Sophisme Yunani dan Gayo Masa Kini

Oleh : Win Wan Nur*

Di masa kuno, Yunani dikenal sebagai pusat peradaban dan tempat munculnya ilmu pengetahuan. Pikiran manusia yang tadinya dikungkung oleh mitos dan takhayul oleh orang Yunani diruntuhkan dan diganti dengan nalar yang berdasarkan pada kekuatan akal. Sejarah kegemilangan peradaban Yunani, diawali oleh Thales, seorang filsuf kelahiran Miletos.

Dilanjutkan muridnya Anaximander dan Anaximenes yang memulai era bagi manusia untuk memahami alam dengan perantaraan akal. Meskipun pada saat itu pemahaman yang berdasarkan itu masih lebih banyak berdasarkan perenungan yang banyak berbau spekulasi, bukan dengan riset mendalam. Berikutnya muncul Herakleitos yang mengatakan bahwa semua yang ada di alam ini berasal dari satu anasir saja. Setelah sebelumnya pemikiran Yunani tertuju penuh ke alam besar, muncul aliran Elea yang memulai era bagi filsafat yang mengarah ke ‘alam kecil’ yaitu jiwa manusia. Lalu kemudian berturut-turut muncul Phytagoras yang sampai hari ini teoremanya masih digunakan dalam matematika sampai hari ini dan kemudian penelaahan kembali ke alam besar, dengan filsuf-filsuf seperti Empedokles, Anaxagoras, Leukippos dan Demokritos.

Perkembangan pengetahuan ini berimbas pada kemajuan peradaban dan kesejahteraan orang Yunani. Yunani dengan Atena sebagai ibukotanya mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan Perikles. Pemimpin yang dipilih secara demokratis.

Tapi kemudian muncul sisi negatif dari demokrasi. Dalam sistem demokrasi, orang-orang Yunani yang sejahtera dan merdeka, yang tidak disibukkan dengan bekerja. Semua memiliki hak berpendapat dan berbicara. Masyarakat menganggap seseorang hebat, kalau bisa berbicara di rapat umum dewan dan mendapat banyak dukungan. Alhasil semua orang pun berlomba-lomba untuk bisa berbicara. Dan inilah yang menjadi titik balik kemunduran bagi peradaban Yunani yang tadinya gilang-gemilang.

Athena yang makmur dengan penduduk yang semuanya kaya, orang hanya dianggap terkemuka jika buah pikirannya bisa diterima dalam rapat umum yang diselenggarakan secara reguler ini membuat Athena tampak laksana tambang emas bagi para guru-guru filsafat di seantero Yunani.

Filsafat yang tadinya dipakai untuk mendapatkan pemahaman mendalam sebagai penunjuk jalan kehidupan. Oleh para guru oportunis ini diubah menjadi barang dagangan untuk mencari penghidupan. Filsafat mulai mereka obral di jalan raya. Mereka menggambarkan seolah-olah ilmu itu begitu mudah dituntut oleh sembarang orang. Dan semua orang tidak pandang latar belakangnya apa, mulai berguru. Tua muda, besar kecil tidak dibedakan. Siapa saja yang sanggup membayar, boleh belajar. Para ‘pedagang’ inilah yang disebut sebagai guru sophis, para filsuf aliran Sophisme.

Oleh para guru sophis ini, semua kebenaran umum (universal) sebagaimana menjadi pokok telaah para filsuf sebelumnya ditiadakan, semuanya menjadi relatif. Mereka mengajarkan kalau tiap pendapat itu sifatnya subjektif, salah atau benar, tergantung dari sudut mana dipandang. Semua bangunan pemikiran dari filsuf sebelumnya mereka runtuhkan tapi mereka tidak membangun bangunan pemikiran baru.  Mereka menciptakan masalah tapi tidak menawarkan solusi. Sebuah pendapat dikatakan benar, kalau didukung oleh banyak orang. Karena itulah kebenaran hanya bisa didapatkan dengan RETORIKA.

Jadi, ilmu yang mereka jual dipinggir jalan ini bukanlah ilmu dalam pengertian sebenarnya sebagaimana yang diajarkan para filsuf sebelumnya. Melainkan mengajar orang berpidato alias bersilat lidah mempertahankan pendapat saja. Inilah sebabnya dulu Sokrates yang muncul pasca zaman Sophisme ini tidak setuju dengan demokrasi. Karena dalam demokrasi, suara seorang cendekiawan yang memiliki pengetahuan mendalam dan suara seorang pedagang asongan dipandang sama nilainya. Siapa yang pandai bersilat lidah, dan disetujui banyak orang. Dialah yang benar.

Tidak mengherankan, tidak lama kemudian peradaban Yunani yang gilang gemilang pun mengalami kemunduran. Athena jatuh dan kehilangan cahayanya.

“l’histoire se répète” (Sejarah berulang) kata orang Perancis

 

Sekitar 2500 tahun kemudian, apa yang terjadi di Yunani pada zaman sophisme ini terulang. Menariknya perulangan itu terjadi di tempat yang sangat jauh secara geografi, budaya dan skala peradabannya.

Gayo sebuah suku kecil dalam pengertian jumlah anggotanya, tinggal di pedalaman ujung timur Sumatera, telah eksis ribuan tahun sebelum peradaban Yunani ada.

Gayo sudah mengembangkan EDET, suatu sistem sosial kemasyarakatan mencakup etik dan moral. Yang sampai kedatangan Belanda, terbukti mampu menjadi panduan hidup dan  menjaga harmoni dalam hidup bermasyarakat.

Benturan datang dengan hadirnya Belanda. Tapi benturan paling dahsyat justru terjadi ketika Indonesia merdeka.

Pada zaman kolonial, Belanda memanfaatkan raja-raja Gayo untuk perpanjangan kekuasaannya. Oleh sebagian raja-raja ini, edet dimanipulasi sedemikian rupa.Digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Ketika Indonesia merdeka. Muncul sentimen anti feodalisme yang kemudian sampai kebablasan anti pada edet juga. Selain dianggap sebagai alat penjajah untuk menguasai Gayo sehingga tidak sesuai dengan semangat kemerdekaan. Edet juga dianggap kuno. Melawan edet dipandang sebagai sesuatu yang pro republik, revolusioner, berpaham progresif (termasuk dalam pemahaman agama) dan modern.

Untuk mempertegas modernitas Gayo ini, dilakukannlah aksi pembumi hangusan ‘Umah Pitu Ruang’ yang merupakan inti dari kehidupan sosial masyarakat Gayo. Sebagai gantinya dibangunlah rumah modern berbentuk ruko. Di Takengen, Tengku Abdul Jalil menegaskan, edet sekarang harus dibuang dan diganti dengan aturan Islam. Di Isak, kepala kantor urusan agama secara ‘revolusioner’ menikahkan pasangan yang berasal dari kampung yang sama. Sesuatu yang sangat tabu menurut edet. Alasannya, larangan menikah dalam satu kampung yang berdasarkan edet ini mengada-ada karena tidak ada dalam ajaran Islam (Bowen 1991).

Tapi kenyataannya, seperti kaum Sophis yang meruntuhkan segala semua bangunan pemikiran lama dari filsuf sebelumnya tapi mereka tidak punya penggantinya. Di Gayo juga sama. Mereka menghancurkan semua sistem edet yang sudah mapan. Tapi mereka tidak menyediakan sistem pengganti yang mantap yang bisa menjawab semua persoalan sosial kemasyarakatan Gayo.

Alhasil, generasi Gayo sesudahnya menjadi generasi Gayo yang hilang, yang gamang dan tak tahu kemana tempat berpegang.

Ketika saat ini demokrasi akhirnya menemukan bentuknya di Indonesia. Gayo mengalami hal yang persis sama seperti di Yunani di zaman Sophisme. Semua orang berhak berbicara dan berargumen. Dan seperti di Yunani 2500 silam, dalam berargumen tidak penting sedalam dan seberkualitas apa argumennya. Argumen yang dipandang benar, adalah argumen yang paling banyak mendapat dukungan. Inilah yang kita lihat dan kita baca dalam setiap poster dan baliho para Caleg yang bertebaran di segala penjuru Gayo. Para caleg adu jago dalam RETORIKA.

Satu benang merah yang menjadi penghubung antara Yunani dan Gayo. Masyarakat di kedua budaya ini berkarakter republikan, bukan feodal. Tiap orang menganggap diri sama pintarnya dengan yang lain dan tidak mengenal sikap tunduk 100% kepada seorang raja, karakter umum yang biasa kita temukan dalam masyarakat tradisional suku-suku di Nusantara. Termasuk tetangga pesisir kita.

Menariknya, di Yunani. Zaman Sophisme ini justru menjadi pembuka jalan bagi Yunani untuk memasuki zaman Klasik yang menetapkan dasar-dasar kebenaran, yang sebelumnya sudah diruntuhkan oleh kaum sophis. Dimulai dengan kemunculan Sokrates, dilanjutkan Plato dan disempurnakan oleh Aristoteles. Di zaman inilahpemikiran Yunani mencapai puncaknya. Pengaruh pemikiran Yunani di zaman klasik ini menguasai alam pikiran hampir semua manusia di seluruh planet bumi sampai 2000 tahun kemudian, di beberapa tempat bahkan sampai hari ini.

Gayo memiliki cerita yang mirip dengan Yunani di zaman Sophisme. Tapi ketika di Yunani zaman Sophisme terbukti mampu memunculkan tokoh seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles. Pertanyaannya, mampukah Gayo melakukan hal yang sama?.

Mampukah Gayo keluar dari kegelapan dan ketidak menentuan ini dan melahirkan tokoh-tokoh pencerah yang membuka jalan bagi kejayaan bangsanya dengan cara menggali segala kebijaksanaan dari warisan peradaban mereka?

Jawabannya ada pada kita, generasi Gayo hari ini.

Referensi

Hatta, Mohammad. 1982. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tintamas

Bowen, John R. 1991. Sumatran Politics and Poetics: Gayo History 1900 – 1989. New Haven and London: Yale University Press

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.