Jakarta | Lintasgayo.com – Buku terbaru Bentara Linge yang berjudul “Totor dalam Masyarakat Gayo” terbit. “Menurut informasi dari penerbit (Mahara Publishing), alhamdulillah, ISBN-nya sudah keluar kemarin. Tinggal naik cetak. Mudah-mudahan hari ini sudah naik cetak,” kata Bentara Linge, penulis buku ”Totor dalam Masyarakat Gayo,” Selasa (11/4/2023)
Dalam buku “Totor dalam Masyarakat Gayo” tersebut, ungkap Bentara Linge, dirinya menulis tentang pengertian tutur, sejumlah tutur dalam masyarakat Gayo, pengelompokkan tutur, serta sebab-sebab perubahan tutur dan penambahannya. “Selain tutur, ada juga tentang mengguwe (perhitungan penanggalan untuk menentukan hari baik) dan maksud dan tujuan 45 pasal nenggeri Linge,” sebutnya, sambil menambahkan, mengaku menyelesaikan penulisan buku tutur Gayo selama enam bulan, dengan narasumber kebanyakan berdomisili di Kecamatan Linge. Selebihnya, di seputaran Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Lues,” tuturnya.
Memahami tutur, terlebih bertutur orang Gayo, menurut Bentara Linge, merupakan suatu keharusan. “Sangat disayangkan, hari ini, khususnya anak muda sudah hampir tidak mengetahui macam-macam tutur Gayo yang begitu banyak dan berbagai pengelompokannya. Tentu, dengan maksud dan tujuan yang berlainan, baik dalam penggunaan maupun penempatannya,” tegasnya.
Secara terpisah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Muhammad Ridwan yang membantu biaya cetak buku “Totor dalam Masyarakat Gayo,” menyebutkan, menyambut baik terbitnya buku yang ditulis Bentara Linge ini (2023). “Sepengetahuan saya, ini buku kedua yang secara khusus berisi tentang tutur, setelah buku pertama yang ditulis Yusradi Usman al-Gayoni (terbit tahun 2012, cetak kedua 2014) dan tutur Gayo Lues, terbit tahun 2015. Harapannya, buku ini bisa memperkaya literatur Gayo secara keseluruhan. Lebih dari itu, bisa mendorong peneliti dan penulis lainnya, terutama orang Gayo untuk terus menggali, menulis, dan mewariskan pengetahuan tentang Gayo kepada generasi Gayo mendatang,” katanya.
Dilanjutkannya, sebagai salah satu etnik di Indonesia, orang Gayo memiliki tutur atau istilah kekerabatan tersendiri yang membedakannya dengan suku lainnya. Tutur yang dimiliki masyarakat Gayo sangat kaya, seperti Ama (Bapak), Ine (Ibu), Abang (Abang), Aka (Kakak), Awan (Kakek), Anan (Nenek), Datu (orang tua Awan dan Anan), dan masih banyak lagi.
“Sebagai identitas dan kayanya tutur masyarakat Gayo, sudah barang tentu tutur ini mesti dilestarikan. Bagaimana tutur bisa terus dikenalkan kepada generasi muda. Tidak hanya itu, bisa dipelajari di sekolah-sekolah yang ada di Gayo, sebagai bagian dari muatan lokal. Juga, bisa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Lebih khusus lagi, dalam keluarga, lingkungan bertetangga, dan lebih luas dalam masyarakat,” tutup Muhammad Ridwan. (**)