Kebiasaan lelaki ini sulit dilakukan oleh kebanyakan manusia. Dia bersedekah setiap pagi kepada muazin yang membangunkan lelap tidurnya. Setiap usai shalat subuh di Masjid Agung Ruhama Takengon, dia memberikan uang minum untuk manusia yang sudah menyerunya ke masjid.
Profesinya hanya pedagang tembakau eceran, namun dia penghuni setia di masjid kebanggan rakyat Gayo Lut ini. Posisinya tetap di shaf pertama, persis dibelakang imam. Kebiasan ini membuat muazin, imam dan jamaah di masjid ini hormat kepadanya.
Bukan hanya soal kebiasan baiknya yang membuat manusia kagum, namun soal prinsip hidupnya. Dia dikenal tegas dan “mudah” tersinggung ketika urusan agama dipermainkan.
Namanya Abdul Gani Bin Dokon, berumur 76 tahun. Satu ketika lelaki 17 cucu ini pernah protes kepada pengurus masjid soal spanduk yang ditempelkan dalam masjid. Dia minta dipindahkan, karena menggangu konsentrasi shalat.
Walaupun tidak masuk dalam pengurus masjid Ruhama Takengon, namun dia menaruh perhatian besar terhadap kemakmuran masjid. Ketika dia menghembuskan nafas terahirnya, jamaah masjid Raya Takengon kehilangan jamaah yang setia. Para muazin merasa kehilangan manusia yang selama ini memberinya biaya minum usai shalat subuh.
“Pak Gani adalah sosok yang luar biasa. Awalnya saya malu ketika beliau merogoh sakunya dan memberikan rejeki kepada saya usai shalat subuh. Namun ketika disebutkan itu niatnya atas izin Allah, saya menjadi kagum kepadanya,” sebut Tgk Kadri, salah seorang muazzin di Masjid Agung Ruhama, ketika Dialeksis.com meminta tanggapanya soal sosok Pak Gani.
“Pak Gani adalah sosok jamaah yang tekun. Ketika saya menjadi imam, saat membaca qunut dan doa tolak bala, jawaban amin dari mulut almarhum menjadi kenangan khusus buat saya sebagai imam,” sebut Tgk. Irwan Usman, salah seorang imam masjid Agung Ruhama ini.
Bahkan, mantan Bupati Aceh Tengah Nasaruddin yang mendapat kabar berpulangnya Jemaah masjid ini turut mendoakanya. “Innalilahi wainna ilaihi rajiun, kita doakan semoga Allah mengampuni segala dosa dan menempatkan almarhum pada tempat yang mulia,” sebut Nasaruddin kepada Dialeksis.com.
“Almarhum sudah cukup lama menjadi jamaah tetap masjid Agung Ruhama, semoga menjadi isi surga,” doa Nasaruddin.
Soal kebiasaan memberi sedikit rejeki setiap pagi usai subuh untuk minum kepada muazin, sudah cukup lama dilakukan Pak Gani. Awalnya dia enggan menceritakanya. Namun karena sering bertemu di masjid dan sering duduk dengan penulis, bercerita soal kehidupan, ahirnya lelaki dari 4 anak ini mau juga bercerita.
“Membangunkan orang untuk shalat subuh itu pekerjaan yang luar biasa. Saya punya niat untuk menghargai mereka, makanya saya siapkan setiap harinya buat sekedar minum pagi mereka yang membangunkan saya,” sebut Abdul Gani.
Sebelum almarhum menghembuskan nafas terahir, penulis sudah meminta izinya untuk sedikit menulis tentang profilnya. Dia adalah sosok lelaki yang sudah merasakan pahitnya hidup dengan beragam usaha, namun dia punya prinsip hidup dalam menekuni agama.
“Jangan sekarang ditulis. Nanti saja saat lebaran (maksutnya lebaran Idul Adha), saat itu anak anak saya sudah berkumpul, kamu bisa juga bercerita dengan mereka,” sebut Abdul Gani dua pekan sebelum lebaran Idul Adha, menjawab Dialeksis.com.
Benar yang dikatakan lelaki ini. Saat sebelum lebaran semua anaknya berkumpul, bahkan anaknya dokter dari NTB juga hadir. Namun walau mereka berkumpul, kali ini tidak ada lagi sang ayah. Mereka berkumpul di Pasar Pagi Takengon untuk mendoakan sang ayah yang sudah dipanggil ilahi.
Penjual tembakau Gayo ini menghembuskan nafas terahir, Rabu 14 Juli 2021. Kepergianya mendadak, apalagi dia tidak ada sakit sebelumnya dan senantiasa aktif berjamaah. Almarhum tidak lama diopname di RSU Datu Beru. Hanya dua hari, namun takdir sudah ditentukan Tuhan, dia tidak sempat menikmati kumpul bersama anak-anaknya saat lebaran Idul Adha 1442 H.
Ada sisi unik lainya yang dilakukan Abdul Gani semasa hidupnya. Dia mampu membangun rumahnya sendiri, tanpa tukang. Walau tidak serapi karya tukang professional, namun rumahnya lantai tiga berdiri kokoh.
“Rumah dibangun awalnya Bapak tahun 1976, kemudian dialnjutkan pada tahun 2007, direhap sedikit demi sedikit rumah tanpa bantuan tukang. Ukuranya 7×16 meter,” sebut dokter Muchsin, anak almarhum yang menjadi PNS di Dombu, Nusa Tenggara Barat.
Saat bercerita dengan Dialeksis.com, tentang kuliahnya, Muchsin mengakui orang tuanya membiayai mereka kuliah tidak mengirimkan uang belanja. Namun sang ayah mengirim barang berupa sayur mayur.
Tiga anaknya kuliah di Banda Aceh. Abdul Gani mengirim sayur,cabe, jeruk, alpukat. Barang yang dikirim itulah dijual anak anaknya kepada pedagang pengecer. Mereka setiap subuh sudah di Pasar Aceh, Banda Aceh.
“Kami jam 11 kembali ke Pasar Aceh untuk mengutip uang dari pengecer. Uangnya kami dipergunakan untuk keperluan kuliah. Kegiatan itu kami lakukan setiap hari, bergiliran, siapa yang kosong jadwal kuliah maka dia yang mengutip uang kepada pengecer,” sebut Muchsin yang didampingi kakaknya Mailina.
Untuk membiayai anak anak kuliah, tiga sekaligus hingga semua menjadi sarjana merupakan pekerjaan yang berat. Apalagi Pak Gani tidak memiliki sawah dan kebun, seperti lazimnya orang Gayo yang punya sawah dan kebun.
Abdul Gani, kelahiran Bukit Toweren, pinggiran Danau Lut Tawar, mempersunting Murniati Binti Abubakar dari Lot Toweren pada tahun 1969. Anak pertama dan kedua dari pasangan ini sudah dipanggil ilahi.
Hanya 4 anak sampai tulisan ini diturunkan masih menikmati udara dunia (Hadijah SE.Ak, Asmawati Sp.d , Mailina SE.Ak dan dr Muhsin). Dari empat anaknya, sosok lelaki yang tegas ini sudah dikarunia Tuhan 15 cucu (dari 17 cucunya, dua sudah berpulang).
Sebagai lazimnya kebanyakan lelaki yang tidak punya jabatan dan hanya berjuang untuk menghidupi keluarga, Pak Gani ahirnya hijrah dari Toweren pada tahun 1973. Pak Gani pindah ke Takengon menekuni usaha berdagang beras, kopi, tembakau.
Dia sempat bersama sejumlah eksportir kopi ternama di Gayo, seperti Irham, Haji Muerah, Wahyu, Zulkairi, mengekspor kopi ke luar negeri. Namun pada tahun 1982 ketika harga kopi anjlok, dia tidak lagi melanjutkan usaha dagang kopi.
Ahirnya dia bekerja serabutan, tahun 1990 pernah menjadi supir Takengon- Bintang. Pernah menjadi nelayan di danau lut tawar, yang pulang malam dalam suasana dingin ketika manusia tertidur lelap.
Dia telah memberi contoh dan semangat kepada anak-anaknya untuk tidak menyerah menghadapi tantangan hidup ini. Apapun pekerjaan jangan malu dilakukan, asalkan halal dan berkah dari Allah. Semangat pantang menyerah, kelak akan membuahkan hasil.
“Harus bekerja keras, jangan menyerah dengan keadaan. Jujur, amanah,jangan sedikitpun memakan hak orang lain. Yang paling utama adalah jangan meninggalkan ibadah. Itu pesan Ama (ayah) kepada kami anak anaknya,” sebut Muchsin yang masih tergiang amanat sang ayah.
Walau hanya bekerja sebagai penjual tembakau eceran di Pasar Inpres Takengon, namun Abdul Gani tahu diri bahwa dia hamba yang harus mensyukuri nikmat yang diberikan oleh yang maha kuasa. Dia tegas, namun memiliki kelembutan hati dan mau berbagi.
Setiap hari dia menyiapkan rejeki yang diberikan Tuhan untuk dia titipkan pada muazin yang membangunkanya untuk shalat. Kini dia telah kembali ke Ilahi, Masjid Agung Ruhama kehilangan jamaah yang setia. Semoga Tuhan menempatkanya di surga. *** Bahtiar Gayo/Dialeksis.com
Comments are closed.