Oleh : Sabela Gayo*
Tanoh Gayo memiliki sumber daya alam yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Gayo. Sumber daya alam tersebut hanya akan menjadi ”barang rongsokan” tanpa membawa manfaat apapun bagi kemakmuran seluruh rakyat Gayo. Kesejahteraan bukan hanya sebuah slogan yang selalu digunakan untuk menarik perhatian dan dukungan rakyat dalam setiap ”pesta demokrasi” lima tahunan baik tingkat kabupaten/kota/propinsi/nasional. Kesejahteraan harus diwujudkan dalam bentuk langkah nyata dan program kerja pemerintah yang tercantum dalam Rencana Strategis Kabupaten/Kota/Propinsi/Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Menengah dan Panjang baik kabupaten/kota/propinsi/nasional. Yang kemudian, semua rencana yang masih berbentuk ”mimpi besar (big dream)” tersebut diwujudkan dalam bentuk aksi nyata dilapangan melalui alokasi pendanaan yang tercantum di dalam buku Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baik kabupaten/kota/propinsi/nasional. Kekeliruan terbesar yang sering dilakukan oleh bangsa ini adalah ”kata-kata selalu tidak sesuai dengan aksi di lapangan”. Rencana sudah sedemikain bagusnya dibuat dengan melibatkan berbagai macam komponen masyarakat, menghabiskan dana yang besar dan bantuan teknis dari tenaga konsultan yang profesional dan berpengalaman. Tetapi sampai pada tahap eksekusi program, sebagian besar apa yang ada dalam buku perencanaan hanya akan menjadi arsip dan dokumen tertulis kosong yang tidak pernah dilaksanakan. Selalu saja ada ”intervensi” ditengah jalan yang dilakukan oleh ”orang-orang berkuasa dan berpengaruh” . budaya ”intervensi negatif” masih terus berlangsung sampai hari ini negeri ini sehingga mematikan daya nalar, kritis dan kreatif setiap anak bangsa. Semua itu harus diakhiri dengan dimunculkannya ide perubahan alternatif yang bersifat baharu sehingga mampu mengantarkan bangsa dan negara ini meraih kejayaan dan masa keemasaannya sebagai kekuatan ekonomi, sosial, politik dan budaya baru di tengah-tengah percaturan masyarakat internasional.
Gayo, sebagai sebuah komunitas etnis, memiliki sejarah yang panjang dan berliku di mana Gayo mengalami pasang-surut sejarah yang timbul-tenggelam seiring dengan perubahan geo-politik yang terjadi disekelilingnya. Gayo belum berhasil (kalau tidak mau dibilang gagal) dalam mempertahankan identitas dan entitasnya sebagai salah satu komunitas etnik yang memiliki peradaban tinggi di masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia maupun pada masa sekarang. Hal itu terlihat dimana hampir tidak ada satupun orang Gayo yang menduduki posisi penting di struktur pemerintahan baru yang dibentuk oleh Tgk Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada masa-masa awal pembentukannya. Wakil Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo juga bukan orang Gayo demikian juga posisi penting lainnya. Hal ini menyebabkan pengaruh politik Gayo memudar khususnya di tingkat percaturan lokal Aceh apalagi di tingkat Nasional Indonesia. Satu-satunya tokoh sosial-politik Gayo yang muncul pada saat itu adalah Tgk Ilyas Leubee yang menempati posisi sebagai Panglima Komando Militer Resimen Laut Tawar sebagai salah satu resimen tempur yang berada dibawah Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Padahal banyak sederet nama putra-putri terbaik Gayo yang dengan gagah-berani bertempur di garis terdepan dalam melawan penjajahan Belanda. Seperti diantaranya; Inen Mayak Teri, Panglima Perang Amin di Matangglumpang, Pang Akup, Pang Kule, Pang Kilet, Aman Dimot, Pang Sekunce, Tgk Saleh Adry, Datu Pining, Panglima Mude (Muhammad Berlian Bukit) dan seratusan lagi pejuang-pejuang lainnya yang belum sempat tertulis dalam sejarah Indonesia. Bahkan Bagura (Barisan Gerilya Rakyat) pimpinan Tgk Ilyas Leubee merupakan salah satu resimen tempur yang paling ditakuti lawan yaitu tentara Belanda dan disegani oleh kawan. Bagura berjuang menggempur posisi serdadu Belanda yang berusaha memasuki Aceh dari wilayah Tanah Karo sehingga terjadi lah pertempuran sengit antara Resimen Tempur BAGURA di daerah Tiga Binanga Tanah Karo sampai ke arah Medan Area. Terus bergerak maju ke arah sungai ular Perbaungan Sumatera Utara sehingga sampai ke Batavia. Resimen tempur BAGURA terlibat aktif dalam mengusir serdadu Belanda dari Batavia, hal ini tercatat dalam sejarah tertulis dibawah tugu monas Jakarta.
Kurangnya peran para intelektual pada masa-masa awal perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia menyebabkan posisi tawar Gayo menjadi pudar dan kian menghilang di telan bumi sampai kembali muncul seiring dengan dideklarasikannnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) oleh Tgk Hasan Tiro dimana salah satu pendukung kuat gerakan tersebut adalah Tgk Ilyas Leubee mantan Panglima Komando Militer Resimen Laut Tawar sekaligus ulama kharismatik di Tanoh Gayo dan Aceh pesisir. Melalui organisasi GAM tersebut diharapkan peran dan pengaruh Gayo akan kembali bersinar seiring dengan kuatnya komitmen GAM sebagai sebuah organisasi perubahan dalam mengembalikan harkat-martabat rakyat Aceh khususnya menempatkan posisi Gayo dalam kedudukan yang terhormat dan mulia karena dianggap sebagai representasi ”masyarakat asli Aceh” berdasarkan sejarah Aceh. Seiring dengan berjalannya waktu dan berubahnya jaman maka peta perpolitikan juga demikian dinamis dan sulit dibaca karena perubahannya terjadi setiap detik sesuai dengan kebutuhan ”pasar”, maka setelah ditandatanganinya perjanjian damai Memorandum of Understanding (MoU) antara RI dan GAM. Dengan adanya perjanjian damai itu ”memaksa” GAM untuk mentransformasikan dirinya kedalam salah satu kekuatan politik di Aceh. Dan pilihan cerdasnya adalah para eks kombatan mendirikan sebuah partai politik lokal yang sudah diakomodasi didalam UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh dan PP Partai Politik Lokal. Para eks kombatan mendirikan sebuah partai politik lokal dengan nama ”Partai Aceh” dan melalui pemilu 2006. Embrio dan jejaring cikal-bakal ”Partai Aceh” tersebut berhasil menghantarkan pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur dukungannya yang berasal dari kalangan independen yaitu Irwandi-Nazar. Dengan berubahnya peta perpolitikan di Aceh maka pengaruh dan peran sosial-politik Gayo sebagai salah satu komunitas etnis terbesar di Aceh diuji sekali lagi oleh kebutuhan ”pasar” apakah memiliki posisi tawar atau tidak dalam event-event politik besar.
Berbagai ujian dan tantangan berat yang dirasakan oleh rakyat Gayo sebagai salah satu komunitas etnis yang berperadaban seakan sedikit ”terobati” dengan adanya hasil sementara penggalian situs-situs arkeologi di Ceruk Mendale dan daerah-daerah sekitarnya di Aceh Tengah yang menyatakan bahwa sudah ada kehidupan di Gayo jauh sebelum 3500 tahun yang lalu. Hal tersebut didukung kuat dengan adanya bukti-bukti ilmiah berupa fosil-fosil manusia, gerabah dan barang-barang purbakala lainnya oleh para arkeolog. Hal itu seolah-olah kembali memompa semangat setiap jiwa orang Gayo untuk bangkit menatap masa depan dan meraih mimpi-mimpinya. Semoga hasil penelitian Ceruk Mendale dan tempat-tempat lainnya di Gayo dapat mengungkapkan tabir sejarah ”Siapa sebenarnya penduduk asli Aceh?” yang selama puluhan tahun masih kabur karena kurangnya bukti-bukti ilmiah. Penelitian Ceruk Mendale diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bukti ilmiah yang kuat sehingga mampu membawa Gayo sebagai komunitas etnis yang berdaulat diatas tanah nenek-moyangnya sendiri.
Banyaknya putra-putri terbaik Gayo yang telah mengorbankan jiwa dan raganya dalam membela kebenaran dan keadilan diatas permukaan bumi Aceh memberikan rasa kebanggaan tersendiri sebagai generasi muda dan penerus Gayo. Ditambah lagi dengan luasnya wilayah Gayo dengan berbagai sumber daya alam yang melimpah ruah seperti kopi, serai, sayur-mayur, Seni tari Saman yang telah diakui dunia, Kerajaan Islam Linge sebagai kerajaan terbesar dan terkuat di Aceh pada masa kejayaannya dahulu, dan terakhir dengan adanya hasil penelitian Ceruk Mendale semakin menegaskan rasa kebanggaan tersebut di mana Gayo ternyata merupakan penduduk asli di Aceh.
*1. Mahasiswa Program Ph.D.in Planning and Development of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia). 2. Wali World Gayonese Association (WGA).
mantap man.lanjutkan perjuangan,kami siap mendukung.
Perjuangan menyamakan persepsi tentang Gayo masih panjang, jaringan komunitas Gayo belum terajut, masih ada urang Gayo dibagian Timur Aceh yang belum merasakan apa artinya sebagai orang Gayo.