Oleh :Julistya Fernanda *)
Dewasa ini, semakin marak terjadinya perilaku penyimpangan seksual, baik itu pelecehan maupun kekerasan seksual. Korban pelecehan dan kekerasan ini didominasi oleh perempuan dan anak dibawah umur. Menurut Catatan Tahunan 2016 Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual menduduki peringkat kedua dengan jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18%) dan sementara pelecehan seksual mencapai (5%). Ironisnya, bahkan ada 93% kasus pemerkosaan di Indonesia yang tidak dilaporkan menurut survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan. Pada kasus pelecehan seksual terhadap anak, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa terdapat 3.739 kasus terkait dengan pelanggaran hak anak pada tahun 2016 dengan kasus kekerasan seksual sebanyak 309 kasus.
Kasus penyimpangan seksual juga telah merajalela ke berbagai daerah, termasuk Bener Meriah. Beberapa kasus yang bermunculan, misalnya ayah yang menghamili anak kandungnya yang tunarungu, pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat, pencabulan seorang pria pada Anak Baru Gede (ABG), anak yang jatuh cinta pada ayah kandungnya hingga rela dihamili, hamil diluar nikah, dsb. Bahkan, Bener Meriah dianggap sebagai “juara” dalam kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan seks dibawah umur se-Aceh pada tahun 2014. Hal tersebut dibuktikan melalui catatan kasus yang ditangani oleh Kapolres Bener Meriah, yang menyebutkan bahwa terdapat 57 laporan kasus terkait dengan pencabulan anak dibawah umur, pelecehan seksual dan KDRT. Jumlah tersebut mencapai angka tertinggi di Provinsi Aceh.
Kejadian ini membuat kita merasa miris. Lalu, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Sementara, Bener Meriah memiliki budaya dan adat istiadat yang bersyariatkan agama (Islam). Banyak hal yang mungkin dapat menjadi alasannya. Secara umum, misalnya karena lemahnya iman seseorang, adanya kesempatan untuk melakukan hal tersebut (misalnya terkait dengan tempat dan situasi), kurangnya kontrol lingkungan yang dapat mengintervensi perilaku itu terjadi, dsb.
Jika ditelaah secara psikologis, fenomena ini terkait dengan sikap dan perilaku. Sikap merupakan sebuah penilaian seseorang terhadap suatu objek yang ada dalam kehidupannya, termasuk diri sendiri. Sikap terdiri dari tiga komponen, yakni kognitif (apa yang dipikirkan), afektif (apa yang dirasakan), dan konasi (kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan). Sikap ini dibentuk melalui pembelajaran dan informasi yang diperoleh dari lingkungan sosial, baik melalui media maupun lingkungan, serta mencontoh/mengikuti perilaku dan sikap dari orang lain.
Perilaku penyimpangan seksual ini juga dapat dikategorikan sebagai perilaku yang tidak pantas. Salah seorang tokoh Psikologi bernama B.F. Skinner mengatakan bahwa salah satu kategori seseorang yang memiliki kepribadian yang tidak sehat yaitu individu yang melakukan perilaku yang tidak pantas. Perilaku yang tidak pantas ini merupakan hasil dari pengabaian individu atas kontrol (termasuk norma) sosial yang merugikan dirinya sendiri atau karena gagal dalam mengontrol diri.
Jadi, kemungkinan latar belakang pelaku dapat melakukan perilaku penyimpangan seksual terhadap korbannya karena adanya imitasi atau mencontoh perilaku dari orang lain dan media (melalui pemberitaan atau tayangan yang tidak senonoh), pengabaian individu akan norma sosial yang mengatur tentang perilaku penyimpangan seksual, kegagalan individu dalam mengontrol dirinya untuk melakukan perilaku yang melanggar norma sosial agama, dan penyebab lainnya. Salah satu norma sosial yang terkait dengan perilaku penyimpangan seksual ini dapat ditemukan di Suku Gayo.
Gayo merupakan salah satu suku yang terdapat di Aceh. Penduduk bersuku Gayo mayoritas tinggal di Aceh bagian tengah yaitu Takengon dan Bener Meriah serta Gayo Lues. Seperti suku lainnya, Gayo juga memiliki budaya dan adat istiadat yang khas, dimana sebagian besar budaya Gayo dipengaruhi oleh agama (Islam). Salah satu adat yang cukup dikenal dikalangan masyarakat Gayo adalah aturan mengenai sumang.
Sumang merupakan segala perbuatan atau tingkah laku yang melanggar nilai dan norma Agama Islam dan Adat Gayo. Sumang dibagi atas empat, yaitu sumang kenunulen (sumang ketika duduk), sumang pelangkahen (sumang dalam melakukan perjalanan), sumang percerakaen (sumang dalam berbicara) dan sumang penengonen (sumang dalam cara melihat). Keempat sumang tersebut membatasi individu dalam berbicara, bepergian, duduk, melihat/memandang pada lawan jenis maupun kepada orang yang lebih tua. Perilaku yang sangat dihindari dalam hal ini ialah maksiat dan zina. Sumang sudah sangat jelas membahas perilaku-perilaku apa yang tidak pantas atau dilarang untuk dilakukan.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku penyimpangan seksual ini? Salah satu yang dapat dilakukan yaitu melalui ketegasan akan penerapan norma atau kontrol dari lingkungan sosial. Lingkungan sosial dapat berpengaruh dalam mengubah sikap, kepercayaan, persepsi, atau tingkah laku orang lain. Norma juga berfungsi untuk mengatur tingkah laku sehingga individu mengetahui apa yang diharapkan oleh lingkungan terhadap dirinya serta sebagai identitas diri. Oleh karena itu, kita sebagai orang Gayo seharusnya meninggalkan perilaku sumang yang telah diatur dalam adat istiadat Gayo.
Mulailah bangun kesadaran itu dari lingkungan keluarga, masyarakat, pemerintah, sekolah, serta pihak terkait lainnya secara lebih luas. Ketika individu dan masyarakat mengetahui dan menyadari akan pentingnya menghindari perilaku sumang, maka secara tidak langsung individu akan terbiasa untuk menjaga perilakunya dari perbuatan sumang tersebut. Alam bawah sadar individu akan memunculkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan norma. Ibarat pepatah, “ala bisa karena biasa”. Mari kita menghindari perilaku sumang agar kita dapat terbebas dari perilaku-perilaku yang menyimpang (khususnya perilaku penyimpangan seksual) dan dapat menjadi pribadi yang sehat serta mempertahankan martabat dan identitas orang Gayo sebagai Muslim yang taat.
*) Mahasiswa Jurusan Psikologi, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh