Hal ini dapat dilihat dengan dikerahkannya sejumlah warga dan Kepala Desa dari beberapa desa di sekitar stasiun penelitian Ketambe, yang telah dimanfaatkan oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap staf BPKEL yang berada distasiun penelitian Ketambe, pada hari Selasa 19 April 2011 lalu.
Ditulis Fauzan, pengerahan masyarakat beserta Kepala Desa dari beberapa kampung seperti desa Lawe Mengkudu, Simpur, Seldok, dan Parit Kurul tidak ada bedanya dengan politik “devide et impera” atau politik adu domba di zaman Belanda. Lebih disesali lagi hal ini dilakukan oleh aparat jajaran Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk memanfaatkan masyarakat desa demi mencapai tujuannya untuk mengintimidasi staf BPKEL di stasiun Penelitian Ketambe.
Ditegaskan Fauzan, BPKEL juga telah berkoordinasi dengan Bupati Aceh Tenggara untuk mempertanyakan mengenai izin pelibatan sejumlah warga masyarakat beserta kepala desa tersebut dan kaitannya dengan peristiwa intimidasi kepada staf BPKEL di stasiun penelitian Ketambe.
Seperti disampaikan sebelumnya kejadian tersebut terjadi pada hari Selasa, 19 April 2011, staf BPKEL yang berada di Stasiun Penelitian Ketambe telah diintimidasi oleh sejumlah orang bersenjata yang ditenggarai diperalat oleh Staf BBTNGL.
“Peristiwa yang terjadi merupakan bukti nyata, bahwa Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemenhut tidak mengakui kekhususan otonomi Aceh yang telah ditetapkan dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh didalam pengelolaan sumber daya alam Aceh oleh Pemerintah Aceh,” kata kombatan GAM, Panglima Wilayah Linge ini.
Fauzan juga memaparkan bahwa UU No. 11/2006 lahir dari proses perdamaian antara Pemerintah RI dengan GAM. Tidak mengakui UU No. 11/2006, adalah sama halnya tidak ingin menciptakan perdamaian di Aceh tetap terwujud. Hal ini merupakan salah satu bentuk tipu Jakarta kepada Aceh.
Pengelolaan KEL oleh Pemerintah Aceh telah disebutkan secara tegas didalam Pasal 150 UU No. 11/2006. Pengelolaan tersebut dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfataan secara lestari. Pemerintah Aceh, melalui Pergub No. 52 tahun 2006 telah membentuk BPKEL untuk melakukan pengelolaan KEL di wilayah Provinsi Aceh.
Terhadap masalah ini, lanjutnya, pihak BPKEL telah memberikan laporan kepada Gubernur Aceh. BPKEL juga melakukan protes keras atas tindakan aparat Kementerian Kehutanan yang tidak menghormati UU No. 11/2006 dan proses perdamaian di Aceh.
Kepada pihak Kepolisian, khususnya Polres Aceh Tenggara, Fauzan meminta untuk mengusut tuntas dan menghukum aktor intelektual serta pelaku insiden yang terjadi pada Selasa, 19 April 2011. Khusus terhadap hal ini, BPKEL juga telah menyampaikan laporan langsung kepada Menteri Kehutanan, DPR dan DPD RI serta Menkopolhukkam. (rel)
Hal ini dapat dilihat dengan dikerahkannya sejumlah warga dan Kepala Desa dari beberapa desa di sekitar stasiun penelitian Ketambe, yang telah dimanfaatkan oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap staf BPKEL yang berada distasiun penelitian Ketambe, pada hari Selasa 19 April 2011 lalu.
Ditulis Fauzan, pengerahan masyarakat beserta Kepala Desa dari beberapa kampung seperti desa Lawe Mengkudu, Simpur, Seldok, dan Parit Kurul tidak ada bedanya dengan politik “devide et impera” atau politik adu domba di zaman Belanda. Lebih disesali lagi hal ini dilakukan oleh aparat jajaran Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk memanfaatkan masyarakat desa demi mencapai tujuannya untuk mengintimidasi staf BPKEL di stasiun Penelitian Ketambe.
Ditegaskan Fauzan, BPKEL juga telah berkoordinasi dengan Bupati Aceh Tenggara untuk mempertanyakan mengenai izin pelibatan sejumlah warga masyarakat beserta kepala desa tersebut dan kaitannya dengan peristiwa intimidasi kepada staf BPKEL di stasiun penelitian Ketambe.
Seperti disampaikan sebelumnya kejadian tersebut terjadi pada hari Selasa, 19 April 2011, staf BPKEL yang berada di Stasiun Penelitian Ketambe telah diintimidasi oleh sejumlah orang bersenjata yang ditenggarai diperalat oleh Staf BBTNGL.
“Peristiwa yang terjadi merupakan bukti nyata, bahwa Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemenhut tidak mengakui kekhususan otonomi Aceh yang telah ditetapkan dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh didalam pengelolaan sumber daya alam Aceh oleh Pemerintah Aceh,” kata kombatan GAM, Panglima Wilayah Linge ini.
Fauzan juga memaparkan bahwa UU No. 11/2006 lahir dari proses perdamaian antara Pemerintah RI dengan GAM. Tidak mengakui UU No. 11/2006, adalah sama halnya tidak ingin menciptakan perdamaian di Aceh tetap terwujud. Hal ini merupakan salah satu bentuk tipu Jakarta kepada Aceh.
Pengelolaan KEL oleh Pemerintah Aceh telah disebutkan secara tegas didalam Pasal 150 UU No. 11/2006. Pengelolaan tersebut dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfataan secara lestari. Pemerintah Aceh, melalui Pergub No. 52 tahun 2006 telah membentuk BPKEL untuk melakukan pengelolaan KEL di wilayah Provinsi Aceh.
Terhadap masalah ini, lanjutnya, pihak BPKEL telah memberikan laporan kepada Gubernur Aceh. BPKEL juga melakukan protes keras atas tindakan aparat Kementerian Kehutanan yang tidak menghormati UU No. 11/2006 dan proses perdamaian di Aceh.
Kepada pihak Kepolisian, khususnya Polres Aceh Tenggara, Fauzan meminta untuk mengusut tuntas dan menghukum aktor intelektual serta pelaku insiden yang terjadi pada Selasa, 19 April 2011. Khusus terhadap hal ini, BPKEL juga telah menyampaikan laporan langsung kepada Menteri Kehutanan, DPR dan DPD RI serta Menkopolhukkam. (rel)
teken lagi tu mou helsinki