Tari saman: dikreasi, yes! Dirusak, no!

Oleh: Drs. Isma Tantawi, M.A.

 

Tulisan ini diturunkan karena banyaknya artikel diposkan ke laman, situs, web, dan pertunjukkan dan dilengkapi  dengan foto yang mengungkap tentang tari Saman. Di satu sisi memang dapat dianggap sebagai satu kebanggaan karena tari Saman mendapat apresiasi yang luar biasa dari para pencinta seni, terutama oleh masyarakat pesisir Aceh. Namun, di sisi lain penulis (mantan pemain dan peneliti tari Saman) sangat kecewa karena para pelatih sanggar seni tidak memahami nilai tari Saman yang sebenarnya. Tulisan ini sekaligus memberikan pencerahan kepada pembaca, selama ini menerima informasi yang salah tentang tari Saman. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan beberapa kesalahan yang telah dilakukan penulis  dan penari Saman yang bukan berasal masyarakat Gayo Lues, seperti berikut ini.

  • Tari Saman berkembang di dataran tinggi Gayo, berdasarkan tradisi yang dilakukan Syeh Saman untuk mengajarkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Jadi, tari Saman tidak boleh pemainnya dicampur laki-laki dengan perempuan, menurut agama Islam hukumnya haram, bersentuhan pria  dengan wanita yang bukan muhrim dan bertentangan juga dengan syariat Islam yang berlaku di negeri Serambi Mekah itu. Seperti foto berikut ini.
12115837_1001525279905103_8905461877467279828_n
  (Foto Tari Saman yang Dicampur Laki-Laki dan Perempuan)

  • Tari Saman dimainkan oleh kaum Adam (laki-laki) bukan kaum Hawa (wanita). Tari Saman dilakukan dengan memukul dada. Jadi, tari Saman tidak cocok dimainkan oleh wanita. Wanita tidak untuk dipukul-pukul, tak eloklah. Syeh Saman mengajarkan agama Islam kepada kaum wanita dengan tari Bines, bukan tari Saman.
1
      (Foto Tari Saman Gayo Lues)

  

12115837_1001525279905103_8905461877467279828_n
  (Tari Bines Gayo Lues)

  • Di daerah Aceh juga dikenal tari Seudati dan Meusekat. Jadi, tidak ada tari Saman Seudati dan tari Saman Meusekat. Tari Saman ya Saman, tari Seudati  ya Seudati, tari Meusekat ya Meusekat. Tidak ada sejarahnya untuk dicampuradukkan antara tari Saman dengan tari lainnya. Informasi penulis peroleh ketika Saudara Imam diwawancarai di TVRI beberapa tahun lalu.

 

Beberapa kesalahan istilah yang digunakan para penulis yang bukan berasal dari suku Gayo, tentang tari Saman, seperti berikut ini.

NomorSalahBenar
a.bulung telengbulang teleng
b.syekhsek
c.topeng gelangtopong gelang
d.kerewangkerawang
e.Tari seribu tanganTari tangan seribu

Sek adalah lagu yang didendangkan, berisi ucapan selamat kepada penonton atau pujian terhadap kekasih atau petunjuk dari pembawa tari Saman. Sek bukan pemimpin tari Saman. Pemimpin tari Saman namanya penangkat. Selanjutnya tari Tangan Seribu diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Almarhumah Ibu Tien Soeharto  di Taman Mini Indonesia Indah pada tahun 1979. Beberapa saat sebelum pertunjukkan tari Saman dimulai, Beliau menyampaikan pidatonya, dengan menyebut tari Saman sebagai tari Tangan Seribu, karena keunikan geraknya. Penulis ikut menari  Saman pada acara tersebut.

  • Tari Saman merupan kolaborasi seni tari dan suara. Seni tari atau gerakan pada tari Saman tidak dapat dimainkan secara sempurna oleh orang yang bukan berasal dari suku Gayo Lues, pengalaman penulis melatih tari Saman pada beberapa sanggar seni di Medan. Pemain tari Saman yang berasal dari suku Gayo Lues dapat melakukan gerakan kepala ke semua arah dengan berbagai variasinya serta disesuiakan dengan gerakan tangan. Suara atau nyayian yang didendangkan juga harus sesuai dengan gerakan tangan dan gerakan kepala.

Seni adalah pengungkapan jiwa yang paling dalam. Seni bukan lamunan cengeng dari manusia kerdil tapi seni merupakan titisan jiwa kaum geneus. Kehadiran seni di tengah masyarakat penuh dengan nilai.  Oleh karena itu, jika ingin memahami seni, harus dapat melepaskan diri dari segala kepentingan (pembersihan jiwa). Semoga tulisan ini dapat menjadi  salah satu referensi untuk memahami seni. Silakan tari Saman dikreasi tetapi nilai-nilai harus tetap dijaga, karena tari Saman sudah menjadi milik dunia dan dunia akan mewariskannya kepada anak cucu Adam pada masa yang akan datang.

(Dosen Fakultas Ilmu Budaya USU Medan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.