aturan agama dan adat sebagai pijakan bertindak.
Yusra Habib mencontohkan, jika melihat semrawutnya pembangunan pemukiman dan pertokoan di Aceh Tengah, menurutnya pembangunan tanpa konsep seperti itu tidak lebih baik dari pemukiman Dayak.
“Tapi kita tidak boleh menyalahkan siapapun. Ini kesalahan kolektif kita yang tidak punya blue print yang jelas. Mari membuka dan memperbaiki diri demi masa depan”, papar Yusra.
“Jika masyarakat Gayo mengaplikasikan apa yang sudah tersimpan dalam pemikiran masyarakat Gayo kedepan yang disimpan dalam lirik petatah petitih, ratusan dan puluhan tahun silam, kita mungkin terlebih dahulu ke bulan”, cetus Yusra Habib seraya mencontohkan sebuah lirik lagu atau didong Gayo yang dinyanyikan Ramlah tahun 1960, petikannya, Sige kupasang berkite oloh….ini bermakna untuk mencapai bulan, diperlukan tehnologi dan instrument.”Barulah tahun 1969 Amerika bisa mencapai bulan dengan tehnologi”, kata Yusra. Dan banyak hal lain yang perlu diungkap dan diriilkan dalam dunia nyata.
Membangun ekonomi, lanjutnya, nenek moyang Gayo sudah memiliki konsep yang jelas dengan peribahasa Gayo, “ Beras padi tungket imem. Gadung Kepile pegerni keben”. Yang berarti, ketersediaan pangan (padi) mutlak harus dibangun sebagai basis ekonomi kerakyatan walau saat ini jumlah sawah terus berkurang sehingga beras untuk warga Aceh Tengah sebagian besar didatangkan dari Pesisir Aceh.
Setelah ekonomi kuat, rinci Yusra, Gadung Kepile pegerni keben bermakna perlunya diversipikasi ekonomi rakyat dengan tanaman komersial yang layak jual atau eksport, seperti kopi dan komoditas lainnya. “Tapi sayang, meski kopi Gayo, buah, batang dan akarnya di Dataran Tinggi Gayo, namun pemiliknya adalah Belanda yang menguasai paten kopi Gayo”, pungkas Yusra kecewa.
Dalam kesempatan kepulangan pertama Yusra ke Gayo tersebut juga digagas pertemuan masyarakat Gayo sedunia yang direncanakan berlangsung pertengahan tahun 2010 lalu. Menurutnya Aliansi Masyarakat Gayo sedunia perlu dilaksanakan untuk mempertegas keberadaan masyarakat Gayo di dunia.
Sayangnya, hingga kini niat yang sebelumnya mendapat dukungan luas dari banyak elemen sipil di Gayo tersebut belum terlaksana. Padahal sejak tahun 2009 lalu mulai muncul kekhawatiran sekaitan dengan sejumlah persoalan keidentitasan Gayo seperti bahasa yang mulai punah, adat budaya yang mulai luntur, serta dari mana sebenarnya Urang Gayo itu berasal. Lain lagi persoalan pengelolaan sumber daya alam yang belum maksimal serta rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Banyak pihak berharap, dengan temuan sejumlah benda peninggalan penghuni Tanoh Gayo masa lalu di Loyang Mendale oleh peneliti dari Balai Arkeologi Medan dapat dijadikan sebagai momentum kebangkitan Urang Gayo dalam segala bidang. Terutama untuk bersatu dan lebih membuka diri.(Red)
Nge delenen komentar, kritik gere mari mari. KO YUSRA hrs munerah masa pra dan pasca komplik dan berani menatap kenyataan siara dimana tanganmu sendiri yg menganyam.
Upet gere mari mari seolah dirimu nge paripurna. kebiasaan nyarut mujadi modal utk munetahi bangsa , ethnismu sendiri, apa mungkin ? Arake iejerni Islam cara carama.
Win ! Tobat sebelum terlambat, ike ara keihklasanmu tetahi, ike gere i paren. Enti arapnge i angkatko masalah lantas ulak ku Denmark , kami siisien dewe.
Omong tdk akan mengantarkan sebuah Bangsa kemana mana, tapi KERJA nyata.Memang hal bersifat Theoritis perlu tapi oya pelin gere genap.