Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
Di saat para pemimpin jauh dari nilai-nilai Islam maka Ulama lah yang memberi nasihat dan peran Ulama sangatlah penting. Sabda Rasulullah saw bahwa ulama adalah pewaris para Nabi (HR. Tirmidzi)
Aceh adalah tanah para aulia, tanah para wali dan tanah para ulama yang termayshur sampai penjuru dunia. Dari masa ke masa aceh terus melahirkan para-para ulama penuh dengan kharismatik. Tanah Aceh diberkahi dengan lahirnya para-para Ulama.
Beribu-ribu jumlah ulama di Bumi Aceh ini dan namanya pun bukan hanya terdengar di bumi Aceh ini tetapi nama-nama ulama Aceh terdengar keseluruh penjuru dunia, hanya saja manusia zaman sekarang kurang dekat dengan para ulama bahkan ada yang anti dengan ulama dan tidak lagi mendengar nasihat para ulama.
Aceh sampai saat sekarang ini masih kental dengan nilai-nilai Islam tapi zaman terus berubah dan begitu juga dengan nilai-nilai Islam tersebut sedikit-demi sedikit nafas Islam di bumi Iskandar Muda ini terus terkikis dari rakyat Aceh. Kawula muda tidak lagi mengindahkan aturan Allah swt dan Sunnah Rasulullah, begitu juga dengan para pemimpin di Aceh ini tidak lagi mendengar suara para ulama mereka lebih mementingakan suara politik dan lebih mementingkan hukum manusia daripada hukum Allah swt.
Kita pasti masih ingat dengan lambang Aceh yang berbentuk hewan, para ulama di Aceh dengan nada keras menolak lambang tersebut tapi para umara di Aceh ini seakan telah tuli dan buta terhadap jabatan serta runtuhnya nilai iman sehingga mereka tidak mendengar suara ulama dan mereka tetap menjadikan lambang hewan tersebut menjadi lambang Aceh.
Dan baru-baru ini kita digemparkan dengan pemberitaan Syari’at Islam diganti menjadi Dinul Islam, para kalangan akademisi dari beberapa PT di Aceh dan beberap penulis ternama lainnya tidak ketinggalan menulis opini mereka di Harian Serambi dan puncaknya ialah Rekomendasi dari para HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) dalam Mubes ke-2 yang dilaksanakan pada tanggal 29 November 2013-1 Desember 2013 di Asrama Haji Banda Aceh.
Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) menolak ganti kata Syari’at menjadi Dinul Islam, adapaun dasar penolakan tersebut ialah:
a. Kata Syari’at lebih mengarah dibandingkan kata Dinul Islam yang memiliki makna lebih luas.
b. Tugas kecil saja belum bisa ditunaikan secara maksimal, bagaimana mungkin mengajukan diri untuk mengerjakan tugas yang lebih besar.
c. Mengenai sistem syari’at yang diterapkan di Aceh, pemerintah Aceh hendaknya dapat memperhatikan cita-cita para ulama seperti mendengar rekomendasi ulama.
Itulah beberapa rekomendasi dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) kepada pemerintah Aceh untuk tidak mengganti nama Syari’at Islam kepada Dinul Islam, namun kita tidak tahu apakah suara Ulama kita di dengar atau tidak oleh Umara-umara kita yang dipilih rakyat.
Namun perlu kita ketahui bahwa Islam di Aceh ini tidak akan selamat jika suara-suara Ulama kita tidak didengar, Islam di Aceh akan selamat tinggal dengan keserakahan dan kerakusan pemimpinnya terhadapa kemerlapnya kemewahan duniawi. Kita tidak ingin Islam di Aceh seperti di Andalusia (Spanyol), disana Islam pernah Berjaya dan sekarang hanya tinggal kenangan. Semoga Allah memberikan Hidayah kepada pemimpin kita serta mau mendengarkan suara-suara Ulama kita.
*Penulis: Kompasianer dan Kolumnis LintasGayo.com