Penegakan hukum di Indonesia sangat sulit ditegakkan sebagai mana diharapkan, Hal ini diungkapkan Sahdansyah Putra Jaya, M.Hum yang kini bertugas sebagai jaksa di Lhok Sukon Aceh Utara ketika menjadi narasumber dalam dikusi terbatas di warung kopi Cut Nun, Minggu (19/6/201) lalu.
Menurut alumni Pasca Sarjana Fakultas Hukum Unsyiah ini, Hukum Pidana di unifikasi pada tahun 1918, sedang masyarakat Indonesia telah mempunyai tatanan hukum yang tetap sebelum unifikasi tersebut. “Aliran ini dianut oleh Von Savigni bahwa hukum itu lahir dari jiwa bangsa, namun penerapan hukum di Indonesia lebih banyak menerapkan teori Betham yang mengatakan hukum diciptakan, sedang menurut Eugene Ehrlich hukum adalah jiwa bangsa yang diformalkan oleh negara. Disamping juga adanya pemisahan antara hukum pidana dan hukum perdata, yang sebelumnya belum dikenal,” paparnya dihadapan sejumlah peserta diskusi tersebut.
Paparan Sahdansyah ditanggapi oleh Dr. Mohd. Din, SH.MH, pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Unsyiah. Menurutnya pemisahan perdata pidana dikaitkan dengan law inforcement sebagai sebab dalam pidana, di sisi lain dalam hukum pidana perlu ada kajian tentang delik aduan, darimana asalnya pertama, sedang negara hanya aktif jika ada aduan. Seperti halnya UU hak cipta, hak paten.
“Karena hukum adalah Undang-Undang maka diatasnya masih ada yang namanya nilai atau norma dan asas yang merupakan sumber dari hukum itu,” ujar Doktor ini.
Sementara oleh fasilisator diskusi, Marah Halim, M.Ag, Pegawai Pendidikan dan Latihan (Diklat) Provindi Aceh mengatakan, ada suatu yang kita tidak bisa dipahami dalam penegakan hukum di Indonesia, dimana ketika isteri melakukan kejahatan, suami seolah-olah tidak bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan isterinya. “Berbeda dengan hukum Islam, sekiranya seorang melakukan kejahatan pembunuhan maka keluarga ikut bertanggung jawab, sehingga apabila terjadi pembunuhan maka ma’af dapat diperoleh dari keluarga si terbunuh,” banding Marah Halim.
Menanggapi hal itu Drs. Jamhuri, MA yang sedang kuliah Program Doktor Pascasarjana IAIN Ar-Raniry mengatakan, bahwa Islam turun bukan kepada masyarakat Arab yang beragama tetapi kepada masyarakat yang kosong dari agama dan hanya ada budaya, dalam budaya Arab kekerabatan dan kekeluargaan sangat penting untuk dipertahankan.
Diakhir diskusi yang berlansung selama 2 (dua) jam dan diikuti Lintas Gayo ini, peserta menyepakati bahwa kajian tersebut dapat dilanjutkan dengan penulisan sebuah buku, atau juga dapat menghasilkan sebuah kerangka kajian bidang hukum. (JM)