Oleh L.K.Ara
Diantara puluhan bahkan ratusan penyair di negeri Antara tidak banyak yang menulis syair balada. Salah seorang dari penyair yang menulis puisi panjang itu adalah Ibrahim Kadir.
‘Saya ingin menceritakan khazanah budaya negeri Antara dalam puisi panjang’, kata Ibrahim Kadir suatu kali. Senang pada mata pelajaran sejarah ketika duduk di bangku sekolah Ibrahim berpikir daerah Gayo itu potensial. Katanya, ‘Daerah Gayo itu mempunyai banyak cerita-cerita terpendam yang tersebar secara turun temurun. Itulah salah satu yang menggugah hati saya untuk menggalinya, kalau ini tidak diungkapkan akan menjadi hilang’.
Melihat beberapa balada yang dihasilkannya seperti, Inen Mayak Pukes, Malim Dewa, memang dapat dikatakan bahwa ia bersungguh-sungguh untuk menulis syair berpanjang-panjang. Kedua cerita itu sudah dikenal dikalangan masyarakat setempat sebagai cerita rakyat yang sangat populer.
Cerita Malem Dewa misalnya dikalangan masyarakat dikenal sebagai cerita yang dapat dinikmati selama dua tiga malam, bahkan pernah dituturkan selama 7 malam.
Di negeri Antara yang lebih dikenal dengan negeri Gayo, Aceh Tengah, Ibrahim Kadir menulis balada Malem Dewa dalam bahasa Gayo. Bahasanya indah, penuturannya lancar bak air mengalir. Disamping semua itu Ibrahim Kadir melengkapi baladanya itu dengan irama tertentu dalam bentuk lagu.
Cerita rakyat yang memiliki tokoh Malem Dewa dalam kisah ini memeluk agama Islam. Menurut ahli sastra daerah cerita Malem Dewa merupakan salah sebuah cerita yang di Islamisasi. Karena sebelumnya cerita Malem Dewa merupakan cerita yang berasal dari zaman Hindu.
Untuk mengetahui bagaimana penyair Ibrahim Kadir menampilkan tokoh Malem Dewa dalam cerita ini, berikut ini kita lihat bersama. Ibrahim memulai baladanya dengan baris-baris (terjemahan):
turunlah turun, o puteri kayangan
ke Atu Pepangiren dari angkasa
Buntul Kubu untuk kenang-kenangan
dari tempat pemandian mengalir ke kuala
pung…bunyi kecimpung
bergema keliku terdengar ke kuala
o, Tengku Malim
Malim Diwa dengan Puteri Bungsu
masa dahulu kujalin riwayatnya
riwayat ini menggugah hatiku
kucoba penaku untuk merangkainya
Negeri Piadah megah kita kenal
seorang pemuda telah tersiar
itulah Tengku Malim seorang berilmu
ulama dahulu lagi bijaksana
Beberapa bait awal telah membawa pembaca kepada perkenalan singkat tokoh cerita yakni Malim Diwa dan Puteri Bungsu. Juga pada bagian awal ini di informasikan tempat kejadian cerita. Pada bait ke tiga penyair segera juga memperkenalkan lebih lengkap tentang siapa tokoh Malim Diwa, yakni, seorang berilmu, ulama yang bijaksana.
Balada ini semakin menarik perhatian apabila tiba pada kisah Puteri Bungsu kehilangan baju terbangnya. Siapa yang mencuri? Dan merasa kehilangan, karena itu tak bisa terbang pulang ke angkasa, Puteri Bungsu hanya bisa menangis. Berikut ini penyair berkisah (terjemahan):
jangan menangis kau Puteri Bungsu
mari bersamaku singgah seadanya
besok hari kembali mencari bajumu
wahai cucuku jangan kau berduka
dalam pada itu datang Tengku Malim
seolah-olah bisu tiada berkata
Inen Keben bertanya agak tersipu
kadang tersenyum pada keduanya
wahai Tengku aku bertanya
apakah ada terlintas dimata
kain cucuku tadi hilangnya
dengan tiba-tiba entah kemana
Puteri Bungsu tadi sedang mandi
bajunya terletak diatas pematang itu
tiba-tiba hilang tiada ketemu
tak dapat lagi dia terbang keangkasa
Tengku Malim seolah-olah terpekur
mukanya tertunduk tiada berkata
tiada kutahu kain bertumpuk
dimana berpakain cucumu
pekerjaanku memancing ikan
lemantu umpannya tak pernah kena
kerjaku begitu-begitu selalu
membawa tubuh seorang, kehulu kekuala
Di dalam baris-baris balada Malem Dewa berikutnya tokoh Inen Keben (Nenek Kebayan) mengharapkan kepada Tengku Malim agar dapat membantu mencarikan kain Puteri Bungsu yang hilang. Diceritakan Puteri Bungsu terus menerus menanĀ¬gis berurai air mata. Maklumlah puteri masih dalam usia remaja. Kata Ibrahim Kadir dalam puisinya, ‘Memang begitu sifat wanita/air matanya mengalir ganti bahasa/sangat sedih hati cucuku/hingga malu dia melihat manusia’.
Pada bagian akhir balada ini mengisahkan Puteri Bungsu jatuh hati kepada Tengku Malim. Dalam bahasa yang indah penyair melukiskan sebagai berikut (terjemahan):
hidupku terpencil sanak ku jauh
tak lagi layak hidup sebatang kara
telah takdir Tuhan maka kita senasip
pergi selangkah nanti sekata
Inen Keben lalu bercerita
ketika baik ini semoga bermakna
karena telah sekata engkau berdua
jalinlah tali hidup di dunia
senang hatiku besar tuahku
melihat cucuku seiya sekata
susah senang bahagia bersama
hidupmu semoga berperi bahasa
Penyair Ibrahim Kadir (56) lahir di Kemili, Takengon, Aceh Tengah. Ia menulis sejak berusia l8 tahun, yakni pada tahun 1958. Telah menerbitkan sejumlah buku bersifat sastra, seperti, ‘Cerita Rakyat Gayo Dalam Balada Ibrahim Kadir’ (L.K.Ara, l97l), ‘Datu Beru’ (LKGA. l97l), ‘Gentala’ (LKGA, l97l) dan ‘Cencim Pala’ (Balai Pustaka, l97l).
Selain giat menulis Ibrahim juga aktif dalam dunia teater dan tari. Pada tahun l98l, Ibrahim dipercayakan menciptakan Tari Massal untuk acara MTQ di Banda Aceh. Sebuah puisi panjangnya ‘Inen Mayak Pukes (Pengantin Pukes) ‘ dimuat didalam buku ‘Seulawah, Antologi Sastra Aceh’ (Yayasan Nusantara, Jakarta, l995).
(dari buku Ekspresi Puitis Aceh Menghadapi Musbah Oleh L.K. Ara. (Sumber :Ā lkara2000.blogspot.com | Foto : Junaidi Hanafiah)