Sulit menjadi musisi di Aceh Tengah, padahal musisi Gayo potensial bersaing di kancah nasional bahkan internasional. Namun keahlian mereka nyatanya tak mampu diikuti oleh pemerintah terkait akibat kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) pemerintah yang terlihat tak berdaya menangani kesaktian anak negeri ini. Buktinya, banyak dari kalangan musisi Gayo terdampar tanpa ada bimbingan dan suport dari yang berkompeten.
Aceh Tengah memiliki individu-individu yang tak kalah hebat dengan daerah lain di Indonesia. Coba bayangkan letak geografis Gayo yang terisolir jika di banding daerah lain. Benar-benar berada di pelosok Nusantara, tapinya nyatanya mempunyai banyak seniman besar yang berstandar nasional bahkan internasional.
Ini menandakan bahwa Depik dan Jantar Masam Jing punya efek domino yang luar biasa akan perkembangan otak Urang Gayo hingga sejajar dengan mereka yang mungkin mengkonsumsi makanan moderen seperti Pizza, Hotdog, Spageti dan macam penganan berkelas yang lebih dulu di kenal dunia.
Hanya butuh bimbingan dan fasilitas yang lebih layak bagi mereka berstandar dengan kemampuan mereka tidak asal buat. Dan ini adalah tugas Pemerintah setempat. Namun nampaknya pemerintah tersengal-sengal mengejar lesatan prestasi individu-individu Gayo ini hingga mereka terserak dan mengambil langkah sendiri untuk untuk bisa go publik meski banyak yang harus terdampar akibat kekurangan pondasi pendukung dalam perjalanan mereka.
Gayo identik dengan kehidupan berkesenian, daerah lain kita kenal piawai berpolitik dan berdagang?
Gayo lebih dikenal dengan kantong seniman. Mulai dari yang berkiprah di tanah asal mereka, hingga yang bertarung diluaran. Katakan di Kute Redje (Banda Aceh sekarang), kita pernah mengenal nama Pungi Arianto Toweren, Dedi Fajar (Metazone), Rahmad Sanjaya , LK. Ara. Di Jakata ada Fikar .W. Eda, Ivan WY ex SABA Goup, Zoel Lenon alias Zoel Tampeng, yang saat ini menggantikan posisi gitaris gaek bersama sama dengan Sawung Jabo “Toto’ Tewel “, Asri Win Gayo (Diga Band), Kin Aulia “The Ply” dan masih banyak lagi melanjutkan misi pendahulunya dimana sudah lebih dulu menancapkan kukunya di jantung Indonesia seperti Almarhum Sali Gobal yang diabadikan monumennya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Masih banyak lagi jika kita mau urut, dengan berbagai ragam genre musik, teater hingga pelukis, rata rata mereka yang eksis diluaran cenderung jadi pentolan. Ini menandakan kita memang minoritas tapi kebanyakan langsung jadi kepala kodi dari setiap perjalanan dibidang yang digeluti para seniman seniman asal Negeri Para Peri (Peteri Bensu)ini.
Kiprah Gayo di Indonesia tidak lagi terbilang baru, hanya tinggal respon pemerintah bagaimana menangai ini lebih baik terorganisir hingga dapat menciptakan sumber daya manusia yang punya nilai tawar tinggi diluaran.
Belum lagi setahun terahir ini aktivitas para musisi Gayo terkebiri dengan peraturan yang tak berpihak kepada mereka, di batasinya waktu pertunjukan yang melarang pergelaran di malam hari dengan alasan syari’at Islam,dengan dalih memberi peluang akan terjadinya kemaksiatan.
Benarkah musik di Gayo menyebabkan maksiat ini terjadi,….?. Lalu bagai mana jika Didong di gelar malam apakah tidak berpeluang maksiat..?. Ini adalah persoalan penerapan hukum tegas atau tidaknya.
Maksiat ini tetap akan terjadi walaupun di kancah Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) sekalipun yang di gelar malam hari, tak ada yang dapat menjamin orang orang yang ber otak lendir berhenti beraksi dalam segala situasi termasuk dalam arena yang kental dengan nuansa religius sekalipun.
Solusinya adalah menciptakan solusi yang tidak merugikan komponen lainnya, agar mereka tetap bisa mendapat mood berkreasi tanpa kendala dan batasan yang tak masuk di akal. Sehingga pemerintah juga tidak di salahkan dalam hal ini. Istilah Gayo-nya ” Nice we nguk, ni kite ngih“.
Ini bukan persoalan sederhana buat para musisi. Berhenti beraksi, sama dengan mereka yang duduk dikantoran berhenti langganan koran, main games, buka internet, tidak diperbolehkan nonton berita atau teledrama televisi. Bagaimana rasanya.
Ini renungan buat penentu kebijakan, rangkul mereka buat solusi yang segar dan baik buat semuanya.
*Pemerhati Seni di Aceh Tengah berdomisili di Pegasing