Oleh: Feri Julianto Selian*
“Sebutir lagi saja,” Terucap berulang-ulang di benak Zen sejak dia keluar dari rumah kayunya yang sudah lapuk di ujung desa yang tidak lagi penuh penghuninya 99 orang laki-laki.
Balik-balik dia keluar masuk dari dalam rumahnya berpikir – pikir tentang apa yang ingin dilakukannya dengan satu butir pelurunya ini, buntu sudah pemikirannya, dulu dia punya seratus peluru, semua sudah dia gunakan untuk berbagai macam hal yang tidak sebutirpun dari peluru itu tidak dia gunakan.
“99 sudah habis, tinggal satu, untuk apa ini,” katanya.
Sejak dia memiliki peluru, dia bertekad untuk menggunakannya untuk hal yang dianggapnya benar, belasan babi hutan sudah ditembaknya tepat dikepala, Babi-babi itu mengganggu kebun ubi penduduk desa, kini mereka meregang nyawa tidak berkutik dan ditusuknya dengan kayu runcing dan dia tancapkan di tengah jalan setapak, tempat babi-bai hutan itu sering lewat.
“Agar yang lain takut!” katanya.
Belasan yang lain dia gunakan untuk membunuh Anjing-anjing kampung liar yang ribut ditengah malam, mereka terkapar-kapar ditempat mati oleh Zen dengan keahliannya yang luar biasa memainkan senjata api, sebelum dia membunuhi anjing-anjing kampung itu beberapa orang tetua kampung datang menghadapnya untuk memintanya menumpas anjing-anjing kampung itu.
“Itu anjing bikin ribut saja, Zen,” kata tetua satu.
“Itu anjing najis dan membuat kampung tidak berkah, saudara Zen,” kata tetua dua.
“Itu anjing tidak layak tinggal dan berkeliaran di kampung kita, Bang,” kata ketua pemuda kampung.
“Peluruku masih cukup untuk membunuh anjing-anjing itu, namun kalian harus mengurus bangkai-bangkainya,” kata Zen.
Kesepakatanpun bulat, ditengah malam saat beberapa anjing bergerombolan untuk musim kawin, Zen diam-diam merayap diantara pepohonan nipah menyelinap bagai ular, menanti waktu yang pas untuk membidik anjing-anjing itu, Zen sangat percaya diri malam itu, dia yakin tak satu pelurupun akan meleset dan sia-sia.
Sayup-sayup dia mulai mendengar suara anjing-anjing itu mendekat, ketika anjing-anjing itu betul-betul sudah berada didekatnya, dia melompat dengan sigap dan melepaskan belasan peluru dengan cepat dan tangkas, betul saja, semua anjing-anjing itu meregang nyawa.
Pagi hari, warga desa riuh bertepuk tangan atas tindakan Zen, mereka bangga memiliki pemuda setangkas Zen di desa mereka, kabar inipun tersebar luas dikalangan warga kecamatan tentang Zen yang mahir membidik, semua orang mengelu-elukan dia sambil sebagian berteriak,
“Tidak ada lagi ancaman najis di desa kita,” kata seseorang.
“Aman sudah Ubi kita di ladang,” sahut yang lain.
“Terimakasih, Zen, Terimakasih, Zen, Terimakasih, Zen,” kata orang-orang.
Zen pulang dengan kebanggaan di hatinya, tidak ada imbalan dari bantuannya, entah apa yang dipikirkan Zen, sepertinya dia memang hanya ingin membidik, dia tidak butuh imbalan, cukup dipuji saja sudahlah cukup, tak perlu uang, tak perlu emas.
Namun, belakangan beberap orang pemilik anjing sudah tidak lagi memiliki pekerjaan, anjing mereka mati, babi hutan sudah habis, mereka tidak lagi dapat menyewakan anjing mereka untuk menjaga kebun-kebun ubi warga, warga sudah tidak lagi butuh kepada anjing, mereka sudah punya Zen yang mahir membidik.
Sementara Zen dijamu dengan begitu meriahnya oleh warga, beberapa orang pemiliki anjing terancam kelaparan karena tidak lagi memiliki mata pencaharian yang tetap, berpikir beberapa orang untuk beralih kepada usaha yang lain, namun buntu rupanya otak mereka oleh karena mungkin terlalu sering terbuai oleh upah menjaga kebun ubi.
“Bila tak ada pemasukan, anak biniku bisa mati kelaparan,” kata seorang pemilik anjing.
“Aku bisa ditinggal istriku karena tak punya uang untuk kuberikan kepadanya,” kata pemiliki anjing yang lain.
Suasanapun menjadi riuh oleh keluhan-keluhan mereka, tidak tertangkap apa isi pembicaraan orang-orang tersebut dari dalam sebuah gubuk tempat biasa mereka berjudi, beberpa orang mulai berteriak memaki dan mencerca, beberapa yang lain mulai menyebut-nyebut nama Zen, sedangkan yang lain mulai memukul-mukul dinding gubuk itu hingga bergetar-getar dan sangat tidak dapat digambarkan suasana didalam gubuk tersebut.
“Mencuri,” teriak satu orang. Yang lain diam melongok tidak berkata seperti mencerna satu kata yang dilontarkan oleh salah seorang dari mereka.
“Menodong,” sambut yang lain.
“Merampok,” sambut yang lainnya pula.
“Kalian mau kita jadi penyamun?” tanya salah satu dari mereka yang nampaknya adalah pembesar kelompok ini.
“Apa boleh buat?” kata yang lain. Itu sepertinya deklarasi.
*****
Pagi-pagi Zen terkejut oleh suara banyak orang didepan rumahnya, dia sangka ada yang ingin merusak rumahnya, dia loncat dari atas tempat tidur kayunya, dia raih senjatanya dan diisinya pelurunya dengan sigap, saat dia mengintip melihat suasana, itu adalah orang-orang desa yang sedang menanti Zen bangun tidur.
“Kau harus bisa melindungi desa, Zen.” Kata Tetua satu.
“Dari apa?” tanya Zen?
“Malam ini rumahku dirampok, anakku dianiaya dan hampir saja istrikupun dilecehkan,” kata Tetua dua.
Suasana menjadi riuh, setiap orang berkata “aku juga” “aku juga” setiap lelaki berkata “anakku juga” “anakku juga” yang lain menyahuti “istriku juga” “istriku juga”, suasana menajdi panas tak terkendali, beberapa orang menangis dan yang lain berteriak histeris.
“Tolonglah kami, Zen,” pinta mereka memelas.
Zen menatap mereka tak berkedip, dia silangkan kedua tagannya diatas dada yang busung, dia tekuk bibirnya membentuk lekukan melengkung ke bawah, di pandang orang-orang itu dari kanan ke kiri, dari depan kebelakang.
“Akulah Zen,” katanya berteriak. .
Tak perlu waktu lama bagi Zen, seperti menyergap gerombolan anjing beberapa waktu yang lalu, Zen dengan sigap seperti seorang pahlawan menjaga rumah warga seorang diri, dia tak tidur malam, dan beristirahat sebentar saja di siang hari, pada hari-hari pertama Zen tidak menemui apapun, namun dia mungkin sudah bersumpah menjaga sampai mati.
“Ah, ini dia setannya,” teriak Zen sambil meloncat sigap. Tekapar-kapar mereka dibuatnya, habis tak bersisa.
Kini Zen hanya memiliki satu peluru lagi, dia melihat beberapa warga sudah kembali meladang, tak ada lagi ubi yang hilang, tak ada lagi yang gagal untuk dipanen, tak juga ada lagi rumah yang dirampok, tak ada lagi tangis di tengah malam.
“Zen membunuh anjing dan juga tuannya,” kata orang-orang kampung.
Sebutir peluru lagi masih bersarang di senjata apinya, Zen bingung mau gunakan untuk apa lagi. Tak ada yang perlu dia bidik lagi. Zen melihat sekelilingnya, ada orang-orang yang lalu lalang, ada sapi-sapi yang merumput, dan ada kambing-kambing yang sedang diikat tuannya,
“Ah, mereka saudara dan milik saudara,” batin Zen.
Takengon, 07 Mei 2014
*Warga Gayo Berdomisili di Bebesen, Aceh Tengah