Siapa yang menabur, dia akan menuai. Apapun pekerjaan akan diminta pertanggungjawabanya, bukan hanya dimata Tuhan, namun dihadapan manusia.
Ambruknya teras bangunan Rumah Sakit (RS) Regional di Blang Bebangka, Kampung Simpang Kelaping, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah, semakin membuka tabir soal berlarut-larutnya pembangunan RSU ini.
Tidak ada kepastian kapan RSU rujukan akan difungsikan. Anggaranya terbilang besar mencapai Rp 474,5 miliar. Pembangunan sudah dimulai sejak tahun 2012, namun hingga 2022 ini realisasi fisiknya baru mencapai 31 persen.
Dari awal pembangunanya, taksiran dana yang sudah digelontorkan untuk RS ini sekitar Rp 168.6 miliar lebih. Walau pembangunanya bertahap diprogramkan setiap tahunnya, (tahun jamak) namun tidak setiap tahun ada kucuran dana.
Dampaknya tidak ada kepastian kapan RS ini dapat difungsikan dalam memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang sangat membutuhkan.
Belum ada kepastian kapan akan difungsikan, kini RS regional rujukan untuk wilayah tengah pedalaman Aceh ini menjadi pembahasan hangat. Pada Jumat (4/11/2022) teras bangunan ini ambruk, jatuh berserakan di bumi.
Berbagai pihak yang menaruh perhatian, memberikan statemen. Usut sampai tuntas, jangan ada pilih kasih, harus dibuka sebenderang mungkin. Ditengah hingar bingarnya persoalan ini, pernyatan Bupati Aceh Tengah justru mengejutkan.
Bupati di negeri penghasil kopi terbaik arabika ini menyatakan dia dua kali menolak berita acara serah terima RS itu, walau yang memintanya Gubernur Aceh. Bupati belum mau menerima RS regional itu sebelum fakta di lapangan sesuai dengan yang di atas kertas.
Kini tim Direskrimsus Polda Aceh sudah turun kelapangan, mengumpulkan bukti-bukti untuk mengangkat kasus ini ketahap penyidikan.
Mampukah polisi mengungkap kasus ini ke tahap penyidikan, bukan hanya sekedar dilakukan penyelidikan? Bagaimana perhatian publik terharap RS regional di tanah Gayo ini, bagaimana kisahnya RS regional ini, Dialeksis.com merangkumnya dalam Menabur Angin di RS Regional.
Ambruknya teras RS Regional Belang Bebangka, Pegasing, Aceh Tengah, membuat pemerintah Aceh mengeluarkan pernyataan. Bagaikan ini menunjuk hidung, ambruknya RS Regional ini bukan tanggungjawab pihak provinsi.
Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA mengatakan, paket proyek yang ambruk itu merupakan paket anggaran kabupaten, bukan provinsi.
Namun, di RS Regional ini sumber anggaran proyeknya bercampur aduk. Ada yang bersumber dari APBA yang nilainya terbilang besar. Soal anggaran kabupaten, Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar mengakui sejak dia menjadi bupati lima tahun lalu, pihaknya tidak pernah memplot anggaran untuk RS Regional ini.
Dari penulusuran saat Dialeksis.com di laman lpse.acehprov.go.id, pembangunan Rumah Sakit Regional Aceh Tengah dari 2019-2022 yang dibangun secara bertahap, anggaranya terbilang besar.
Tahun 2019 lalu, pembangunan RS Rujukan Regional Aceh Tengah itu menghabiskan anggaran sebesar Rp 39,1 miliar lebih sumber dari APBD 2019.
Paket proyek ini dimenangkan PT Pulau Bintan Bestari yang beralamat jalan Merpati, nomor 35 KM VI Tanjung Pinang Kepulauan Riau. Untuk biaya pengawasan konstruksi pembangunan, terlihat dalam LPSE Aceh mencapai Rp802 juta, dan menggunakan dana Otsus Aceh, dimenangkan CV. Cipta Marga Utama, Punge Blang Cut, Banda Aceh.
Kemudian di tahun 2020, pembangunan RS Rujukan Regional Kabupaten Aceh Tengah (lanjutan) anggaranya mencapai Rp 6 miliar, sumber dana APBD 2020. Tahun 2021 dilanjutkan (evaluasi ulang) dengan anggaran sebesar Rp16,2 miliar sumber anggaran APBD 2021.
Masih berdasarkan informasi di laman LPSE Aceh, tahun 2022, nama tender Lanjutan Pembangunan RS Rujukan Regional Kab. Aceh Tengah menguras anggaran APBD 2022 sebesar Rp6,8 miliar.
Salah satu rekanan yang mengerjakan proyek di RS ini, mengakui tidak tahu apapun mengenai pekerjaan dan siapa yang mengerjakan soal konstruksi.
“Kita memang rekanan yang mengerjakan RS. cuma kita bagian pasang plafon, kaca, dan lainnya. Struktur bukan kami yang kerjakan,” kata Sulaiman, Kepala Cabang Aceh PT Pulau Bintan Bestari kepada Dialeksis.com, Rabu (9/11/2022).
Dia mengatakan, kalau bagian struktur itu dari Kabupaten. Ketika RS tersebut dilimpahkan ke Provinsi, secara struktur sudah selesai. Tahun 2016 dilimpah ke provinsi, sementara yang dikerjakan pihaknya pemasangan plafon anggaran 2019.
Bupati Tidak Tahu Berapa Anggaran
Ada yang menarik dari keterangan Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar dalam penjelasanya kepada media, sehubungan dengan ambruknya RS Regional Bebangka, Pegasing.
Dikatakan Shabela, ia tidak mengetahui soal pembangunan RS Regional tersebut dari semenjak dirinya menjabat sebagai bupati. “Dari mulai berapa anggaran hingga siapa pelaksana, saya tidak pernah mengetahui, bahkan tidak mendapat laporan sama sekali,” sebutnya.
Menurut Shabela, semasa ia menjabat sebagai Bupati Aceh Tengah, sampai kini yang akan berahir jabatanya, dia tidak pernah memplotkan biaya melalui Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) untuk pembangunan RS Regional tersebut.
Jangankan plot biaya dari APBK, bupati mengakui tidak pernah meninjau pembangunan RS tersebut, kecuali saat RS itu digunakan sebagai tempat pasien Covid-19. Demikian dengan pembangunanya, dia tidak mengetahuinya karena laporannya tidak pernah ada.
Shabela Bupati Aceh Tengah, mengakui dia sudah menolak dua kali menandatangani surat serah terima pembangunan Rumah Sakit (RS) Regional Takengon. Menurutnya, pada akhir 2020 lalu, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh menemuinya, meminta menandatangani surat serah terima bangunan RS itu.
Namun Shabela menolaknya, walu dari pengakuan pihak PPTK hal tersebut atas perintah Gubernur Aceh, yang ketika itu dijabat oleh Nova Iriansyah.
“Saya sampaikan ke PPTK saat itu, bilang sama Gubernur saya tidak mau tanda tangan. Karena, sebagai bupati saya tidak pernah tau persis soal bangunan itu,” ucap Shabela dalam keterangnya kepada media.
Akibat penolakan itu, dirinya sempat difitnah lantaran dianggap tidak mendukung pembangunan atau program dari provinsi.
Pada awal tahun 2022, kembali lagi ada permintaan menanda tangani berita acara serah terima bangunan RS Regional ini. Ketika itu, Kepala Dinkes Aceh melalui Direktur RSUD Datu Beru meminta menandatangani kembali surat serah terima pembangunan RS Regional tersebut.
“Saya tetap menolak, walau kedatangan Kepala Dinkes Aceh bersama Gubernur saat itu menghadiri penutupan Dekranas di Aceh Tengah. Kepada Direktur RSUD Datu Beru saya sampaikan, dilihat dulu, bangunan seperti apa dan bagaimana, jangan langsung menerima,” sebut Bela.
Menurutnya, dia menolak karena pembangunanya tidak memiliki kejelasan mulai dari awal pembangunan, pelaksana dan perencanaan.
“Sebagai kepala daerah, saya tidak pernah mengetahui siapa pelaksana kegiatan, sampai mana pekerjaan, bagaimana perencanaannya. Jadi tidak mungkin saya langsung menerima,” ujar bupati.
Demikian soal anggaran, dirinya mengakui tidak tidak mengetahui jumlah total anggaran yang sudah plotkan untuk pembangunan RS Regional Bebangka, baik APBA atau dari APBK. Bagaimana dengan laman LPSE Aceh yang menyebutkan anggaranya bersumber dari APBD?
Alfian, Kordinator LSM anti korupsi Masyarakat Transparansi Aceh (MatA), menuliskan soal anggaran RS Regional ini. Kebutuhan RS ini hingga dapat difungsikan nilai anggaranya mencapai Rp 474,5 miliar.
Rincianya, kontruksi, DED, pengawasan Rp 224,5 miliar, peralatan Rp 250 miliar. Realisasi fisik per 5 Juli 2022 baru mencapai 31 persen.
Anggaran yang digelontorkan 2013-2014 Rp 15,8 miliar. Tahun 2016 -2022 Rp 152,8 miliar, total anggaran Rp 168,6 miliar, nilai ini belum termasuk tahun anggaran 2012 dan 2015, yang masih sulit didapatkan kejelasan anggaranya.
Upaya Hukum
Soal ambruknya RS Regional Belang Bebangka ini telah membuat aparat penegak hukum dari Direskrimsus Polda Aceh turun tangan. Awal ambruknya RS Regional ini banyak pihak sudah memberikan statemen agar kasus ini diungkap seterang benderang.
Penyidik Ditreskrimsus Polda Aceh sudah melakukan kerja di Aceh Tengah untuk mengungkap kasus ini, berbagai pihak yang ada kaitanya dengan pembangunan RS di kawasan Lapangan Terbang ini diminta keteranganya.
Dirreskrimsus Polda Aceh Kombes Sony Sonjaya, dalam keterangannya kepada media menyebutkan, tim yang dibentuk pihaknya dalam menggali persoalan ini bukan hanya mengumpulkan bukti di lapangan.
Namun, pihaknya juga akan mengandeng tim ahli, agar kasus RS yang belum jelas kapan akan difungsikan ini dapat dikuak ke publik.
Sebelum tim ini turun media diramaikan dengan beragam pernyataan dari mereka yang menaruh harapan terhadap pelayanan publik.
Nasruddin Bahar, Koordinator Lembaga Pemantau Lelang Aceh (LPLA) misalnya, dia meminta pihak berwajib serius untuk menyelidiki apa sebab rubuhnya bagunan RS ini.
“Kontraktor pelaksana harus bertanggung jawab. Semua yang terlibat wajib diperiksa. Berkemungkinan besar, pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis,” sebutnya.
Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani dalam keteranganya kepada Dialeksis.com menyebutkan, ada beberapa hal penting yang harus menjadi catatan daripada pembangunan RS Regional ini.
“Pertama, RS ini menggunakan uang Doka dan menggunakan siklus perencanaan pembangunan multi years, maka audit investigasi terhadap pelaksanaan pembangunan ini mutlak dilakukan, baik oleh Inspektorat maupun oleh BPK RI,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Senin (7/11/2022).
Kedua, dapat diduga adanya unsur tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara dalam pembangunan RS. Apalagi skema pembangunan yang menggunakan tahun jamak sangat rawan terjadi manipulative.
“sangat rawan terjadinya korupsi berjamaah antara penyedia barang dan jasa, PPTK, KPA, kontraktor dan konsultan pengawasan dalam upaya kepentingan memperkaya diri sendiri dan orang lain secara bersamaan,” ujarnya.
“Modus operandinya pembangunan secara serampangan, tidak berkualitas dan menaikan progres untuk kepentingan pengamprahan,” jelas Askhalani.
Ketiga, Aparat Penegak Hukum (APH) harus mendalami dan melakukan proses hukum. Apabila ada fakta menarik, bila bangunan ambruk itu adanya unsur perbuatan pidana, harus menjadi fokus dan objek penyelidikan.
“Dan jika ini tidak diusut maka patut diduga adanya kolaborasi dan kejahatan bersama yang dilakukan untuk kepentingan tertentu yang menyebabkan kerugian keuangan negara,” sebut Askhalani.
Menurut Kordinator LSM anti korupsi Masyarakat Transparansi Aceh (MatA) Alfian, meminta meminta APH tidak tebang pilih dalam menangani kasus tersebut.
“Aparat penegak hukum, baik Kejati Aceh maupun pihak Polda Aceh harus serius menangani kasus runtuhnya bangunan gedung rumah sakit ini, jangan ada memandang siapa,” ujar Alfian dalam keteranganya kepada Dialeksis.com.
Alfian beralasan, penanganan kasus ini harus ditangani dengan serius, karena menurutnya ambruknya bangunan ini merupakan suatu barometer terhadap kualitas pengerjaan seluruh bangunan rumah sakit yang sudah menelan biaya ratusan miliar rupiah tersebut.
“Untungnya bangunan itu runtuh sebelum dioperasikan. Bisa dibayangkan jika ambruknya bangunan tersebut pada saat ada pasien didalamnya. Berapa banyak yang akan menjadi korban. maka perlu dilakukan pengecekan ulang terhadap kelayakan seluruh bangunan yang ada,” ujar Alfian.
Pj Gubernur Aceh harus segera bertindak cepat, memerintahkan bawahannya untuk melakukan investigasi, terhadap kelayakan hasil pekerjaan yang sudah terealisasi pada gedung rumah sakit rujukan tersebut.
“Ini terkait keselamatan jiwa manusia, khususnya masyarakat Aceh Tengah dan sekitarnya, jika kualitas bangunan seperti ini, nanti akan ada korban jiwa. Maka Pemerintah Aceh saat ini harus dimintai pertanggung jawannya, oleh karena itu Pj Gubernur Aceh harus segera dengan cepat menangani masalah ini,” pinta Alfian.
Beredar isu adanya elit yang berpengaruh di Aceh dalam pengerjaan proyek, Alfian dengan tegas menyebutkan, pihaknya berharap kepada semua elemen penegak hukum yang menangani kasus ini, agar professional.
“Ini menyangkut hajat hidup orang banyak, fungsi dan kegunaan rumah sakit berkaitan dengan masyarakat banyak. Kita meminta agar tidak ada pihak yang bermain-main dalam penanganan kasus ini dan siapapun yang terlibat dalam kasus ini harus dimintai pertanggung jawabannya,“ sebut Alfian.
Demikian dengan Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar mendukung pihak Ditreskrimsus Polda Aceh untuk mengusut penyebab ambruknya teras RS Regional Takengon.
“Saya sangat mendukung pihak kepolisian mengusut ambruknya RS Regional Belang Bebangka, semoga bisa menjadi pelajaran, agar kasus seperti ini tidak terulang kembali,” kata Bupati Shabela Abubakar.
Ambruknya RS Regional di seputaran lapangan Pacuan Kuda Aceh Tengah ini semakin menambah catatan sejarah. RS Regional ini sudah dikerjakan sepuluh tahun lebih, namun belum ada kepastian kapan akan difungsikan.
Sejak 2012 hingga saat ini realisasi fisiknya baru 31 persen. Sementara bangunan yang sudah ada di sana tidak terawat, di sekitar RS ini sudah menjadi semak belukar, bagaikan kawasan hantu.
Belum ada kepastian kapan RS ini difungsikan, kini disuguhkan dengan sebuah pemandangan tragis, ada bangunanya yang roboh. Apakah karena kesalahan manusia?
Siapa yang menabur angin dia akan menuai badai. Kita ikuti saja bagaimana kinerja aparat penegak hukum dalam mengungkapkan kasus ambruknya RS yang belum difungsikan ini. **** (Bahtiar Gayo/ Dialeksis.com)
baca juga: RSU Sarang Hantu
RSU Sarang Hantu dibangun LSM Jerman
Comments are closed.