Oleh: Hanif Sofyan*
Seiring perkembangan dinamika dayah di Tanah Gayo, para ulama makin intens menyoal kualitas pendidikan dayah, termasuk soal kesejahteraan para pengelolanya, serta peran sertanya dalam pembangunan. Sejak lama dayah berkutat dengan soal materi bahan pengajaran yang ekslusif, meskipun inilah sebenarnya inti dari ranah dayah itu sendiri. Karena perubahan zaman juga berimplikasi pada perubahan arah kebijakan para ulama dalam memaknai perubahan. Apakah dayah kelak akan diarahkan menjadi lebih modern, dengan penerapan kurikulum yang sesuai dengan pendidikan formal lainnya, atau tetap bertahan dengan ciri khasnya yang tradisional?.
Dalam semangat kearah perubahan yang lebih baik, para ulama dayah di Aceh Tengah dalam pertemuan pertama 22 September 2014, bertempat di pesantren Darul Mutta’alimin, menyepakati dibentuknya wadah yang bakal menjadi medium bagi para ulama untuk bersinergi membangun dayah menjadi basis pendidikan yang tidak sekedar ‘sambilan’, namun menjadi alternatif yang mencerahkan dalam rangka membangun basis penguatan syariah utamanya di Aceh Tengah.
Saat ini setidaknya terdapat 48 dayah yang tersebar di sebagian Tanoh Gayo khususnya di Aceh Tengah, 16 buah merupakan dayah lama, 26 baru dan 6 lainnya adalah dayah terpadu.
Perubahan dayah kearah modernisasi masih menimbulkan dilematis antara pro dan kontra, satu sisi para ulama berpendapat, keberadaan dayah salafi yang lama menjadi ikon kesejatian sistem pengajaran harus dipertahankan. Disisi lain, perkembangan terkini mengharapkan dayah juga bermetamorfosis menjadi institusi yang mengikut perkembangan zaman. Namun disinilah letak tantangan terbesarnya,ketika dayah dikuatirkan tergerus oleh modernitas dan kehilangan nilai-nilai sakralnya.
Dan untuk menjembatani berbagai dinamika persoalan itu, maka para ulama dayah bersepakat untuk melahirkan wadah Perhimpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Aceh Tengah yang kelak juga menjadi ‘gerbong’ bagi para ulama untuk menyatukan visi dan pandangan dalam mencermati perkembangan dan perubahan zaman yang sedikit banyak berpengaruh pada keberadaan dayah dan masa depannya kelak. Badan ini akan merumuskan berbagai kebijakan dan solusi untuk memposisikan dayah dengan materi yang tradisional,namun tidak ketinggalan dalam perkembangan ilmu dalam kekinian zaman.
Wadah ini sekaligus mencarikan jalan keluar bagi persoalan paling krusial yang mengerucut dalam inisiasi awal pembentukan wadah para ulama dayah, terutama soal masih parsialnya kerja para ulama di Aceh Tengah. Mereka bekerja secara terpisah dan masing-masing disibukkan dengan aktifitas didayahnya. Koordinasi yang tidak intens sehingga perkembangan mutakhir tidak secara cepat dapat diikuti oleh para pengelola dayah. Berbeda jika para ulama memiliki medium untuk saling berbagai informasi dan sharing untuk bertukar pendapat, bertausiah untuk mencari solusi masalah pemerintahan dan pembangunan, termasuk soal maraknya aliran sesat dan pendangkalan akidah dengan berbagai motif yang mencoba menyusup keseluruh nanggroe, termasuk di Aceh Tengah.
Bahkan dalam antusiasme kelahiran wadah baru ini juga dimaksudkan untuk meningkatan kualitas dayah sebagai institusi dan lulusan dayah sebagai sumber daya manusia yang Islami. Bahkan dalam peranserta yang lebih kompleks yang bersifat politis, keberadaan wadah ini menjadi posisi tawar, bargaining system agar para ulama dayah juga mampu berperan serta aktif berkontribusi untuk pembangunan. sekalipun persoalan politik kerapkali menimbulkan dilematis, namun peran ulama menjadi faktor kunci yang semestinya diperhitungkan, setidaknya peran mereka akan ‘mendinginkan’ panasnya suhu politik.
Dukungan pemerintah dalam hal ini juga sangat dibutuhkan, pendanaan, pembangunan infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia. Namun dalam hal ini juga tidak memaksakan dayah menganut sistem pendidikan formal, tetap disesuaikan dengan pengembangan kualitas santri, potensi dan kemampuan. Namun yang harus digarisbawahi ‘peran’ pemerintah dalam konteks ini tidak menjadikan para ulama dan dayah menjadi ‘terpenjara’ karena budi baik pemerintah. Namun justru menjadi tali penghubung silaturrahmi antara dayah, ulama dan pemerintahan. [hans-2015].
*Pemerhati Aceh