by

Fenomena “Ngalo Upahen be Karo” di Aceh Tenggara

Ardiansyah_Putra

Oleh: Ardiansyah Putra*

Kabupaten Aceh Tenggara sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh dengan Luas 423.141 Ha yang 85,63 % wilayahnya merupakan Kawasan Ekosistem Leuser. Hanya 14.37 % dari total luas lahan yang digunakan dalam berbagai peruntukan, termasuk diantaranya untuk lahan sawah yaitu 17.455 Ha yang diupayakan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di kabupaten Aceh Tenggara yang 87,72 % diantaranya hidup dari sektor pertanian. Kabupaten Aceh Tenggara terdiri 16 kecamatan, 5 kemukiman dan 385 desa dengan jumlah penduduk 218.360 jiwa, terdiri dari 56.034 Kepala Keluarga dimana 83% diantaranya berusaha dalam sektor pertanian dalam arti luas.(Sumber: acehtenggarakab.go.id).

Melihat kondisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakat di Kabupaten Aceh Tenggara memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari dari bidang pertanian secara umum seperti menanam padi, jagung, budidaya kakao, karet, perikanan dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentunya ketersediaan lahan, kemampuan teknik budidaya (SDM), tata kelola, dan kepihakan terhadap usaha pertanian sangat dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara sosial, budaya dan ekonomi.

Fenomena yang menarik lebih kurang satu dekade belakangan adalah “Ngalo Upahen be Karo” yang dilakukan oleh banyak masyarakat dari berbagai desa di Kabupaten Aceh Tenggara. Ngalo upahen be Karo adalah suatu pekerjaan yang dilakukan masyarakat untuk bekerja sebagai butuh tani di tanah karo pada musim panen (Padi,jagung, dsb). Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara mandiri.

Melihat fenomena diatas memang cukup ironis, dikerenakan desakan secara ekonomi masyarakat harus melakukan migrasi dan bekerja sebagai buruh tani di Tanah Karo. Kegiatan ini dilakukan masyarakat sudah cukup lama dan sepertinya akan terus menerus dilakukan bila pemerintah daerah tidak peduli. Dalam hal ini pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara seolah tutup mata dengan fenomena yang terjadi ini.

Berdasarkan Visi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Aceh Tenggara adalah “Menjadi Penggerak Pembangunan Pertanian Profesional dan Mensejahterakan Petani dengan Sistem Agribisnis Berkelanjutan. .(Sumber: acehtenggarakab.go.id). Melihat visi pemerintah sangat baik, namun sangat disayangkan dalam menjalankan misi untuk mewujudkan hasil yang diingikan sangat buruk.

Bila visi diatas dapat dijalankan secara baik dan benar, maka seharusnya kemandirian secara ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat dan tidak ada lagi seharusnya “Ngalo Upahen be Karo” yang dilakukan oleh masyarakat Aceh tenggara lebih kurang satu dekade belakangan.

Hal ini menunjukkan adanya indikasi penyimpangan dalam proses untuk mewujudkan hasil yang diinginkan. Indikasi ataupun faktor yang membuat hasil tidak baik diantaranya adalah 1.) Tata kelola yang buruk, 2.) Sumber daya manusia (SDM) yang kurang, dan 3.) Keberpihakan terhadap petani tidak ada. Ketiga hal tersebut bisa dijadikan indikasi penyebab tidak berhasilnya program yang direncanakan pemerintah daerah pada pola kegiatan pertanian.

Bung Karno pernah mengatakan “ Pangan adalah soal hidup matinya bangsa”, artinya adalah jika kita ingin hidup maka kedaulatan pangan harus dapat teratasi dengan baik dan benar. Fenomena “Ngalo Upahen be Karo” yang terjadi saat ini di Kabupaten Aceh Tenggara seharusnya menjadi tamparan yang keras bagi pemerintah bagi pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif.

Eksekutif sebagai pihak yang mengimplementasikan program seharusnya melakukan dengan baik dan benar dengan melibatkan multipihak agar program berjalan dengan baik dan kemandirian ekonomi dapat dirasakan  masyarkat dalam sektor pertanian. Legislatif sebagai penyambung lidah rakyat seharusnya peka terhadap fenomena memilukan yang sedang terjadi ditengah-tengah masyarakat.Melihat begitu kompleksnya persoalan pertanian yang terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara, maka semua pihak harus duduk bersama untuk kembali melihat persoalan dengan jernih agar persoalan yang terjadi dapat teratasi dengan cepat dan tepat.

Kebijakan tata kelola pertanian harus dibenahi, penguatan sumberdaya manusia (SDM) sampai tingkat akar rumput harus ditingkatkan, pola pertanian terpadu dan padat karya harus dilakukan dan keberpihakan terhadap petani harus dilakukan. Dengan demikian kemandirian serta kemapanan secara ekonomi, sosial dan budaya dapat dirasakan oleh masyarakat. Maka kemudian masyarakat dapat berdikari secara ekonomi tanpa harus “Ngalo Upahen be Karo”.

*Alumni Institut Pertanian Bogor. sekarang Peneliti di LKPM Pandawa Indonesia. Tinggal di Kutecane.

Comments

comments