Oleh: Asriatun*
Judul itu saya pilih setelah beberapa waktu lalu, media ramai membicarakan Florence Sihombing. Yang mengemparkan dunia maya melalui jejaring sosialnya. Ia mengungkapkan kekesalan terhadap kota Yogyakarta yang memiliki gelar kota pelajar. Kekesalanya diawali ketika ia harus mengantri begitu lama di sebuah SPBU.
Antrian panjang membuat gadis yang sedang menempuh pendidikan S-2 Fakultas Hukum UGM berpindah ke antrian mobil. Sayang ia merasa tidak mendapatkan perlakuan baik dari petugas SPBU. Akhirnya ia mengungkapkan kekesalanya melalui jejaring sosial Path.
Jerat Hukum
Tulisan Florence yang berisi kata-kata menghina Yogyakarta di media sosial Path berbuntut panjang. Selain terkena bully di media sosial, Florence juga dilaporkan ke polisi. Sesuai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), ketika ada seseorang menulis unsur penghinaan, pelecehan, atau kesusilaan, maka ia dapat diancam secara pidana.(Kompas.com, 28/08/2014)
Florence bahkan resmi ditahan di rumah tahanan Polda DIY. Ia dijerat Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 1, Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008. Sementara untuk KUHP, ia dijerat Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP. (Kompas.com, 30 Agustus 2014)
Jejaring Sosial dan Kekecewaan
Jika kita cermati secara dalam, status jejaring Florence biasa saja. hal yang wajar ketika media sosial digunakan sebagai pelampiasan amarah atau kekesalan. Namun komentar kritis yang dilontarkan pada Florence oleh masyarakat juga saya anggap wajar. Florence merasa kecewa atas perlakuan petugas SPBU yang menurutnya sangat diskrimintaif. Maka kemudian, ia melampiaskan.
Komentar pedas dan penuh kutukan menunjukan bukti betapa masyarakat begitu kritis. Ketika menghadapi tanahnya atau daerah domisili mereka dihina. Yogyakarta memang terkenal sebagai kota pelajar. Heran saja ketika seorang yang menempuh pendidikan disalah satu universitas di sana mengutuk daerah tersebut.
Kasus Lama
Mungkin kita masih ingat bagaimana Prita Mulyasari dianggap melakukan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni International. Prita awalnya diperkarakan setelah mengirim e-mail berisi komplain atas pelayanan buruk di RS Omni International. Ia bahkan sempat ditahan selama proses penyidikan. Kasus ini memicu upaya advokasi dan perlawanan atas upaya intervensi negara dalam kebebasan berekspresi di Internet. (Tempo.co, 17/09/2012)
Dua-duanya sebenarnya memiliki kesamaan. Mereka sama-sama merasa mendapat perlakuan tidak layak, sehingga membuat pernyataan yang sama-sama hebohnya. Bedanya, kasus Prita mendapat dukungan masyarakat dan berhasil lolos dari sangsi hukum. Publik juga bersimpati pada perjuanganya dan memunculkah gerakan “Koin untuk Prita”. Gerakan ini menjadi inspirasi gerakan koin-koin yang lain dan diyakini sebagai representasi perjuangan masyarakat kecil.
Hal ini bertolak belakang dengan kasus Florence Sihombing yang justru dituntut oleh Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) dan mendapat banyak kecaman. Agak heran rasanya seorang mahasiswi FH UGM bisa dengan mudah ditindak pidana dengan kasus semacam ini.
Banyak sekali argumentasi yang timbul seiring mencuatnya kasus ini. Namun yang membuat saya heran mengapa kasus ini cenderung dibesar-besarkan. Sebagai negara yang demokrasi, tentu tindakan Florence boleh jadi sebagai ekpresi kekecewaannya terhadap proses distribusi BBM yang lamban.
Etika Dunia Maya
Media sosial, kini menjadi trending baru. Bahkan dalam penggunaan internet, muncul istilah Netizen. Netizen sendiri dapat diartikan sekumpulan atau penduduk dunia maya yang memiliki keterlibatan aktif dalam komunitas online dan biasa menggunakan internet di rumah, di kantor maupun sekolah untuk kegiatan sosial.
Tidak sedikit, jejaring sosial di kalangan anak muda seolah menjadi kebutuhan hidup. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya jejaring sosial dimanfaatkan?
Jejaring sosial harusnya dapat dimanfaatkan sepositif mungkin. Kembali pada kasus Prita, jejaring sosial dapat digunakan untuk menggalang dukungan bukan hanya dukunga finansial namun juga moril. Jejaring sosial dapat menumbuhkan rasa simpati terhadapnya.
Hal ini justru berbeda dengan kasus Florence, ia dianggap salah dalam pemanfaatan jejaring sosial miliknya. Walhasil iya bukan hanya mendapat sangsi sosial tetapi juga sangsi hukum.
Saya rasa, kita akan sangat setuju pada dasarnya dunia maya tetaplah suatu yang nyata ketika para penggunanya adalah manusia. Ketika berbicara tentang manusia dan interaksinnya, kita juga harus faham bahwa manusia memiliki etika. Etika yang harus tetap dijaga. Etika dan moral adalah hal utama yang djunjung tinggi di Indonesia. Tapi jangan mengira saya sebagai seorang yang sedang “dimabuk” moral.
Pemerintahan kita dan bangsa Indonesia secara umum tentu saja belum tahan kritik. Apa lagi ketika kritiknya menjurus pada penghinaan, pelecehan dan lainnya. Tentu akan ada banyak produk hukum yang dapat menjerat kita.
Saya akan sangat kecewa jika ada yang beranggapan tidak ada demokrasi di dunia maya. Justru dunia dunia maya atau jejaring sosial merupakan lahan paling demokratis. Atau jangan sembarang update status yang mengkritik pemerintah atau menghujat kegagalan pemrintah. Jejaring sosial justru dapat digunakan sebagai ruang diskusi.
Saya yakin, semua kita boleh jadi memiliki keluhan yang sama seperti Florence. Sebagian memilih melampiaskan melalui demo, sebagian memilih menulis opini, sebagian lagi memanfaatkan jejaring sosial mereka. Ini negara demokratis, semua orang berhak bicara. Yang penting santun tapi jangan hilang unsur kritiknya.
*Asriatun, Mahasiswi Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Siswa SekolahDemokrasi Aceh Utara (SDAU) Angkatan IV; dan Ketua Komunitas Menulis Butuh Irigasi.