Peserta Gayo Writer. Wrb

Oleh : Win Ruhdi Bathin*

Gayo Writer Camp2, dibuat Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Takengon, 30-31 Juli 2022 di Villa Rindu Alam , Pegasing.

Teleponku berdering. Satu nomor tanpa nama muncul di layar. Aku mengangkatnya. Diujung sana suara Fauraria Valentine, ketua FLP Takengon menyapa.

Fauraria memintaku menjadi pemateri untuk calon penulis yang digelar komunitas ini. Aku tentu saja menyambut tawaran ini.

Siang , 30 Juli, aku menyambangi tempat pelatihan. Lokasinya sangat asri, ditepi kali Pesangan.

Beberapa perahu melintas didepan ku. Tempat ini menjadi base camp Gerpa Adventure, komunitas penyedia jasa arung jeram. Para pengelola Gerpa Adventure, memiliki kecakapan khusus bersertipikat.

Tepi kali ini, kini ramai paska konplik, paska pandemi covid 19. Dulu, tempat ini sangat sepi.

Derasnya air Pesangan menjadi potensi wisata dan hasilkan uang , untuk para pengelolanya. Satu ekostim mikro ekonomi tercipta di ekosistim ini.

Aku disambut panitia. Yang membantuku membawa 60 buah buku. Dari tiga judul berbeda. Buku ini, dulunya dijual. Dititipkan penulisnya di cafe tempatku bekerja.

Sisa buku- buku ini telah sekian tahun tak terjual. Aku berinisiatif membagikan buku ini , untuk peserta dan panitia Gayo Writer Camp2.

Buku ini kubagikan gratis. Tanpa bertanya dahulu kepada penulisnya. Toh, penulisnya juga tidak pernah lagi bertanya soal buku ini.

Aku berpikir simpel saja , bahwa penulisnya sudah lupa dan “mungkin ” sudah menyedekahkannya.

Agar sedekah buku ini sampai pahalanya kepada pemilik buku, aku memberanikan diri membagikannya. Agar pahala kebaikannya segera sampai.

Oleh panitia, aku diminta memberi materi Jurnalistik. Lama aku bergelut di dunia berita ini. Menjadi pewarta. Dari media tak bergaji hingga media nasional dengan kontrak dan asuransi.

Bahkan beberapa fotoku pernah dimuat di agensi berita luar negeri. Dengan harga perfoto yang aduhai.

Saat Mike pelatihan ada di tanganku, aku menatap wajah wajah para peserta. Dari wajah ini aku tahu psikologis peserta.

Ada yang terlihat optimis, biasa saja dan kikuk seperti tak bersemangat. Membaca hal ini, aku memutuskan tak jadi memberi.materi jurnalistik

Tapi bagaimana memotivasi mereka agar ngeh betapa hebatnya seseorang yang bisa menulis.

Mereka yang menjadi penulis, adalah kelompok orang orang hebat dunia. Karena dengan rangkaian kata yang mereka buat, mereka bisa menggambarkan, menguliti,menghakimi bahkan menebas pedang kata kata yang bisa juga jadi peluru.

Senjata mematikan pada rasa, perasaan. Penulis bisa membuat kata katanya seperti mahluk hidup dan memiliki ruh. Mereka yang.membacanya akan larut dan terbawa dalam kisah dari hulu hingga ke pantai akhir cerita. Dahsyat.

Namun sayangnya, sedikit sekali orang yang bisa melihat bahwa menjadi penulis adalah pilihan yang benar.

Menjadi penulis, bisa hasilkan cuan. Menjadi salah satu mesin uang yang kita miliki. Dari cuan cuan lainnya yang berbasis keahlian.

Aku kembali menatap wajah peserta. Berharap raut wajah mereka sedikit memerah karena energi semangat , bisa memacu darah mereka mengalir lebih cepat.

Ada perubahan sedikit. Sebagian wajah peserta masih biasa saja. Memegang gawainya, sepertinya mencatat, entahlah.

Lalu, aku mencoba menguliti sedikit kebiasaan orang yang sering kulihat dan terjadi.

Penyakit itu adalah malas. Dan membiarkan rasa malas menguasai diri. Bahkan menjajah. Akh.

Orang orang yang terlalu menyayangi dirinya sendiri, adalah bagian orang malas. Berada di titik nyaman dan tak mampu keluar dari zona aman.

Terlalu berhitung dan berpikir resiko, meski resiko yang dipikirkan, tidak terjadi. Menjudge, menghakimi sebelum mencoba.

Menyudahi setelah berpikir dan mematikan tindakan. Tidak masuk ke proses. Apalagi menikmati proses, jauh.

Aku ingin peserta paham, apakah mereka orang orang ini. Orang orang malas dan belum tahu, apa sesungguhnya keinginan mereka. Dan bagaimana mencapai keinginan itu. Tentu saja dengan usaha, ikhtiar

Orang orang yang belum selesai dengan diri mereka sendiri. Tak mengenal diri mereka. Hingga tak mampu membangun personal branding.

Setelah sedikit motivasi, aku mengajak semua peserta berdiskusi. Teori bisa dilihat di internet. Menggunakan gawai menjadi smart phone, bukan stupid phone dan menjadi penjudi di games games online berbayar. Games resmi dibiarkan negara beroperasi di Indonesia.

Yang telah membuat generasi bangsa ini anti sosial dan bermimpi memenangkan judi yang dikemas rapi dalam games.

Hebatnya Kominfo, entah tak berani, Atawa takut memblokir situs judi ini. Mungkin karena dibeking hingga keluar istilah 303. Setelah kasus polisi tembak polisi oleh polisi dirumah polisi, marak dan tak tuntas berhari hari hingga Minggu dan mungkin bulan.

Diskusi membuat suasana cair, tak lagi kaku. Komunikasi jadi terbuka dan terjadi dua arah. Apalagi aku juga sudah berusaha agar mimik wajahku, tak tampak seram sebagai pemateri.

Karena terkadang, aku sendiri takut melihat rupaku di cermin.

Ibu Eva, seorang ibu tiga anak, alumnus Unimed, Medan. Yang kini ikut suami di Kampung Datar, membuka pertanyaan.

Kampung Datar yang jauh di pegunungan, susah sinyal, dll. Bisa ditundukkan ibu Eva. Hingga tak menjadi penghalang menuai cuan.

Ibu Eva adalah penghayal yang hebat. Menggunakan dunia Maya menjadi cuan dari menulis.

Novel fiksinya, dikontrak di nasional hingga ke luar negeri. Ibu Eva, sebelum menulis adalah seorang pembaca yang baik.

Kunci menulis, adalah banyak membaca. Sehingga kaya perbendaharaan kalimat, Kosa kata . Membuat gampang menulis.

Paham paragraf dan alur cerita.

Satu novel karya Bu Eva bisa dihargai rp.12 juta lebih. Meski begitu, Bu Eva sering kali lupa karakter tokoh yang diciptakannya. Hal itu terjadi karena Bu Eva tak membuat kerangka tulisannya. Itu saja!

Menurut Bu Eva, jika ingin belajar nyetir mobil, harus duduk dibelakang stir. Artinya, kerjakan saja dulu. Jangan terlalu lama berteori. Kerjakan , teori menyusul.

Saya sepaham dengan cara ibu Eva. Mau jadi penulis, ya tulis dulu. Di kertas kek, dicatatan kek, dimana saja. Biarkan kesalahan menulis terjadi di awal.

Nanti, tulisan yang salah akan menjadi sejarah. Bagaimana kita dahulu menulis.

Pertanyaan pertanyaan lainpun bermunculan. Umumnya , buntu saat sedang menulis. Kehilangan mood , dll. Menyiasatinya, ya dengan berhenti dulu menulis. Jika tidak dikejar deadline.

Cari suasana dan kembali banyak banyak membaca.

Kunci terjun bebas bisa menulis adalah memulai.menulis. Jangan malas dan terlalu banyak berteori.

Jangan terlalu sayang pada diri sendiri. Tak berani keluar dari zona nyaman Mulailah membangun karakter diri. Untuk menjadi orang orang luar biasa

Keras kepada diri agar mudah menaklukkan dunia. Lunak kepada diri, digilas jaman dan akan kalah. Terpinggirkan dari peradaban, tanpa karya. Hanya menjadi penikmat karya orang lain. Begitu kata pakar motivasi.

Meski sudah digelar diskusi yang hangat dan menarik, namun aku masih melihat wajah wajah datar sebagian kecil peserta.

Mereka seperti takut bertanya. Mereka, sepertinya belum mengenal dirinya Belum selesai dengan dirinya. Hingga sudah ikut pelatihan menulis, tapi tak mau tahu tentang kegiatan menulis yang mereka ada didalamnya.

Dari wajahnya, saya tahu, mereka sedang tidak teler, mabuk atau sakau. Mereka hanya belum mampu menampilkan dirinya, Inilah Aku….

Terima kasih untuk FLP cabang Takengon. Pelatihan adalah cara terbaik menjaring potensi literasi berkembang lebih cepat.
Semoga terus berkarya!

*Penulis adalah Dewan Pembina/Komisaris Utama Lintasgayo.com

Comments are closed.


Deprecated: str_replace(): Passing null to parameter #3 ($subject) of type array|string is deprecated in /home/wxiegknl/public_html/wp-content/plugins/newkarma-core/lib/relatedpost.php on line 627

News