Oleh; Win Wan Nur*
Seperti yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, Gayo juga tidak terlepas dari menghangatnya tensi yang tercipta menjelang pemilihan presiden pada juli nanti.
Sepanjang sejarah berdirinya Indonesia, belum pernah terjadi pemilihan presiden yang seriuh rendah saat ini. Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pola kampanye pada pemilihan presiden. Saat ini media mainstream, bukan lagi satu-satunya sumber informasi untuk mengenal calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung di pemilu nanti. Media sosial, yang begitu mudah diakses menjadi alternatif baru bagi masyarakat yang ingin mengetahui informasi tentang para calon yang akan bertarung nanti. Dan ini terjadi merata di seluruh Indonesia, termasuk Gayo.
Berbeda dengan media mainstream yang informasinya bisa dipertanggung jawabkan dan bisa ditelusuri sumbernya dengan jelas. Informasi di media sosial sangat cair, karena orang bisa menulis apa saja dan yang menulis juga bisa siapa saja, tanpa ada kejelasan identitas. Sehingga dalam kaitannya dengan Pemilu Presiden ini, kita saksikan berbagai informasi tentang calon, mulai dari yang positif, negatif sampai kampanye hitam (Fitnah) berhamburan dengan bebasnya.
Karena itulah, sebenarnya ketika kita menerima informasi dari media sosial, terutama yang terkait dengan kampanye hitam (fitnah) kita harus lebih cerdas dalam menganalisa. Tapi sayangnya, ini tidak kita lihat pada para pengguna media sosial di Gayo. Rata-rata dari kita langsung menerima begitu saja informasi yang berisi fitnah terhadap kandidat yang tidak kita dukung. Bahkan informasi semacam kalau si ini jadi presiden Syiah akan merajalela, isu kristenisasi dan berbagai kampanye hitam lainnya langsung kita telan begitu saja tanpa saringan.
Dan yang paling ironis, kalau kita perhatikan, di Gayo, banyak sekali pendukung Capres-Cawapres yang tidak bisa melihat kekurangan dari Calon yang dia dukung. Seolah calonnya itu adalah dewa yang begitu suci tanpa cacat cela. Seolah, citra yang ditampilkan oleh kedua pasang calon ini dalam merebut simpati pemilih adalah fakta yang tak terbantahkan. Sampai-sampai, gara-gara debat tentang Capres ini, bisa jadi ribut sesama saudara. Seolah-olah kita sedang berjihad membela kebenaran yang disampaikan seorang nabi. Dan kalau kita tidak memilih calon yang mereka dukung, kita semua akan masuk neraka
Padahal kalau kita analisa dengan kepala dingin. Sebenarnya, para calon pada tahun ini tidak ada yang benar-benar ideal, masing-masing calon menyimpan kelemahan. Pada pasangan Jokowi – JK misalnya, Jokowi dulu pernah jadi sangat terkenal pada dukungannya terhadap produksi mobil ESEMKA, padahal ternyata itu adalah mobil buatan cina. JK, lebih parah lagi. Dalam pusaran kasus Century, JK kelihatan sekali tidak jujur pada tim ekonomi di masa pemerintahannya sebagai Wapres, yang pada kenyataannya justru menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi. Dan melihat pandangan-pandangan JK ketika menanggapi kasus Bank Century, terlihat sekali, JK memiliki pengetahuan yang sangat menyedihkan tentang ekonomi Makro.
Sementara pada pasangan Prabowo – Hatta, Prabowo memang selalu mencitrakan diri sebagai sosok yang tegas. Tapi, kenyataanya kita lihat, baru pada masa kampanye ini saja Prabowo sudah memperlihatkan sikap Mencla-mencle-nya. Contohnya, dulu ketika Pemilu Legislatif belum digelar, Prabowo dengan sengit mengkritik pemerintahan SBY sebagai pemerintahan yang korup. Tapi ketika pemilu legislatif berakhir, ketika suara partainya tidak cukup untuk mengusungnya ke kursi presiden, Prabowo tidak segan-segan menjilat ludahnya dengan mengatakan bahwa Pemerintahan SBY berhasil. Itu pula yang terjadi dengan pendapatnya terhadap Golkar.
Dan yang paling parah adalah dalam visi misi tentang ekonomi yang dia susun, di sana Prabowo – Hatta yang katanya anti asing ini menargetkan 10% pertumbuhan. Padahal untuk mencapai 1% pertumbuhan dibutuhkan 5,3% investasi. Jadi untuk 10% pertumbuhan perlu 53% investasi. Mau didapat darimana investasi sebesar ini kalau bukan dari asing?
Apalagi kita melihat, pada kubu ini bagi-bagi kursi kekuasaan ditampilkan secara sangat vulgar, sama sekali tidak ditutup-tutupi.
Jadi sebenarnya, kita masyarakat Indonesia (termasuk Gayo tentunya) akan berada dalam resiko yang sangat besar (terutama dalam bidang ekonomi) ketika dipimpin oleh salah satu dari kedua pasangan ini.
Tapi untungnya, demokrasi bukan hanya soal pemenang. Demokrasi juga tentang oposisi. Dalam demokrasi yang sehat, oposisi yang kuat justru seringkali lebih penting dari pemenang. Sebab dengan adanya oposisi yang kuat, pemerintah yang berkuasa tidak akan bisa seenaknya menerapkan kebijakan-kebijakan ekstrim yang bertentangan dengan aspirasi mayoritas rakyat. Karena setiap kali pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan seperti itu, bisa dipastikan, oposisi yang didukung oleh rakyat akan sekuat tenaga menggagalkannya.
Dan beruntunglah kita warga Indonesia, saat ini komposisi kedua kubu yang bertarung cukup berimbang. Sehinggga untuk Pemilu Presiden kali ini, siapapun yang menjadi pemenangnya. Presiden terpilih dan partai-partai pendukungnya akan menghadapi oposisi yang tangguh yang akan menjadi pengontrol segala kebijakan mereka.
Kali ini, siapapun nantinya berkuasa, bisa dipastikan mereka tidak akan bisa santai seperti pemerintahan SBY saat ini, dimana 80% kekuatan di parlemen ada di pihak penguasa.
Tapi karena negara kita tetap harus punya presiden, marilah kita memilih, janganlah kita Golput. Cuma kita warga Gayo, tidak perlulah ribut sesama kita sendiri hanya karena hajatan perebutan kekuasaan lima tahunan ini. Daripada mengedepankan emosi dalam memilih, mari lebih banyak kita gunakan akal sehat kita. Meskipun kedua pasangan ini tak ada yang ideal, mari kita pilih saja yang paling kecil mudharatnya.
*Pemerhati Sejarah dan Politik