Oleh: Rohemah
Di pagi yang masih buta, penulis menyempatkan membaca buku berjudul ‘Visi Pendidikan Ki Hajar Dewantara’ karya Bartolomeus Samho (2013). Di bagian akhir ia mengatakan, bahwa pendidik adalah model yang ideal untuk ditiru oleh peserta didiknya dalam hal perkataan dan perbuatan. Praksis kehidupan pendidik memancarkan wibawa kejujuran, kesahajaan, kecerdasan, yang selalu membangkitkan semangat dan kesadaran para muridnya untuk melakukan hal senada.
Penjelasan ini setidaknya menggambarkan bahwa guru memiliki peran sentral dalam dunia pendidikan. Pendek kata, guru merupakan orang pertama dalam mencerdaskan anak bangsa. Karena anak didik merupakan pemimpin masa depan, maka guru haruslah menjadi teladan dan pendidik dalam mewujudkan perilaku anak didik yang berkarakter mulia. Dengan demikian, guru mesti menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, dan mematuhi kode etik profesional.
Namun, jika melihat realitas di lapangan—di mana guru menunjukkan perilaku yang paradoks dari tugas mulianya guna mencetak anak didik yang berkualitas dan berkarakter. Alih-alih melahirkan generasi bangsa yang berkarakter, yang ada malah menjerumuskan mereka ke jurang kehancuran. Banyak kasus amoral yang justru dipertontonkan oleh sebagian oknum guru yang membuat kita semua miris.
Misalnya, pada Januari 2015 seorang guru telah melakukan pelecehan seksual terhadap tiga siswinya di SDN Lengko Tana Kelurahan Ulung Baras, Kabupaten Matim. Kasus kedua, oknum guru di SD Negeri 7 Matangkuli, Aceh Utara melakukan kekerasan terhadap salah satu muridnya menggunakan palu. Kejadian ini terjadi pada Agustus 2015 sehingga mengakibatkan anak tersebut bocor di bagian kepalanya.Kasus terakhir, terjadi pada Oktober 2015—di mana seorang guru honorer di SMA Negeri 7 Moti, Kota Ternate, Maluku Utaramemukul siswanya dengan kayu hingga tewas karena tidak menggunakan batik saat upacara.
Beberapa kasus amoral di atas merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Pendidikan yang sejatinya melahirkan manusia-manusia bertakwa, cerdas, dan bermoral justru telah dinodai dengan berbagai tindakan anarkis dan amoral oleh sebagian guru.
Menjadi Teladan
Tentu saja kita sepakat bahwa guru berperan sebagai “juru selamat” yang bertugas menyelamatkan negeri ini dari krisis mutidimensi. Menyelamatkan anak negeri untuk mengisi hari-hari yang berarti bagi persada negeri ini.Oleh karena itu, guru harus dapat mengambil peran ini secara maksimal, menjalankan tugas ini dengan sepenuh hati, menjadikan profesi ini sebagai bentuk cintaterhadap negeri ini, berjuang melanjutkan cita-cita para pahlawan sebelum ini.
Guru harus tampil dengan sebaik mungkin di hadapan anak didiknya sebagai lentera di malam hari dan sebagai penuntun di siang hari. Guru harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi anak didiknya dan idola utama dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, kita berharap di masa yang akan datang akan lahir pemimpin yang berkarakter dan mampu membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju dan bermartabat.
Dalam konteks ini, penulis ingin miminjam istilah Anas Urbaningrum (2008), bahwa guru adalah pabrik kemajuan. Guru adalah industri kemajuan. Guru adalah pemanggul tanggung jawab perputaran sejarah bangsa yang makin maju, berjaya, dan bermartabat.
Untuk mencapai tujuan ini, guru tidak saja memperkuat kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosialnya saja. Namun, lebih daripada itu, guru pun perlu memperkuat bahkan mengeksplorkompetensi kepribadiannya, yakni bagaimana guru menunjukkan sikap dan integritas yang baik kepada peserta didiknya. Pada titik inilah, guru tidak hanya dituntut pintar dalam menguasai materi atau melakukan transfer ilmu pengetahuan, tapi lebih dari itu guru pun dituntut agar mampu menjadi contoh dan teladan bagi pelajar.
Jika hal ini mampu dilakukan guru, maka upaya membumikan revolusi mental dalam bidang pendidikan dapat berjalan dengan baik. Semoga di Hari Guru yang jatuh setiap 25 November ini, menjadi renungan bagi guru di seluruh pelosok negeri ini untuk terus berbenah menjadi guru yang tidak hanya pintar secara intelektual saja tapi kecerdasan itu benar-benar ditopang dengan perilaku yang bermoral (persoal competence) sehingga dijadikan teladan oleh anak didiknya. Amien!
Bekerja di PP. Daarul Qur’an, Bekasi Jawa Barat