Banda Aceh | Lintas Gayo – Center for Political & Strategic Studies (CPSS) FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh kembali menyelenggarakan Focus Group Discussion-Solution Studies ke III,dengan tema “Mempertanyakan Perdamaian Aceh dan Kesejahteraan Rakyat” (4/05/2016), Bertempat di Ruang Sidang I Rektor UIN Ar-Raniry. Diskusi ini dimulai pada pukul 9.30 dengan sambutan dari Dekan FISIP UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. M. Nasir Budiman, MA. Acara ini terdiri dari dua sesi yang masing-masing difasilitasi oleh Ismar Ramadhani, MA. dan Muazzinah Yacob, MPA, dihadiri oleh 26 orang partisipan aktif mewakili akademisi, aktivis CSO, Pemerintah, unsur perempuan, juga unsur wartawan. FGD ini bertujuan untuk menyadarkan dan membangkitkan kembali semangat untuk menelisik problematika kesejahteraan masyarakat Aceh pasca damai dan menawarkan berbagai solusi dari berbagai sudut kepakaran.
Beberapa poin penting yang muncul di dalam forum di antaranya disampaikan oleh Yarmen Dinamika (Serambi Indonesia) yang beranggapan bahwa kondisi Aceh saat ini sudah relatif aman (secure) dari sisi ketahanan manusia (human security), buktinya kebebasan bergerak telah cukup terakomodir saat ini, Namun, kondisi ini masih berkutat pada fase negative peace yang mana ketahanan manusia dalam konteks kesejahteraan masih menjadi persoalan serius. Muslahudin Daud (World Bank) menambahkan bahwa pemimpin Aceh tidak memiliki political will yang kuat untuk membangun Aceh. Hal ini dipersulit dengan munculnya “mental ke-berhak-an (entitlement mentality)” pada segelintir masyarakat, “mental raja” pada memimpin sehingga menyebabkan hilangnya kreativitas masyarakat. Solusinya, Aceh dapat sejahtera apabila sektor pertanian terus ditingkatkan. Bahkan ia menjamin kalau masyarakat mau menanam jahe saja, maka pendapatan yang dihasilkan bisa mencapai 7 juta rupiah per bulan. Meskipun demikian, keterlibatan Pemerintah dalam hal ini sangat minim. Di akhir paparan, ia berharap bahwa suksesi kepemimpinan Aceh 2017 tidak lagi menelan korban jiwa dan gerakan masyarakat sipil penting untuk mengawasi dan menjamin hal ini.
Sudirman (Forum LSM Aceh) juga mengamini hal ini dan menambahkan bahwa banyak program prioritas berjalan secara maksimal. Hal ini pula diaminkan oleh Syaifullah Muhammad (Unsyiah) yang sedang melakukan pendampingan petani nilam di pesisir barat Aceh. Menurutnya, hasil hutan dan perkebunan merupakan modal besar bagi Aceh untuk maju. Nilam Aceh memiliki kualitas terbaik di dunia, bahkan parfum merek “Channel” pun menggunakan bahan baku ini untuk menjaga kualitas produk mereka. Malangya, petani nilam di Aceh masih tetap dalam kondisi memprihatinkan. Pemerintah tidak menganggap ini sebagai peluang, sehingga investor justru menanamkan modal di Kalimantan, meskipun kualitas nilam Aceh tetap yang terbaik.
Di lain hal, Dr. Bukhari Daud (Unsyiah) menanggapi bahwa tipe masyarakat Aceh terlalu pasrah pada pemimpinnya, dengan arti kata minim inisiatif. Selain itu pula, inisiatif yang minim ini juga sering terbentur oleh berbagai kendala di lapangan. Fenomena “bagi-bagi anggaran” kerap terjadi dan cenderung tidak tepat sasaran. Hal ini diamini oleh Askhalani (GeRak Aceh) tentang kebocoran anggaran yang sering terjadi di Aceh. Hal ini ditanggapi Marthunis (Bapedda Aceh) dengan analisa ekonomi bahwa apabila dana yang diterima oleh Aceh mampu dikelola dengan baik, maka kesejahteraan masyarakat dapat meningkat 4 kali lipat terhitung dari pasca konflik hingga aliran Dana Otonomi Khusus nantinya pada tahun 2025.
Berbeda dari pernyataan yang government-oriented di atas, Teuku Murdani (UIN Ar-Raniry), menyampaikan bahwa program menyejahterakan masyarakat tidak perlu selalu bersandar pada Pemerintah. Program Islamic micro finance juga bisa menjadi solusi dalam menjawab permasalahan kesejahteraan masyarakat. Hal ini turut diperkuat oleh kajian Dr. Hafas Furqani (UIN Ar-Raniry) yang setuju bahwa program tersebut dapat menggerakkan sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Dalam konteks sosial, Liza Cici Dayani (Kata Hati Institute) menganggap adanya politik dominasi di Aceh oleh sekolompok elit (oligarki). Hal ini yang menyebabkan munculnya polemik dan ketidaksesuaian antara kebutuhan masyarakat umum dan kebijakan Pemerintah. Ia melihat bahwa Pemerintah berupaya memisahkan antara urusan politik dan persoalan kesejahteraan. Sehingga sulit bagi kelompok di luar pemerintah dapat berkontribusi secara efektif dalam program pembangunan Aceh. Bahkan, kelompok akademisi pun tidak dapat berbuat banyak. P
ernyataan ini juga dikuatkan oleh Dr. Taqwaddin (Ombudsman Aceh), bahwa praktek serupa memang kerap terjadi di Aceh. Terkait dengan isu kesejahteraan, Ombudsman menerima lebih dari 100 laporan kasus dari Januari hingga Mei 2015. Mayoritas laporan ini terkait dengan 5 clusteryaitu, persoalan pendidikan, distribusi listrik, pengelolaan air bersih, BPJS, dan alur birokrasi yang masih berbelit-belit. Meskipun begitu, ia juga menekankan bahwa Pemerintah Aceh ke depannya perlu menanggapi isu-isu tersebut secara serius. Tegasnya, “sehebat apapun masyarakat sipil, yang punya kuasa untuk merubah Aceh menjadi lebih baik tetap berada di tangan Pemerintah.”
Hal ini turut pula disetujui oleh Rusliadi (JKMA Aceh), yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat sangat terkait dengan persoalan lahan. Mirisnya, banyak lahan di Aceh telah digadaikan kepada investor bermodal besar. Kepemilikan lahan, baik HGU, HPH dsb. yang disahkan oleh Pemerintah Pusat maupun Aceh telah menjamin kesejahteraan masyarakat Aceh akan jalan di tempat. Namun yang perlu ditekankan bahwa banyak sekali penetapan penggunaan lahan ini disahkan oleh Pemerintah Pusat, bahkan Pemerintah Aceh tidak tahu menahu terkait hal ini.
Solusinya, menurut Umar bin Abdul Aziz (Unicef), hubungan antara Pemerintah Pusat dan Aceh perlu direkonsiliasi dan diharmonisasi kembali. Hal ini penting untuk menurunkan rasa saling curiga antara dua aktor ini, sehingga dapat sejalan sependapat dengan tujuan membangun aceh lebih baik lagi. Selain itu, model pembangunan Aceh tidak dapat disamakan dengan daerah lain. Rekonsiliasi yang tengah digiring bukan hanya terkait pemulihan hak-hak korban, tapi juga proses re-development hubungan social dan pembangunan masyarakat akibat konflik yang berkepanjangan. Lagipula, anggaran yang digelontorkan dalam masa paska damai seharusnya berorientasi masa depan. Secara lebih jauh, Bahrul ulum (Consortium Aceh for Recovery) menganggap bahwa isu kesejahteraan paska damai telah selesai dalam pandangan donatur asing. Isu tentang kesejahteraan telah beralih pada isu-isu semacam climate change ataupun good governance.
Secara filosofis, Fuad Mardhatillah (Aceh Institute) mengusulkan bahwa perlu adanya de-rekonstruksi dan rekonstruksi pendidikan di Aceh. Hal ini pula demi meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh. Karena persoalan saling curiga (social distrust) akibat ketidaktahuan yang berasal dari minimnya pendidikan menjadi masalah besar bagi Aceh untuk maju ke depan. Hal ini pula dianggap penting oleh Fadli Ali (Aceh Eco-Tourism), yang menganggap bahwa segelintir oknum dengan sengaja “menternak kebodohan demi meraih kekuasaan.”
Hal ini senada dengan pernyataan Jamaluddin (KNPI Aceh) tentang pentingnya pendidikan, khususnya kaum pemuda. Menurutnya, pemuda merupakan motor utama dalam meningkatkan kesejahteraan Aceh. Namun, kurangnya skill dan kreatifitas menjadi masalah yang cukup serius. Sehingga program-program pendidikan, workshop atau peningkatan kapasitas dan skill pemuda perlu ditingkatkan. Dalam kacamata feminist, Norma Manalu (Balai Syura Inoeng Aceh) menyatakan bahwa posisi perempuan paska damai Aceh semakin memburuk. Budaya patriarki masih begitu kentara dan ini masih ditegaskan dalam system sosial masyarakat Aceh. Dan pendidikan adalah mekanisme penting untuk merubah budaya ini. Menanggapi berbagai pernyataan ini, Risman Rahman (AcehTrend) beranggapan bahwa spirit perlawanan terhadap ketidakbecusan Pemerintah dalam mengatasi persoalan kesejahteraan perlu terus dijaga. Hal ini penting karena persoalan kesejahteraan bukan barang baru bagi Aceh dan ini terus berulang hingga sekarang. Dan munculnya konflik juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan ini.
Acara ditutup dengan konklusi oleh Fajran Zain (Koordinator CPSS) yang menekankan bahwa jalan menuju kesejahteraan Aceh masih sangat panjang. Berdasarkan seluruh catatan dari peserta, bisa ditarik kesimpulan bahwa sejauh ini memang tidak terdapat korelasi antara banyaknya dana yang mengalir ke Aceh dengan angka kesejahteraan di Aceh, abik itu untuk sektor pendidikan, kesehatan dan pelayanan public. Jalan meraih kesejahteraan memang masih penuh tantangan, sayangnya masa Aceh menikmati dana otsus dan hasil bagi migas tinggal 9 tahun lagi. “kita sudah kehilangan 11 tahun, tandas Fajran”. Apakah pemerintah Aceh sadar itu? Itu yang menjadi tantangan bagi seluruh peserta yang prihatin pada kondisi Aceh.
Lebih jauh, Fajran menambahkan bahwa FGD yang digelar oleh CPSS ini hanyalah kontribusi kecil dari upaya membangun kesadaran bahwa Aceh perlu segera berbenah. Konon lagi Aceh akan berhadapan dengan ritual demokrasi 2017. Sikap kritis dan antisipatif dibutuhkan karena kegagalan Aceh memilih pemimpin hanya akan menempatkan Aceh kian terpuruk dalam ketertinggalan dalam berbagai sektor. “Bila dulu kita menyalahkan Jakarta atas kemunduran Aceh dalam segal sektor social-politik, apakah setelah kini Aceh berada dibawah kawalan orang Aceh sendiri (self-government) pada lembaga executive dan legislative, kita masih punya alasan untuk menyalahkan Jakarta.
Menutup diskusi, CPSS mengundang dukungan dan partisipasi semua pihak untuk mendukung kegiatan-kegiatan serial seperti ini. Target jangka pendek CPSS adalah membangun kesadaran seluruh stakeholder di Aceh, bahwa harapan untuk perdamaian dan kesejahteraan Aceh tetap ada, dan target jangka panjangnya adalah melahirkan beberapa rekomendasi kebijakan yang memihak pada rakyat dan pembangunan Aceh.(Juhra)