Oleh: Ghazali Abbas Adan*
Masuk kedalam wilayahnya. UU MD3 dan RUU Pilkada yang dipilih DPRD menyita perhatian publik di Indonesia dan sampai saat ini tidak habis-habis serta terus diperbincangkan. Betapa tidak, karena kedua instrumen konstitusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia ini substansinya sarat kontroversi, anti demokrasi, sehingga muncul penolakan publik, baik dengan pernyataan verbal maupun demontrasi di area terbuka. Banyak juga pihak yang menyatakan, sesungguhnya UU MD3 dan RUU Pilkada dengan muatan demikian muncul pasca kekalahan Prabowo-Hatta dalam pilpres lalu.
Berdasarkan fakta lapangan, agaknya pernyataan seperti ini benar belaka. Kita tengok ke belakang, khususnya RUU Pilkada, bahwa Fraksi parpol DPR-RI yang sekarang ngotot pilkada dipilih DPRD bukan oleh rakyat seperti yang berlaku selama ini, di awal pembahasan RUU tersebut juga ngotot tidak setuju pilkada dipilih DPRD, tetapi langsung oleh rakyat. Jadi, fakta demikian benar pernyaatan tersebut, yakni akibat kandidat yang didukung dalam pilpres lalu kalah, mereka menjadi kalap, sehingga mempertontonkan aksi jungkir balik akrobatik politik di Senayan, sehingga memunculkan anggapan publik, bahwa mereka adalah politisi bermental labil dan tidak memiliki karakter.
Mereka yang sejatinya sebagai artikulator aspirasi rakyat, tetapi dengan perangai yang demikian boleh juga dikatakan mereka adalah politisi egois yang hanya ingin memenuhi hawa nafsu diri dan kelompoknya, Mereka terus memakai kaca mata kuda, dalam yang bersamaan menutup rapat-rapat mata dan telinga, sehingga apapun yang terjadi di sekitarnya tidak terlihat dan terdengar. Perangai demikian, dalam istilah Aceh boleh dikatakan tungang dan kloprip.
Agaknya Presiden SBY melalui pencermatan terhadap realitas suara-suara publik serta antipati berbagai elemen masyarakat, akhirnya sebagaimana diberitakan media massa (16/9/2014) menunjukkan sikap, yakni “mendukung pilkada langsung. Presiden SBY melihat bahwa akan sangat ideal jika menjalankan pilkada langsung merupakan hal yang paling baik. Dalam pelaksanaannya mempersempit ruang dalam upaya menghilangkan kemungkinan buruk. Dengan cara misalnya orang yang bertanggungjawab harus dihukum, dan itu masuk dalam UU Pilkada”.
Saya menangkap, bahwa kata kunci dari pernyataan sikap Presiden SBY ini adalah hukuman terhadap kandidat busuk yang mempertontonkan perilaku fasistik jahilyah ketika memburu dan mempertahankan kekuasaan. Melakukan pengrusakan, teror dan intimidasi terhadap rakyat dan pesaing. Bahkan tidak segan-sagan dan tidak merasa berdosa menumpah darah/membunuh manusia demi kursi kekuasaan.
Saya sangat setuju untuk mempersempit dan menghilangkan perilaku politik fasis jahiliyah demikian diberi hukuman, yakni hukuman terhadap kandidat dan/atau penanggungjawab tim sukses di mana pendukung dan simpatisannya mempertontonkan perilaku fasistik jahiliyah. Niscaya ada dasar hukum, ia harus masuk dalam UU Pilkada mengikuti pernyataan Presiden SBY tersebut. Dengan demikian dapat dipastikan pilkada langsung akan berjalan demokratis, beradab, bermartabat dan terhormat. Dan siapapun yang mendapat kursi kekuasaan dengan cara demikian, ia adalah pemimpin yang beradab, bermartabat dan terhormat.
Wassalam.
Anggota DPD-RI Terpilih*