Tangannya sudah biasa bergelut dengan sampah. Walau dia dikenal publik sebagai pemain politik, namun sampah baginya adalah sahabat. Dia pernah juga memangku jabatan sebagai Reje (kepala Kampung) Lot Kala, Kebayakan Aceh Tengah.
Semasa dia menjabat sebagai reje, lelaki yang bertubuh kekar ini menyulap sumber penyakit menjadi nilai rupiah. Dia sudah dinobatkan sebagai pakar sampah di Gayo. Banyak pihak dari luar yang melakukan study banding ke tempat dia berkarya.
Tanganya terampil memilah sampah, antara yang padat dan lunak. Benda limbah ini mampu diolahnya menjadi sumber penghidupan. Baru- baru ini dia sudah membuat kursi. Bahan bakunya dari sampah, kaleng susu dan botol plastik air mineral.
Kini Kurnia Gading sedang membuat pupuk organik. Limbah rumah tangga dia kumpulkan. Ada sayur mayur, dedaunan, tulang ikan, cangkang telur, nasi basi. Sebulan kemudian limbah itu sudah menjadi pupuk.
“Membuatnya sangat mudah. Setiap rumah ada sampah, antara 8 sampai 10 kilogram selama sepakan. Mengapa sampah itu tidak dimanfaatkan untuk pupuk,” sebut Gading, dalam bincang bincangnya dengan Dialeksis, Jumat (15/3/2019) di Caffe WRB Blang Kolak II Takengon.
“Sampah sampah yang mudah terurai dan membusuk disatukan. Kemudian dicincang. Dimasukan dalam wadah. Bisa ember atau karung plastik. Kemudian disiram dengan EM 4 dan gula merah,” sebut Gading.
Untuk ukuran sampah 10 kilogram, sebutnya, cukup lima liter air dan tiga tutup botol EM4. Gula merah juga dicairkan dengan ukuran 10 tutup botol EM4. Kemudian diaduk merata kedalam sampah yang akan dijadikan untuk pupuk.
Biarkan selama 10 menit untuk proses penyatuan, baru kemudian dibungkus. Saat membungkus harus diperhatikan, jangan dengan plastik, namun benda yang memiliki rongga, seperti daun atau tanah.
Ember juga harus dilubangi bagian bawahnya dengan paku, agar air tidak mengendap. Kalau air mengendap sampah ini akan membusuk, proses pembuatan pupuk tidak akan jadi. Hampir sama prosesnya seperti membuat tapai (ragi).
Setelah sepekan dibungkus, dibuka kembali. Apakah hangat atau tidak, bila hangat menandakan proses pembuatan pupuk sedang berlangsung. Kemudian calon kompos ini dibolak balik kembali dan ditutup. Menjelang 40 hari pupuk kompos sudah siap.
Mengapa harus memakai gula merah, bukankah cukup dengan EM4? “ Gula merah harus dipergunakan untuk mempercepat proses penguraian. Kalau hanya EM4, prosesnya sangat lama dan belum tentu jadi. Gula turut menentukan percepatan pembuatan kompos,” sebut Gading.
Kalau sampahnya bau, tambahnya, masukkan kulit jeruk kedalamnya. Fungsi kulit jeruk untuk meminimalisir bau. Ketika proses pembusukan berlangsung, calon pupuk ini jangan disimpan yang langsung kena sengatan matahari, namun tempatkanlah di area yang teduh.
Modal yang dibutuhkan juga tidak mahal. Untuk satu botol EM4 harganya hanya Rp 25 ribu. Untuk ukuran sampah 10 kilogram cukup 3 tutup botol EM4. Satu botol EM4 mampu memproses 300 kilogram sampah. Gula merah juga tidak mahal harganya.
Satu rumah dalam sebulan, sampah yang dapat dijadikan untuk pupuk berkisar antara 30 sampai 40 kilogram. Proses pembuatanya juga tidak rumit, lantas mengapa sampah itu tidak dimanfaatkan? tanya Gading.
“Sudah pasti semua tanaman membutuhkan pupuk. Bila mampu menghasilkan 30 kilogram pupuk dalam sebulan, mengapa kita harus membeli pupuk untuk tanaman kita. Pupuk itu juga dapat kita jual, katakanlah dengan harga termurah Rp 1000 perkilo, kan ada nilai ekonominya,” sebut Gading.
Selain mengolah sampah untuk pupuk, Gading juga sudah memanfaatkan botol plastik air mineral dan kelang susu untuk dijadikan kursi. Mengolah botol bekas ini tidak berat, cukup dimasukan plastik atau kertas kedalam botol, kemudian dirakit dibentuk menjadi kursi.
Sukses mengolah limbah menjadi pupuk kompos, kini Gading sedang memproses pembuatan pupuk cair juga dari limbah rumah tangga. Sampah keluarga ini bisa diolah menjadi pupuk padat dalam bentuk tanah dan dalam bentuk cair.
Memanfaatkan sampah untuk nilai ekonomi, bukan hanya menyelamatkan lingkungan dan mengurangi persoalan sampah. Namun melatih manusia penghasil sampah untuk memiliki tanggungjawab atas sampah yang dihasilkanya. Gading sudah memulainya, lantas kita kapan melakukanya? (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com)