Institusi Pendidikan = Pabrik Pencetak Jongos dan Babu?

SEBAGAI NENEK moyangnya juga, kedua orang ini mendapat naluri sebagai hamba sejati – tidak tanggung-tanggung, setia sampai bulu-bulunya. Sebagai jongos dan babu dari karat tertinggi, mereka merasa tersiksa bila tidak mendapat perintah. Dan mendapat kegembiraan hidup bila mendapat perintah. (Pramoedya Ananta Toer dalam JONGOS + BABU)

Tiga hari yang lalu saya mempublikasikan artikel yang saya beri judul “Membunuh kecerdasan anak, inikah tujuan sistem pendidikan Indonesia?”. Artikel ini saya publikasikan di berbagai media, mulai dari laman facebook saya http://www.facebook.com/notes/win-wan-nur/membunuh-kecerdasan-anak-inikah-tujuan-sistem-pendidikan-indonesia/10150250251533966?ref=notif&notif_t=note_comment, group http://www.facebook.com/groups/acehnet?view=permalink&id=183642005030583 sampai Kompasiana http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/11/membunuh-kecerdasan-anak-itukah-tujuan-pendidikan-di-indonesia/. Di Kompasiana, dalam waktu satu hari tulisan ini dibaca oleh 1879 orang dengan 67 komentar yang semuanya senada dengan saya. Merasa gelisah dengan buruknya mutu kurikulum pendidikan Indonesia ini tidak saya rasakan sendiri.

Tapi dari sekian banyak tanggapan yang masuk, tentu saja tidak semuanya sepakat dengan saya.

Ada seorang bapak yang merasa tulisan tersebut terlalu berlebihan dan tidak mencerminkan buruknya kualitas pendidikan di Indonesia. Tanggapan kontra ini saya dapatkan di forum diskusi acehnet di facebook. Si penanggap yang belakangan saya tahu ternyata adalah senior saya di fakultas Teknik Unsyiah ini mengatakan: “agak susah meraba benar atau tidaknya anggapan ini tanpa statistik. Sebab pada Olimpiade Fisika dan Olimpiade Lainnya Anak2 Indonesia Selalu menang, Dibandingkan dgn Malaysia, Thailand, dan beberapa negara Asia lainnya pencapaian putra putri Indonesia sangat Encouraging.”

Apa yang dikatakan bapak ini tentu ada benarnya. Tapi sebelum kita ikut-ikutan bangga seperti bapak ini, ada baiknya kita ketahui dulu apa itu Olimpiade Fisika.

Olimpiade Fisika Internasional yang dibanggakan oleh bapak itu adalah sebuah kontes yang diorganisir oleh fisikawan-fisikawan Polandia, Eropa Timur, dan/atau negara-negara Asia yg sedang berkembang (seperti a.l. Korea) dan tentu saja INDONESIA, yang sama-sama ketinggalan dalam kancah persaingan Iptek internasional. Pemrakarsa utama Olympiade Fisika adalah Polandia, negara yang tidak punya prestasi apa-apa dalam IPTEK (atau mungkin pengetahuan saya yang terlalu dangkal sementata statistik membuktikan lain, coba katakan pada saya apa prestasi menonjol Polandia dalam IPTEK?).

Dengan latar belakang seperti ini kita bisa bertanya, apa sih bagusnya Olympiade Fisika? Apakah dengan menjuarai Olympiade Fisika, lalu pemenangnya bisa bersaing dikancah IPTEK Internasional?

Apa sih artinya menang perlombaan tingkat SMU mengalahkan negara-negara pinggiran dalam perkembangan IPTEK Internasional. Beda perlombaan IPTEK tingkat SMU ini seperti bumi dan langit dengan tingkat universitas, dan masih jauh lebih membumi-langit lagi dengan kompetisi dalam Iptek yang sesungguhnya yang tingkat keberhasilannya HARUS dinilai dari hasil karya yang bisa diobservasi secara empiris, bukannya hanya berupa skripsi diatas kertas.

Jadi jelas bahwa aktivitas Olimpiade-olimpiade-an yang dibanggakan bapak ini, kalau kita lihat dengan jernih, sebenarnya tidak lebih dari kompensasi karena negara-negara pinggiran ini TIDAK BISA IKUT (karena kurang kualifikasi) dalam perlombaan atau kompetisi Iptek internasional yang ASLI. Sehingga mereka merasa perlu membuat kompetisi bohong-bohongan sekedar untuk memuaskan diri. Yah semacam Masturbasi Intelektual.

Kenyataannya, posisi Indonesia dalam dunia sains internasional adalah seperti yang ditulis oleh Pervez Amirali Hoodbhoy, Profesor + Kepala Departemen Ilmu Fisika di Universitas Quaid-i-Azam di Islamabad, Pakistan di majalah PHYSICS TODAY <http:>ft/vol_60/iss_8/49_1.shtml>.

Di situ Professor Hoodbhoy menulis :

The output of the seven most scientifically

productive Muslim countries for physics papers, over the period from 1 January 1997 to 28 February 2007, together with the total number of publications in all scientific fields. A comparison with Brazil,India, China, and the US reveals significantly smaller numbers. A study by academics at the International Islamic University Malaysia showed that OIC countries have 8.5 scientists, engineers, and technicians per 1000 population, compared with a world average of

40.7, and 139.3 for countries of the Organisation for Economic Co-operation and Development. (For more on the OECD, see http://www.oecd.org.) Forty-six Muslim countries contributed 1.17% of the world’s science literature, whereas 1.66% came from India alone and 1.48% from Spain. Twenty Arab countries contributed 0.55%,compared with 0.89% by Israel alone. The US NSF records that of the 28 lowest producers of scientific articles in 2003, half belong to the OIC.

Di sini yang dikategorikan sebagai negara Muslim oleh professor Hoodbhoy adalah negara-negara anggota OIC alias OKI. Dan yang perlu kita catat pula, dari tujuh negara Islam paling produktif dalam menghasilkan jurnal fisika ini, tidak ada nama Indonesia.

Jadi mengacu pada artikel Profesor Hoodbhoy yang dimuat di Physics Today, yang merupakan majalah utama para fisikawan dunia Internasional, yang setiap artikel yang dimuat di dalamnya harus  lengkap disertai sumbernya sebagai layaknya artikel yang berstandard ilmiah bukan dengan data yang diambil dari awang-awang, kita bisa dengan jelas melihat, ternyata prestasi ilmiah Indonesia di dunia internasional adalah NOL-BESAR. Ini seratus persen bertentangan dengan pendapat umum di Indonesia, yang berasal dari orang-orang model seperti bapak ini.

Kalau memang Olimpiade Fisika yang dibanggakan bapak ini sehebat gembar-gembornya, saat ini sudah lebih sepuluh tahun olimpiade semacam ini ada. Logikanya, juara di tahun pertamanya sekarang sudah lulus Universitas. Jadi dia tentu sudah punya karya nyata yang bisa diberikan kepada dunia sains. Tapi mana? Di mana sekarang juara Olimpiade fisika yang memenangkan lomba ini saat pertama kali digelar? Saya malah yakin yang ingat dia pernah juara Olimpiade fisika cuma dia, keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Ketika saya menginformasikan tentang miskinnya jurnal ilmiah yang diperoduksi ‘ilmuwan’ Indonesia.

Bapak ini mengatakan “Saya cuma mencoba mencari contoh karena ulasan win wan nur diatas tidak menyajikan pembanding. Tentu saja cara saya bisa salah. Mari kita ambil contoh lain: Cara pengajian tradisional makan waktu 2 tahun. Cara pengajian ikrak makan waktu 1… tahun dgn capaian kualitas yang sama dan terbukti untuk beberapa kasus acak. Kalau ini memang terbukti, tentu saja para pendidik dan orang tua memilih model ini. Jadi ada bentuk statistik WAKTU dan KUALITAS sebagai pembanding. Ketika saya kuliah thn 80an dulu yang dapat IP 3 cuma satu dalam seratus, tetapi sekarang IP 3 bukan barang langka dan saya tanyakan kepada dosen2 di Unsyiah dan mereka mengatakan memang IP diatas 3 sudah biasa. Lalu salahkah jika saya mengatakan system pendidikan sekarang tidak seburuk yang dipaparkan Win Wan Nur? Coba tolong berikan perbandingan yang bisa meyakinkan org.”

Dan inilah perbandingan itu, bersamaan dengan artikel ini saya post. Seseorang bernama Johansyah mempost artikel yang senada dengan tulisan saya di situshttp://www.lovegayo.com/79?51/pendidikan-serba-formal?itas.html

Di sana si penulis artikel mengatakan “Dalam sebuah diskusi mata kuliah pengembangan kurikulum beberapa waktu lalu, Prof. Warul Walidin, selaku dosen pengampu mata kuliah mengatakan bahwa dunia pendidikan sekarang terlalu fokus kepada aspek formalitas dan menafikan substansi dari pendidikan itu sendiri. Seperti orang Spanyol bilang ‘lo que importa es el informe’ (yang penting laporan).”

Persis seperti yang dikatakan oleh  Prof. Warul Walidin. Itulah yang ditunjukkan oleh bapak ini “terlalu fokus kepada aspek formalitas dan menafikan substansi dari pendidikan itu sendiri”

Apa yang dikatakan oleh Prof. Warul Walidin ini sekaligus menjadi bantahan atas apa yang dikatakan oleh bapak ini selanjutnya yaitu “Mekanisme merubah satu sistim bukan dilakukan seorang pengarang buku, tapi ada ribuan Pakar yang terlibat yang kesemuannya sangat berpengalaman dan mempunyai predikat S3. Untuk saya pribadi jika ada satu artikel yang dikarang seorang smart guy yang tidak diketahui persis jentrungannya dan menentang sistim yang diciptakan seribu orang yang berpengalaman dalam bidangnya tertu saya berpihak kepada yang lebih ramai.”

Selanjutnya, untuk membuktikan baiknya kualitas pendidikan Indonesia, bapak ini mengatakan : “Dear Win Wan Nur, Tahun 2009 Petronas mengkaryakan 23 fresh Engineer (baru tamat) dari Indonesia dengan bayaran tinggi, Tahun 2010 mereka mengambil lagi sejumlah yang sama untuk posisi karyawan tetap. Menurut pengamatan saya selama bekerja 10 thn di Petronas dan 20 thn di ExxonMobil perusaan petronas bukan perusahaan yang mudah mengkaryakan Orang, termasuk org2 Malaysia sendiri. Perlu diketahui Petronas adalah Perusahaan FORTUNE 500 dan WORLD CLASS COMPANY. Dan tentunya saya sangat bangga karena Perusahaan yg bertaraf World Class mengkaryakan putra putri Indonesia. Saya tak bosan2nya memberikan perbandingan.”

Ketika saya katakan itu tidak bisa dijadikan ukuran kualitas pendidikan di Indonesia dengan mengutip artikel New York Times tanggal 5 agustus 2010 yang mengatakan bahwa salah satu titik lemah Indonesia di mata investor adalah Universitas dan Perguruan Tinggi di Indonesia ini tidak begitu baik . Bapak ini malah mengatakan sebenarnya negara ini bukan dipersiapkan untuk kapitalis, meskipun juga agak sepakat bahwa  mutu perguruan tinggi di negeri ini kurang baik. Tapi sebagai kesimpulan di akhir komentarnya, bapak ini mengatakan: “Jadi nothing Wrong dgn pendidikan di Indonesia. 3 dari Anak2 saya lulus SMA di Indonesia dan masuk ke UNITEN, UM dan UIA (Semuanya International Class di Malaysia) dan tidak mengalami kesulitan apapun. So What !! What am I not happy about?”

Saya jelas tidak sepakat dengan pandangan ini, karena bagi saya tujuan utama pendidikan itu adalah untuk membuat manusia berpikir merdeka. Manusia terdidik bagi saya adalah manusia merdeka yang bisa leluasa mengembangkan kreatifitas dan intelektualitasnya.

Sementara level bapak ini dan engineer Indonesia yang bekerja di Petornas yang dia  bangga-banggakan itu jelas cuma tukang SEKRUP, yang menjadi orang suruhan di luar negeri tanpa bisa memberikan nilai tambah apapun kepada negeri ini. Tidak bisa memproduksi jurnal ilmiah yang hasilnya bisa digunakan untuk mengembangkan berbagai produk teknologi.

Tapi memang dibanding ribuan TUKANG SEKRUP yang setiap tahun diproduksi sistem pendidikan negeri ini, saya katakan bapak ini dan ke-23 Enggineer itu harus diakui adalah TUKANG SEKRUP BERKUALITAS TINGGI.

Menjawab komentar saya tersebut, bapak ini mengatakan : “Mohon maaf kalau ungkapan tersebut tidak compatible dgn generasi2 terkini dan menyinggung perasaan dan membuat saya turun pangkat jadi tukang scrup biasa. Tapi saya puas dgn pekerjaan saya karena telah banyak mengajar engineer2 muda menjadi tukang scrup madya. Kini banyak engineer2 yang saya ajar tersebut telah menjadi Manager Senior di perusahaan2 Word Class di beberapa negara dan sayapun bisa tersenyum kalau pensiun sekarang.”

***

Membaca argumen-argumen dari bapak ini. Ingatan saya melayang kepada sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Saat melakukan dialog dengan bapak ini, kekaguman saya kepada sang sastrawan besar ini pun bertambah. Sebagai seorang sastrawan, Bung Pram dengan jeli bisa menangkap fenomena yang ada dalam masyarakatnya dan menuangkannya dalam bentuk cerita. Contohnya, mentalitas seperti yang ditunjukkan oleh bapak ini dalam dialognya dengan saya. adalah mentalitas khas banyak orang di negeri ini. Mentalitas seorang pekerja yang karena memiliki majikan orang asing lalu merasa diri sedemikian tingginya.

Kisah tentang orang dengan mentalitas seperti ini pernah dituliskan oleh Bung Pram dalam sebuah cerpen dengan judul JONGOS + BABU yang belakangan diterbitkan dalam satu buku kumpulan cerpen Pramoedya Ananta Toer yang diberi judul Cerita dari Jakarta.

Dialog dengan bapak ini mengingatkan saya pada kisah Sobi dan Inah, dua kakak beradik yang berprofesi sebagai jongos dan babu yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini.

Cerita bapak ini yang begitu membanggakan pencapaiannya  sebagai pekerja di perusahaan FORTUNE 500 dan WORLD CLASS COMPANY, mengingatkan saya pada kisah Sobi yang begitu membanggakan diri dan keberuntungannya karena dia bekerja sebagai JONGOS Belanda. Membanggakan kebolehannya menyanyi “Jua olwees in mai haat”, membanggakan keberuntungannya bisa memijat Nona majikannya setiap sore dan ceritanya tersebut didengarkan dengan penuh rasa iri oleh Inah, adiknya. “Buat seorang JONGOS, itu sungguh karunia besar kak.”, kata Inah menanggapi cerita abangnya. (kisah ini ada di  halaman 8)

Cerita bapak ini yang begitu bangga dengan pencapaiannya dan apa yang sudah diraih oleh anak-anaknya ini sangat pas kalau kita sandingkan dengan kisah di halaman 5 di buku kumpulan cerpen Pramoedya ini.

“SEBAGAI NENEK moyangnya juga, kedua orang ini mendapat naluri sebagai hamba sejati – tidak tanggung-tanggung, setia sampai bulu-bulunya. Sebagai jongos dan babu dari karat tertinggi, mereka merasa tersiksa bila tidak mendapat perintah. Dan mendapat kegembiraan hidup bila mendapat perintah.

Keduanya termasuk pada aliran kanan – tak revolusioner, yakni babu-jongos yang suka mencuri sendok, garpu, pisau kemudian melarikan diri. Tidak! Keduanya memestikan diri patuh pada kewajiban. Siapa tahu, abadilah penghambaannya tiga generasi lagi. Jadi mereka telah membuat batas-batas untuk daerah hidupnya. Sama halnya dengan Renville membuat batas status-quo hidupnya Republik.

Sesudah Poppi meninggal, Sobi jadi jongos di kantor Dai Sanka – kantor mata-mata angkatan laut Jepang. Cita-citanya yang terakhir ialah memakai pet berbintang kuning, uniform putih, dan samurai bergagang keemasan dengan sarung pedang berkulit jeruk. Cita ini tak pernah terlaksana. Jepang tak pernah memberi kesempatan. Dan sudah senang hati ia bila mendapat kesempatan  memekik “keireit” kalau kolonel Dai Sanka turun dari mobilnya.”

***

Sebelum saya bertemu dengan orang seperti bapak ini. Saya sempat heran, mengapa ketika kualitas pendidikan di negeri ini sedemikian buruknya, para orang tua murid yang anaknya menjadi target dari pola pendidikan seperti ini seperti tenang-tenang saja.

Apalagi ketika saya menuliskan artikel tentang buruknya kualitas pendidikan negeri ini. Saya melihat, ternyata ada banyak orang tua yang seperti saya, menyadari parahnya dengan materi dan doktrin yang ada di buku-buku pelajaran anak-anak Sekolah Dasar yang sedang dibentuk karakter dasarnya.

Tapi ketika saya melihat bapak ini begitu membanggakan pencapaian diri dan keluarganya sebagai bukti bahwa tidak ada yang salah dengan pendidikan di negeri ini. Saya pun sadar bahwa tidak semua orang tua menafsirkan pendidikan itu sebagai usaha untuk membentuk manusia-manusia tercerahkan dan berpikiran merdeka. Ternyata ada orang tua yang memandang pendidikan sebagai usaha untuk menciptakan manusia-manusia yang siap bekerja dan dipekerjakan. Dengan cita-cita tertinggi bisa menjadi dipekerjakan di perusahaan Fortune 500 dan WORLD CLASS COMPANY.

Bisa jadi orang tua dengan cara pandang seperti inilah yang merupakan orang tua dari mayoritas anak didik di negeri ini, sehingga cita-cita tertinggi dari orang bapak ini pulalah yang menjadi cita-cita tertinggi dari para pengambil kebijakan di dunia pendidikan negeri ini.

Melihat cara pandang dari orang semacam bapak ini dikaitkan dengan fenomena yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia saat ini, kita patut khawatir, jangan-jangan sistem pendidikan di negeri ini tidak dirancang berorientasi untuk menghasilkan manusia-manusia merdeka yang bisa mencerahkan dan mencerdaskan sekitarnya. Tapi sekedar berorientasi untuk menciptakan manusia-manusia bermental pekerja. Seperti Sobi dan Inah, dua tokoh sentral dalam cerpen Bung Pram.

Kalau para orang tua yang berpikiran berbeda, yang berpikir bahwa pendidikan itu adalah sebuah usaha untuk membentuk manusia-manusia tercerahkan dan berpikiran merdeka, diam dan tidak berbuat apa-apa. Jangan heran kalau institusi pendidikan di negeri ini, meminjam ungkapan Pramoedya, hanya akan menjadi sebuah pabrik pencetak jongos dan babu dari karat tertinggi yang memiliki naluri sebagai hamba sejati – tidak tanggung-tanggung, setia sampai bulu-bulunya.

Dan salah satu dari produk hasil cetakan pabrik itu adalah ANAK KITA….

Wassalam

Win Wan Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.