“Saya tetap berjualan walau sepi. Kalau tidak jualan anak-anak mau makan apa,” sebut Ade, salah seorang penjual mi arang di kota Takengon.
“Abang lihat tuh penarik becak. Duduk berjam-jam menunggu tumpangan, tapi tidak ada. Apa yang mau mereka makan,” jelas lelaki ini sambil menunjuk sejumlah becak yang ngetem, tapi tidak ada penumpang.
Bukan hanya Ade yang merasakan pahitnya hidup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, saat corona menghantui manusia. Jutaan nyawa di Bumi Pertiwi, kini terancam kelaparan, sulit memenuhi kebutuhan hidup. Hampir seluruh sisi sumber pencari kehidupan “mati”.
Manusia dalam kondisi apapun butuh makan. Namun apa yang mau dimakan, bila sumber mencari makan terhenti? Bagi mereka yang punya simpanan dapat membeli kebutuhan pokok. Bagaimana dengan mereka yang harus bekerja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup?
“Mau berusaha tidak bisa, serangan virus ancamanya maut. Berdiam diri di rumah, mau makan apa. Ancaman kelaparan di depan mata. Apa yang harus kami lakukan? Kami sekarang bagaikan burung dalam sangkar, tapi tidak ada makanan,” sebut Darno, kepada Dialeksis.com.
Matanya mulai memerah ada air bening di sana. Dia hanya bisa menarik nafas dalam dalam. Darno selama ini untuk memenuhi hidup keluarga, mengandalkan kamera, fotograper pada acara pesta. Namun sejak adanya pelarangan menyelenggarakan keramaian, usahanya mati total, tidak ada pemasukan apapun.
Sumber usaha Darno, merupakan segelintir sumber hidup dari juta manusia di bumi pertiwi, yang kini mengalami nasib sama. Mereka tidak tahu bagaimana mau berusaha, sementara keluarga butuh makan.
Mengharapkan bantuan Pemerintah?
Menghindari ancaman maut itu lebih diutamakan. Namun apa yang harus dilakukan, ketika ada ancaman lainya berada di pelupuk mata? Ancaman kelaparan. Berdiam diri di rumah, tanpa usaha, apa yang mau di makan?
Bagi sebagian besar masyarakat yang hidup di kelas menengah ke bawah, amukan virus corona telah mengantarkan mereka ke gerbang kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sudah mulai susah.
Berharap kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup, akan berbuah kecewa. Pemerintah “tidak” mampu memenuhinya. Untuk masyarakat miskin saja, saat negeri ini dalam damai, tidak semuanya mampu diayomi pemerintah.
Saat musibah corona ini pemerintah sudah mengumumkan akan mengratiskan listrik selama tiga bulan dan menambah 25 persen uang PKH untuk 10 juta kepala keluarga masyarakat miskin.
Apakah semua masyarakat miskin masuk dalam PKH? Tidak. Masih banyak masyarkat miskin yang terpaksa mengandalkan kekuatan sendiri untuk bertahan hidup. Ratusan ribu warga miskin lainya berada dalam daftar tunggu untuk masuk daftar PKH. Mereka tidak pernah mendapat bantuan.
Belum lagi masyarakat miskin yang tidak terdaftar (baik dalam PKH dan daftar tunggu untuk masuk PKH). Mereka tidak pernah terbayang akan masuk dalam daftar KPM untuk mendapatkan santunan beras.
Mereka tidak masuk dan bantuan pangan non tunai (BPNT) serta Indonesia pintar untuk 19,7 juta anak sekolah. Belum semuanya mereka yang miskin di negeri ini mendapat bantuan. Si miskin saja belum seluruhnya mendapat perhatian pemerintah, apalagi mereka yang mengangur akibat Covid-19.
Wabah Covid-19 telah menciptakan musibah berkepanjangan. Bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, wabah ini telah membuat mereka “terancam” kelaparan. Sumber usaha puluhan juta manusia tidak dapat lagi digerakan.
Walau amanat Undang-Undang no.6 tahun 2018 tentang UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, mengharuskan penyelengara negara untuk menyelamatkan rakyatnya.
Dalam Undang-Undang ini, pasal 52 ayat 1 menyebutkan, selama penyelenggaraan karantina, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam rumah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait.
Namun pemerintah pusat tidak melirik opsi karantina wilayah. Ada opsi lain yang akan dipergunakan, penetapan keadaan darurat sipil dipadukan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bila darurat sipil, rujukanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959, tentang Keadaan Bahaya yang mengatur tentang darurat sipil.
Presiden Joko Widodo mengatakan, status darurat sipil baru sekadar opsi yang dimunculkan pemerintah. Menurut dia, dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintah harus menyiapkan semua skenario, termasuk pemberlakuan status darurat sipil, ujar Jokowi dalam keterangan pers melalui sambungan konferensi video, Selasa (31/3/2020).
Namun Presiden Jokowi menyebutkan dasar hukumnya untuk memberlakukan PSSB, Undang-Undang no.6 tahun 2018 tentang UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, bukan Perppu darurat sipil.
Bila darurat sipil diberlakukan, berbeda dengan karantina soal kebutuhan rakyat. Darurat sipil kebutuhan warga tidak ditanggung pemerintah. Namun bila Presiden menjadikan UU no. 6 tahun 2018 sebagai payung hukum, pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan hidup dasar untuk warganya.
Namun itu baru wacana. Sementara dalam kondisi saat ini, masyarakat sudah sangat kesulitan untuk mencari sesuap nasi. Masyarakat harus berdiam diri di rumah, sumber penghidupan lumpuh. Mereka tidak tahu mau mengadu kemana?
Siapa yang memikirkan nasib mereka? Apakah mereka harus menentukan hidup sendiri? Berharap kepada para dermawan yang memiliki kemampuan, belum tentu semuanya terketuk hatinya untuk membantu.
Berharap kepada pemerintah, mereka tidak masuk dalam daftar PKH. Apalagi ketika ada wacana akan menerapkan darurat sipil, harapan itu semakin jauh panggang dari api. Bagaimana nasib rakyat yang hidup di garis kemiskinan dan ekomoni menengah ke bawah saat negeri ini dikejar prahara?
Mari kita bertanya kepada awan yang mengitari langit. Sampai kapan mereka mampu bertahan. Apakah ada solusi untuk mereka yang kita berjuang melawan maut, bukan hanya menghindari corona, namun memikirkan sesuap nasi. (Bahtiar Gayo/ Dialeksis.com)