Lihatlah periuk dan sendok akan senantiasa berantuk. Karena ada nasi di dalamnya, maka mereka berantuk. Bila nasi tidak ada di dalamnya dan periuk dan sendok tidak dipergunakan, suara benturan itu tidak akan terdengar.
Perdamaian Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar dengan wakilnya Firdaus, tak ubahnya bagaikan perdamaian periuk dan sendok. Ibarat membangun mahligai rumah tangga, perbedaan akan tetap ada. Namun bukan karena gesekan periuk dan sendok, lantas rumah tangganya harus hancur.
Inisiasi untuk mendamaikan pertikaian Bupati Aceh Tengah dengan wakilnya, banyak pihak yang mengharapkanya. Tidak etis sebuah negeri bila pucuk pimpinanya bertikai, apalagi harus menempuh jalur hukum.
Upaya yang dilakukan Kajati Aceh, Muhammad Yusuf untuk mendamaikan Shabela dengan Firdaus yang rencananya hari ini, Senin (06/07/2020) belum berhasil. Pihak Kajati sudah mengundang Plt Gubernur Aceh, Forkopimda Aceh untuk perdamaian ini, namun pelaksanaan perdamaian “tertunda”.
Pihak yang ingin didamaikan ada yang berhalangan hadir. Bupati Shabela berhalangan hadir, karena kondisi fisiknya “agak” kurang sehat. Sementara Firdaus, Wakil Bupati Aceh Tengah sudah berhadir ke Kajati Aceh memenuhi undangan.
Kasi Penkum Kejati Aceh, H Munawal Hadi SH MH dalam konferensi pers kepada wartawan mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan segala keperluan untuk dilaksanakan perdamaian pimpinan Aceh Tengah ini.
Pihaknya juga sudah sudah mengirim undangan kepada Plt Gubernur Aceh, DPRA, Kapolda Aceh, dan Pangdam Iskandar Muda.
“Kemarin (Minggu) kami mendapat informasi bahwa Bupati Shabela tidak bisa hadir dengan alasan sedang sakit,” kata Munawal.
“Saya lagi sakit, tidak bisa hadir,” sebut Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar menjawab Dialeksis.com, Senin (06/07/2020) via selular. Tidak hadirnya Shabela, upaya perdamaian yang digagasi Kajati Aceh belum membuahkan hasil.
Kasus pengancaman yang dilakukan wakil Bupati Aceh Tengah Firdaus, terhadap keluarga Shabela di Pendopo bupati, sudah ditangani pihak Polda Aceh. Kasusnya belum dilimpahkan ke Kajati Aceh. Namun pihak Kajati berupaya mendamaikanya.
Berhasilkah pihak Kajati mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa ini? Bila pelapor dan terlapor ingin berdamai, mengapa tidak pihak Polda yang mendamaikan? Sementara kasus pelaporan yang dilaporkan Shabela, masih ditangani pihak Polda Aceh.
Beberapa saksi sudah diminta pihak Polda keteranganya. Selain itu DPRK Aceh Tengah juga sudah membentuk tim Pansus untuk mendamaikan pertikaian bupati dan wakilnya. Tim Pansus yang diketuai Sukurdi Iska, sedang melakukan tugasnya untuk mencari titik temu, agar perdamaian dapat dilaksanakan.
Banyak pihak yang berkeinginan dan berupaya agar perdamaian dapat dilakukan. Bahkan Nova Iriansyah, Plt Gubernur Aceh sudah melakukan pendekatan agar kasus itu dapat diselesaikan secara damai. Upaya yang dilakukan Nova, setelah Shabela Abubakar resmi membuat laporan polisi.
Upaya ke arah damai sudah menunjukan titik terang. Tidak harus kasus ini diselesaikan melalui jalur hukum. Rasa kemanusian dengan mengedepankan nilai nila agama dan adat istiadat itu, jauh lebih baik bila mau dilaksanakan.
Namun prosesi perdamaian yang digagasi pihak Kajati Aceh, Senin (06/07/2020) belum membuahkan hasil, Shabela berhalangan hadir karena kondisi fisiknya belum memungkinkan untuk hadir.
Upaya perdamaian adalah langkah bijak. Apalagi mereka yang bertiakai ini adalahnya “ayah dan ibunya” rakyat Gayo, Aceh Tengah. Ibarat periuk dan sendok tentunya ada yang terantuk. Namun bukan karena terantuknya periuk dan sendok, harus periuknya yang pecah.
Shabela Abubakar sebelumnya juga memberikan sinyal, pihaknya memberi peluang untuk berdamai. Walau Shabela menyebutkan ada persyaratanya, tanpa ada sejumlah permintaan dan persyaratan dari peminta damai.
Firdaus, Wakil Bupati Aceh Tengah, jauh jauh hari sebelum kasus di Pendopo menjadi masalah, kepada Dialeksis.com pernah memberikan keterangan “ Kuren urum senuk mera we muterkuk, murerantuk. Oya resam, asal enti kurenne mupecah- Bahasa Gayo. Periuk dan sendok biasa terantuk, asalkan jangan periuknya yang pecah”.
Demikian dengan ketua DPRK Aceh Tengah, Arwin Mega, sudah berupaya melakukan perdamaian antara kedua pemimpin yang bersengketa ini. Bukan hanya meminta pendapat ulama, tokoh adat, namun secara lembaga membentuk Pansus untuk upaya perdamaian.
Perbedaan pandangan, sikap, menandakan hidupnya sebuah dinamika. Namun bila gesekan itu menimbulkan perpecahan, bukanlah sebuah sikap bijaksana. Apalagi mereka sudah dinobatkan sebagai ayah dan ibunya rakyat.
Pat ujeun yang han reda ( Bahasa Aceh – Hujan walaupun lebat, sudah pasti ada saatnya berhenti). Berbagai persoalan, bila disikapi dengan bijaksana akan mampu diselesaikan dengan baik, apalagi di dalam kebaikan itu ada kepentingan rakyat banyak.
Mayoritas masyarakat Aceh Tengah berharap, agar perbedaan pandangan antara bupati dan wakil bupati dapat diselesaikan secara adat. Apalagi Gayo dikenal berbudaya, mengedepankan norma-norma adat.
Tidak harus semua persoalan diselesaikan melalui jalur hukum. Ada upaya adat yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah. Semoga kasus ini tidak berlarut-larut. Upaya perdamaian adalah langkah terbaik.
Periuk dan sendok itu sudah resamnya berantuk, karena ada isi di dalamnya untuk diambil. Tanpa ada nasi dalam periuk, sudah pasti tidak akan terantuk. Sendok juga tidak akan berfungsi bila dalam periuk tidak ada nasi.
Sebagai pemimpin, sebagai manusia sudah pasti ada yang melakukan kesalahan. Tidak ada mahluk yang sempurna. Apalagi dalam mengayuh sebuah bahtera negeri ada balutan kepentingan di dalamnya. Ibarat nasi, bila ingin mendapatkanya sudah pasti periuk dan sendok harus terantuk.
Nasi tidak akan terhidang, bila periuk dan sendok tidak terantuk. Namun terantuknya periuk dan sendok bukan untuk perpecahan, akan tetapi untuk mendapatkan hasil. Damailah, karena perdamaian itu indah. (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com)