Kisah Asnawi Berpuasa 20 Jam di Swedia

Asnawi Ali memilih untuk mengikuti jadwal imsakiah setempat dan berpuasa selama 20 jam. (Dok. Istimewa)
Asnawi Ali memilih untuk mengikuti jadwal imsakiah setempat dan berpuasa selama 20 jam. (Dok. Istimewa)

Orebro| Lintas Gayo – Puasa di beberapa negara Eropa menjadi cobaan berat karena waktunya yang lama, salah satunya di Swedia. Pada bulan ini, matahari di Swedia hampir tidak pernah tenggelam, membuat puasa semakin melelahkan.

Hal ini dialami oleh seorang warga Aceh yang telah lama di negara tersebut, Asnawi Ali. Dihubungi CNN Indonesia, Rabu (23/6), Asnawi yang tinggal di Kota Orebro, sekitar 200 km barat Stockholm, harus berpuasa selama 20 jam 22 menit.
Di bagian Swedia yang berbatasan dengan Kutub Utara bahkan lebih lama lagi, puasa bisa hingga 23,5 jam.

Hal ini, jelas Asnawi, terjadi karena Ramadan tahun ini jatuh di puncak musim panas di Swedia, atau disebut Midsommardagen. Malam hari di kotanya tidak pekat, melainkan masih temaram.
Hanya ada waktu 3,5 jam dari magrib menuju subuh di kota itu. Artinya, Asnawi harus melakukan buka puasa, tarawih dan sahur dalam waktu berdekatan.
“Di kota saya tinggal, jika pun ada malam namun tidak gelap pekat. Wajah langit terlihat stabil seperti senja Maghrib hingga memasuki waktu Subuh yang hanya berselang 3,5 jam kemudian,” ujar pria 37 tahun itu.

Dua pilihan

Ada dua pilihan bagi umat Islam di Swedia, yaitu memilih berpuasa mengikuti terbit-tenggelam matahari atau mengikuti jadwal negara Muslim terdekat, seperti Turki. Asnawi sendiri memilih untuk mengikuti jadwal imsakiah komunitas Muslim setempat yang berarti dia harus berpuasa hampir seharian.
“Hari pertama hingga hari ke lima adalah yang paling berat. Setelah itu mulai terbiasa dengan sendirinya berpuasa dengan jadwal istimewa ini. Mungkin ini dikarenakan saya mengambil cuti kerja selama sebulan dan kebetulan juga bahwa musim panas adalah musim liburan di Eropa. Secara bersamaan ini memberikan keberuntungan bagi saya,” jelas ayah dua anak ini.
Tantangan terbesar menurut dia bukanlah lapar dan haus, melainkan tekanan psikologis. Pasalnya, suasana Ramadan di Swedia sama sekali tidak tampak karena bukan negara mayoritas Muslim. Ramadan di negara ini tidak ubahnya hari lainnya.
“Hal yang bisa membuat semangat berpuasa adalah ungkapan ‘Makin lama berpuasa maka makin besar pahalanya’ termasuk yang paling sering didengar “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya’,” ujar Asnawi.

Tradisi Aceh

Asnawi telah tinggal di Swedia sejak tahun 2005 dan telah menjadi warga negara tersebut setelah sebelumnya berstatus pencari suaka. Tinggal jauh dari tanah air tidak berarti Asnawi dan para warga Aceh lainnya melupakan tradisi. Salah satunya adalah “Meugang”, yaitu memasak 2-3 macam daging yang dihidangkan saat berbuka bersama keluarga.
“Daging halal bisa didapatkan di kedai Muslim yang termasuk kategori mahal dan antre,” jelas Asnawi yang bekerja sebagai Fastighetsskötare atau perawat kompleks perumahan.
Walau tinggal mapan di negeri orang, Asnawi sangat merindukan suasana berpuasa di tanah air.
“Bila dengan keluarga di tanah air dapat berkomunikasi saban hari melalui alam maya dan telepon, tapi suasana Ramadan seperti buka puasa bareng dengan keluarga paling saya rindukan, termasuk Taraweh di malam harinya,” jelas Asnawi. (CNN Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.