Oleh: Bahtiar Gayo (Wartawan Waspada)
Ada falsafah Gayo yang sangat luhur. Semoga sampai kini masih diterapkan dalam kehidupan sehari hari ditengah masyarakat. “Setie mate, gemaseh papa- Kalau kita setia harus rela mati, kalau kita penyayang harus rela menderita”.
Saya punya pengalaman dalam bersahabat dan bersaudara. Ketika seseorang sedang ditimpa masalah yang datang silih berganti, di sanalah makna setie mate gemaseh papa itu diuji.
Ada orang ingin menyendiri mencari ketenangan dalam menyelesaikan masalah. Sekilas nampaknya itu bagus. Namun kalau terlalu lama menyendiri, tanpa didampingi teman untuk berdiskusi, itu artinya sama dengan membuka peluang untuk membunuh diri.
Ketika seseorang bermasalah dan menyendiri, dia akan terbawa dengan perasaanya dan logikanya tidak lagi berjalan baik. Apalagi dalam menyelesaikan masalah itu semakin ada tekanan. Masalah datang silih berganti. Ahirnya menimbulkan kepanikan dan semakin tidak mampu berpikir rasional.
Tubuh yang dulunya tegar dan sehat, perlahan lahan akan terlihat lemah, energi terkuras. Makan sudah kurang selera, tidur juga sudah mulai susah. Beban pikiran semakin bertambah. Lama kelamaan, ahirnya jatuh sakit.
Semangat beraktifitas mulai lemah. Persoalan tidak mampu diselesaikan dengan baik, penyakit juga hadir. Apalagi jika seseorang kurang dibalut hatinya dengan akidah dan prinsip hidup yang jelas. Lebih banyak bersedih memikirkan nasib, daripada berupaya untuk bangkit memperbaiki diri.
Ada kalanya sesekali hadir pemikiran negatifnya. Hidupnya sudah tidak bermakna, rasanya lebih baik mengahiri hidup ini. Bila pemikiran ini hadir apa yang akan terjadi? Apalagi si pemilik masalah tidak didasari akidah yang kuat, tidak yakin akan Allah yang memberikan cobaan, ada jalan keluarnya? Peluang dia untuk “terjun” ke juran semakin terbuka lebar.
Di sinilah sebenarnya seseorang itu membutuhkan sahabat untuk mengangkatnya dari bibir jurang. Menuntunya dan membantunya untuk bangkit. Kalau terus dibiarkan, peluang kehancuran itu terbuka lebar. Kakinya kini berada antara akan keluar dari bibir jurang atau masuk ke dalam jurang.
Sahabat yang baik akan menuntunya. Dia tidak akan membiarkan persoalan yang ada, dan tidak membiarkan persoalan baru muncul dengan hadirnya penyakit. Terlalu banyak ruginya. Seharusnya persoalan mampu diselesaikan, kita juga tidak sakit dan punya harapan untuk bangkit. Ada kalanya manusia itu tidak mampu melakukan sendiri, maka dia butuh sahabat.
Butuh manusia lain yang mengangkatnya dari bibir jurang yang dalam. Teman dalam suka memang banyak. Saat kita senang dan lagi jaya, tanpa dicari teman itu akan hadir dengan sendirinya. Namun teman, sahabat, saudara, dalam suka itu sulit. Hanya orang tertentu dan manusia pilihan dalam hidup kita yang mau melakukanya.
Saat kita berduka, di sanalah kita maknainya siapa sebenarnya sahabat yang setia. Bukan teman dalam suka selagi kita senang. Beragam persoalan yang hadir dalam hidup kita, dia mau pikul bersama. Setiap persoalan yang diberikan Allah, sang maha pencipta sudah menyiapkan jalan keluarnya, kita hanya berusaha mencari jalan keluar itu.
Apakah persolan itu mampu kita selesaikan, maka kita akan keluara sebagai pemenang. Kalau kita terhanyut dalam pusaran persoalan, maka kita akan jadi pecundang. Tuhan tidak akan menurunkan cobaan bila tidak memberi imbalan diahirnya.
Semoga falsafah Gayo “setie mate, gemaseh papa”, masih banyak yang menerapkan dalam kehidupan sehari hari. Di dunia ini tidak tidak bisa hidup sendiri, kita membutuhkan manusia lain untuk saling mengisi dan memberi.
^^^^^^……….