Catatan : Syah Antoni*
Pernah di tahun 1819, Seorang Ilmuwan asal Jerman mendaki Gunung Gede, ia terpesona akan satu tumbuhan yang memiliki bunga dan daun yang indah, Ilmuan tersebut bernama Caspar Georg Carlt Reinwardt. Belakangan diketahui, sang ilmuwan adalah orang pertama yang menemukan bunga Edelweiss di Indonesia kemudian menelitinya. Nama Edelweiss sendiri diduga berasal dari bahasa Jerman, Edel yang berarti mulia dan Weiss artinya putih.
Seiring berjalannya waktu, bunga Edelweiss mulai dikenal masyarakat luas, khususnya diantara para pendaki gunung. Bahkan, ada beberapa orang mendaki gunung hanya untuk dapat melihat bunga yang dijuluki bunga abadi tersebut.
Julukan bunga abadi sangat menarik untuk dibahas. Lantas, mengapa bunga ini dijuluki bunga abadi ?. Jawabannya karena bunga Edelweiss mengandung hormon etilen yang mampu mencegah kerontokan kelopak bunga. Karena hormon itu juga bunga Edelweis sanggup mekar hingga 10 tahun lamanya.
Edelweiss memiliki banyak jenis, tidak hanya di Indonesia tapi tersebar juga di beberapa pegunungan Eropa dengan penamaan atau julukan yang berbeda pula, sesuai dengan daerah atau di negara mana bunga tersebut tumbuh.
Di Indonesia sendiri keberadaan Edelweiss sudah mulai langka dan jarang ditemui. Beberapa sebab yang menjadikan bunga Edelweiss mulai jarang ditemukan salah satunya adalah karena prilaku manusia yang gemar memetik bunga Edelweiss untuk dibawa pulang selepas mendaki gunung. Padahal Bunga ini tidak boleh dipetik karena dapat mengganggu ekosistem.
Puncaknya adalah ketika musim bunga melanda Indonesia beberapa bulan lalu, berbagai jenis bunga baik dihutan, gunung, dan tempat lainnya diburu besar – besaran, tidak terkecuali, Edelweiss juga menjadi sasaran perburuan. Padahal bunga Edelweiss adalah salah satu flora yang dilindungi dalam undang – undang, yaitu undang-undang nomor 5 tahun 1990 pasal 33 ayat 1 dan 2. Tentang konservasi sumber daya hayati dan ekosistem.
Edelweiss lazimnya hidup di lereng gunung. Namun, nyatanya bunga tersebut dapat dibudidayakan di daerah atau pemukiman yang terletak pada ketinggian tertentu. Di Dataran Tinggi Gayo misalnya, Edelweiss dapat tumbuh subur dipekarangan rumah dengan perlakuan khusus. Bahkan dapat dibudidayakan tanpa harus mencabut Edelweiss – Edelweiss yang hidup di lereng gunung.
Di Dataran Gayo sendiri, keberadaan bunga Edelweiss juga mengalami pengurangan, tidak adanya larangan yang tegas membuat siapa saja leluasa mencabutnya. Sementara ini, baru ada satu lokasi ekowisata yang melarang tegas dengan sanksi bagi pemetik dan pencabut bunga Edelweiss, yaitu lokasi wisata alam Gunung Burni Telong.
Sebagai solusi dari permasalahan diatas, pada kesempatan ini penulis akan berbagi pengalaman bagaimana cara mengembangkan bunga Edelweiss tanpa harus mencabutnya dari lereng gunung.
Pada dasarnya, Edelweiss berkembang biak lewat biji – biji kecil hampir tak kasat mata yang tersimpan didalam bunga. Carilah beberapa bunga Edelweiss yang betul – betul tua, petik dari tangkainya lalu diamkan selama satu bulan atau lebih, kemudian semai bunga tersebut dengan cara menabur bunga sembari meremas – remas menggunakan jari. Dalam proses pembudidayaan ini, penulis mendapatkan bibit dari Edelweiss yang dicabut dan ditelantarkan begitu saja oleh tangan manusia tak bertanggung jawab.
Media tanam semaian boleh menggunakan polibag atau pot yang diberi tanah dengan campuran pupuk kompos lalu tempatkan polibag atau pot ditempat teduh . Tunggu sampai muncul Edelweiss – Edelweiss kecil, biasanya bibit akan tumbuh setelah beberapa bulan.
Setelah bibit tumbuh berukuran beberapa centimeter, maka saatnya dipindahkan pada pot atau polibag yang lain, usahakan sewaktu memindahkan akar tidak bergerak. Setelah berhasil dipindahkan, letakkan bibit di tempat teduh atau tidak terkena matahari langsung, tunggu hingga seminggu atau lebih karena bibit masih rentan mati bila terkena panas matahari seharian. Kemudian barulah bibit Edelweiss diletakkan ditempat yang terkena matahari langsung.
Edelweiss yang terdapat di Pegunungan Gayo adalah jenis Edelweiss yang bisa tumbuh hingga 1 meter lebih, apalagi jika unsur hara didalam media tanam terpenuhi. Jadi semakin besar bunganya media tanampun harus ditambah ukurannya. Atau memindahkan langsung ketanah lebih direkomendasikan. Edelweiss tidak perlu dipupuk dengan pupuk kimia, cukup berikan pupuk organik atau kompos seperti kotoran hewan yang sudah difermentasi, serasah yang membusuk, atau siraman bekas cucian beras.
Bila belum dipindahkan dari pot atau polibag, hal yang harus betul – betul dijaga adalah kelembaban media tanam. Edelweiss dengan media tanam yang terlalu lembab rentan mengalami pembusukan akar dan batang yang menyebabkan Edelweiss mati. Usahakan media tanam tidak terlalu lembab juga tidak terlalu kering, alangkah lebih baiknya lagi bila Edelweiss yang ada pada polibag atau pot dipindahkan saja ke permukaan tanah langsung, karena ketersediaan unsur hara akan lebih banyak, hal tersebut juga mempermudah perawatan karena tanaman bisa mencari makan secara mandiri tanpa harus terus menerus diberi pupuk ke media tanam. Setelah dilakukan pemindahan biasanya Edelweiss akan mulai berbunga beberapa bulan kedepan. Biarkan bunga – bunga tersebut menua untuk kemudian dibibitkan kembali.
“bila bisa bibudidayakan, mengapa harus mengambil dari alam ?”, Ungkapan tersebut mungkin tepat diucapkan mengingat jumlah Edelweiss yang kian hari makin berkurang dihabitat aslinya. Dengan membudidayakan dapat meminimalisir potensi kepunahan, serta menghindarkan kita dari jeratan hukum.
Mari jaga alam, alam akan menjaga kita.
* Penulis adalah Jurnalis Lintas Gayo.com, warga Bener Meriah.
Comments are closed.