Jakarta| Lintasgayo.com – Pemerintah di berbagai negara harus bertanggung jawab atas kematian banyak pekerja kesehatan selama masa penyebaran wabah COVID-19. Kematian mereka adalah bukti kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan.
Amnesty International merilis laporan global yang berisi kejadian yang dialami para pekerja kesehatan dari berbagai penjuru dunia. Dalam laporan tersebut, tercatat adanya lebih dari 3,000 pekerja kesehatan yang telah meninggal akibat COVID-19, jumlah yang sangat besar namun seringkali dianggap remeh.
Di Indonesia, hari ini tercatat setidaknya 89 tenaga kesehatan, mencakup dokter, dokter gigi dan perawat, yang telah meninggal dunia karena terinfeksi virus COVID-19. Sementara itu, setidaknya terdapat total 878 dokter dan perawat dari seluruh penjuru Indonesia yang terinfeksi virus tersebut. Jumlah ini kemungkinan besar meningkat mengingat insiden meninggalnya tiga dokter di Pulau Jawa akibat terpapar COVID-19 sepekan terakhir.
Amnesty International juga mencatat banyak kasus di mana tenaga kesehatan yang bersuara terkait masalah keselamatan kerja dalam penanganan wabah COVID-19 ini justru mendapatkan perlakuan tidak adil, seperti penangkapan serta ancaman pemecatan.
“Di tengah wabah COVID-19 yang kasusnya masih terus meningkat di seluruh dunia, kami mendesak pemerintah negara-negara untuk mulai lebih serius memperhatikan kesehatan dan perlindungan para tenaga kesehatan. Negara-negara yang tingkat penyebaran wabahnya belum signifikan jangan sampai melakukan kesalahan-kesalahan serupa,” kata Sanhita Ambast, Peneliti dan Penasihat tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Amnesty International.
“Sangat tidak bisa diterima saat mengetahui bahwa justru pemerintah menghukum para tenaga kesehatan yang menyuarakan kekhawatiran mereka tentang kondisi pekerjaan yang memang mengancam nyawanya. Para tenaga kesehatan bekerja di garda terdepan. Merekalah yang pertama kali mengetahui apakah suatu kebijakan yang dibuat pemerintah dapat berfungsi dengan baik atau tidak.
Ribuan orang kehilangan nyawa
Saat ini, tidak ada sistem pelacakan yang sistematis untuk mengetahui secara pasti berapa banyak pekerja kesehatan yang telah meninggal akibat tertular COVID-19. Namun, Amnesty International mencoba mengumpulkan dan menganalisis data yang tersedia, dan hasilnya menunjukkan bahwa lebih dari 3000 petugas kesehatan dari seluruh dunia yang diketahui telah meninggal akibat COVID-19.
Berdasarkan pantauan Amnesty International, negara-negara dengan jumlah kematian petugas kesehatan tertinggi sejauh ini antara lain Amerika Serikat (507), Rusia (545), Inggris (540, termasuk 262 pekerja perawat sosial seperti perawat lansia), Brasil (351), Meksiko (248), Italia (188), Mesir (111), Iran (91), Ekuador (82) dan Spanyol (63).
Angka tersebut diperkirakan jauh lebih rendah dari jumlah sebenarnya di lapangan dan angka perbandingan yang akurat antar negara sulit didapatkan karena perbedaan cara penghitungan di tiap negara.
Di Indonesia, dari total 89 tenaga kesehatan yang meninggal dunia salah satunya adalah drg. Yuniarto Budi (50) yang meninggal pada 28 Maret di Kota Bogor, Jawa Barat. Beliau adalah salah satu pejabat dinas kesehatan setempat. Ia meninggal dunia setelah menjalani perawatan di ruang isolasi pasien COVID-19 di RSUD Bogor. Sebelum terpapar, beliau sempat menjemput dan mengecek kesehatan Walikota Bogor, Bima Arya, yang sebelumnya juga menjadi pasien positif corona. Beliau diduga terpapar saat mengikuti rombongan kunjungan kerja Bima Arya ke Turki dan Azerbaijan.
Korban lainnya adalah Ninuk Dwi Pusponingsih (37), seorang perawat asal Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang meninggal pada 15 Maret Lalu. Ninuk merupakan perawat di salah satu rumah sakit besar rujukan pasien COVID-19 di Jakarta. Menurut Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Ninuk dinyatakan positif terinfeksi virus tersebut karena pekerjaannya yang rentan dan langsung berkontak dengan pasien COVID-19.
Kurangnya Alat Pelindung Diri (APD)
Di hampir seluruh 63 negara yang disurvei oleh Amnesty International, para petugas kesehatan melaporkan sangat kurangnya alat pelindung diri (APD), termasuk di negara-negara dengan jumlah kasus COVID-19 yang signifikan, seperti India, Brasil dan beberapa negara di Afrika. Seorang dokter yang bekerja di Kota Meksiko mengatakan kepada Amnesty International bahwa rata-rata dokter di sana menghabiskan sekitar 12% dari gaji bulanan mereka untuk membeli APD untuk mereka sendiri.
Selain kekurangan pasokan APD secara global, adanya pembatasan perdagangan juga semakin memperparah masalah ini. Sejak Juni 2020, 56 negara dan dua blok dagang (Uni Eropa dan Uni Ekonomi Eurasia) telah memberlakukan pelarangan dan pembatasan ekspor APD beserta komponen-komponennya.
“Di saat negara harus memastikan kecukupan APD untuk para tenaga kesehatan mereka, pembatasan perdagangan berisiko makin memperburuk kurangnya APD di negara-negara yang bergantung pada impor. Padahal, pandemi COVID-19 adalah masalah global yang membutuhkan kerja sama global,” kata Sanhita Ambast.
Aksi protes
Setidaknya di 31 negara yang disurvei, Amnesty International mencatat laporan tentang adanya aksi mogok kerja, ancaman mogok kerja, dan protes oleh para pekerja kesehatan sebagai bentuk protes mereka atas kondisi kerja yang tidak aman. Namun, di banyak negara, tindakan semacam itu mendapat respon negatif dari otoritas negara.
Di Mesir, misalnya, Amnesty International mencatat adanya sembilan tenaga kesehatan yang ditahan secara sewenang-wenang antara bulan Maret dan Juni oleh otoritas setempat atas tuduhan “menyebarkan berita bohong” dan “terorisme.” Padahal, mereka hanya menyuarakan perhatian mereka tentang keselamatan kerja dan mengkritik cara pemerintah menghadapi wabah COVID-19.
“Banyak [dokter] yang lebih memilih untuk membeli sendiri kebutuhan APD mereka. [Pihak berwenang] justru memaksa dokter untuk memilih antara kematian atau penjara.”
Dalam beberapa kasus, aksi mogok kerja dan protes mendapat tanggapan keras dari otoritas setempat. Di Malaysia misalnya, polisi membubarkan protes damai yang mengecam perusahaan penyedia jasa kebersihan rumah sakit. Para pendemo memprotes tentang perlakuan tidak adil terhadap anggota serikat oleh perusahaan tersebur serta kurangnya perlindungan yang memadai untuk petugas kebersihan rumah sakit. Polisi kemudian menangkap, menahan dan mendakwa lima tenaga kesehatan atas tuduhan “pertemuan tanpa izin” (unathorized gathering). Ini merupakan pelanggaran terhadap hak mereka atas kebebasan berserikat dan berkumpul.
“Tenaga kesehatan memiliki hak untuk bersuara tentang adanya perlakuan tidak adil terhadap mereka,” kata Sanhita Ambast.
“Tenaga kesehatanlah yang dapat membantu pemerintah menghadapi pandemi ini dan memastikan semua orang aman – tetapi mereka tidak dapat menjalankan tugasnya jika mereka berada di penjara, dan mereka juga tidak akan dapat melakukannya jika mereka takut untuk bersuara.”
Dari beberapa negara terdapat laporan adanya tenaga kesehatan yang dipecat atau mendapat sanksi disiplin karena bersuara tentang kekhawatiran mereka atas kondisi kerja.
Di Amerika Serikat, seorang asisten perawat yang bersertifikat, Tinika Somerville, dipecat setelah memposting video di Facebook berisi rekaman dirinya sedang membacakan petisi untuk meminta lebih banyak APD. Tainika mengatakan para staf di panti jompo di Illinois tempatnya bekerja tidak diberitahu bahwa yang mereka tangani adalah pasien COVID-19 dan mereka akhirnya mengetahuinya melalui media. Sampai 29 Mei 2020, panti jompo tersebut telah melaporkan 34 kasus dan 15 kematian akibat COVID-19.
Upah yang tak layak dan kurangnya tunjangan
Selain terkait kondisi kerja yang tidak aman, Amnesty International juga telah mendokumentasikan bagaimana para tenaga kesehatan dibayar dengan upah yang tidak layak, bahkan dalam beberapa kasus tidak diberi upah sama sekali.
Di Sudan Selatan, contohnya, dokter yang terdaftar sebagai penerima upah dari pemerintah sama sekali belum menerima upah mereka sejak bulan Februari. Mereka juga tidak mendapatkan perlindungan medis serta kebutuhan dasar untuk menunjang kesejahteraan mereka. Di Guatemala, setidaknya ada 46 staf di fasilitas kesehatan yang tidak dibayar selama dua setengah bulan masa kerja mereka di rumah sakit rujukan COVID-19.
Di beberapa negara lain, tidak ada tunjangan tambahan untuk tenaga kesehatan yang langsung secara khusus merawat pasien COVID-19. Tunjangan tidak dikhususkan untuk karyawan sesuai kategori tertentu.
Negara harus menjamin bahwa semua pekerja kesehatan dibayar dengan upah yang adil, yang mencerminkan dampak pekerjaan mereka terhadap kesehatan dan keselamatan, sesuai dengan hukum dan standar HAM internasional. Negara juga harus memastikan bahwa tenaga kesehatan mendapatkan kompensasi apabila mereka terinfeksi COVID-19. Selain itu, mereka juga harus diprioritaskan untuk pengujian COVID-19.
Stigma dan Kekerasan
Amnesty International mencatat beberapa kasus di mana para tenaga kesehatan menerima stigma negatif dan tindak kekerasan karena pekerjaan mereka.
Data Amnesty International Indonesia per 2 juni 2020 menunjukkan setidaknya terdapat 15 kasus diskriminasi dengan 214 korban oleh masyarakat terhadap para tenaga medis, mulai dari penolakan di rumah kost tempat mereka tinggal, pemakaman jenazah perawat, hingga tindakan kekerasan terhadap mereka.
Di Banda Aceh, seorang tenaga medis yang menangani pasien corona di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh, mengalami perlakuan tidak menyenangkan oleh warga tempat tinggalnya. Ia diusir warga saat hendak kembali ke rumah kosnya. Warga mengaku takut petugas medis itu menyebarkan virus corona, sehingga mereka tidak mengizinkannya tinggal di daerah tersebut. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh, Syafrizal Rahman membenarkan adanya seorang petugas medis yang diusir warga.
Di Banten, salah seorang perawat RSUD Banten yang enggan disebutkan namanya menuturkan bahwa ia kesulitan mencari tempat kos di sekitar lokasi rumah sakit tempatnya bekerja, karen Pemprov Banten, khususnya Dinas Kesehatan Provinsi Banten tidak menyediakan akomodasi khusus untuk tenaga medis. “Saya dan kawan-kawan tidak dapat kos. Alasan pemilik kosan khawatir ada penularan, setelah tahu kami bekerja menangani pasien COVID-19,” kata perempuan berumur 34 tahun tersebut.
Di Semarang, Jawa Tengah, perlakuan negatif dialami oleh almarhum Nuria Kurniasih, AMK, Perawat RSUP Dr Kariadi. Jenazahnya mendapat penolakan dari warga setempat saat akan dimakamkan di TPU Suwakul Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, karena ia positif terinfeksi virus corona. Pemakaman jenazah akhirnya dipindahkan.
Ada seorang perawat di Meksiko dilaporkan disiram dengan klorin sampai basah kuyup saat sedang berjalan di jalan. Di Filipina, beberapa penyerang menyiramkan cairan pemutih kepada seorang pekerja rumah sakit.
Insiden-insiden tersebut menunjukkan adanya penyebaran informasi yang keliru sehingga membentuk stigma negatif terhadap mereka yang bekerja di rumah sakit. Dengan adanya insiden demikian, peran pemerintah sangat penting dalam memberikan informasi yang akurat dan mudah diakses tentang penyebaran COVID-19.
Di Pakistan, Amnesty International mencatat beberapa tindak kekerasan terhadap petugas kesehatan yang terjadi sejak April. Rumah sakit dirusak, dokter diserang, dan satu dokter bahkan ditembak oleh anggota Pasukan Penanggulangan Terorisme.
Rekomendasi
“Kami mendesak semua negara yang terkena dampak COVID-19 untuk melakukan tinjauan publik yang transparan dan independen terkait kesiapan dan strategi mereka dalam menghadapi pandemi ini. Segala strategi yang dilakukan harus tetap melindungi dan menjunjung hak asasi manusia,” kata Sanhita Ambast.
Peninjauan yang dilakukan harus juga mencakup pertimbangan apakah hak kesehatan bagi para tenaga kesehatan – termasuk hak atas kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, serta hak atas kebebasan berekspresi – benar-benar dijamin dan dilindungi.
Negara harus memberikan kompensasi yang layak untuk semua tenaga kesehatan yang langsung berkontak dengan pasien COVID-19. Negara juga harus menyelidiki kasus-kasus di mana pekerja kesehatan dikriminalisasi karena menyuarakan masalah keselamatan, serta harus menyediakan skema pemulihan bagi mereka yang telah diperlakukan secara tidak adil, termasuk dengan cara kembali mempekerjakan mereka.
Latar belakang
Untuk kepetingan laporan ini, “tenaga kesehatan” merujuk pada semua individu yang terlibat dalam memberikan perawatan kesehatan dan sosial dalam kapasitas apapun, tidak terbatas pada dokter, perawat, perawat sosial, petugas kebersihan, pengemudi ambulans dan staf fasilitas. Laporan ini sebagian besar berfokus pada petugas kesehatan, berdasarkan informasi yang tersedia. Masalah dan perhatian yang sama juga berlaku untuk pekerja lain yang pekerjaan rentan dengan paparan COVID-19. (Rel/ Ihfa)