Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Munik adalah salah satu istilah dalam pernikahan di Gayo selain itu ada juga kata musangka, munik suatu upaya yang dilakukan oleh seorang gadis atau perempuan yang ingin menikah dengan seorang laki-laki. Dimana seorang perempuan yang ingin menikah tersebut biasanya meminta perlingdungan ke rumah Tengku Kali (Qadhi) atau Pegawai Pembantu Pencatat Pernikahan (P3N) atau juga langsung ke rumah Kepala KUA.
Musangka, atau juga munyangkan jema. Istilah ini biasa dalam masyarkat Gayo dilakukan untuk upaya membawa seorang perempuan yang akan dinikahi tersebut kerumah Tengku Kali (Qadhi) atau Pegawai Pembantu Pencatat Pernikahan (P3N) atau juga langsung ke rumah Kepala KUA.
Kedua upaya pernikahan tersebut dalam masyarakat Gayo mengandung nilai keterpaksaan, keterpaksaan menikah munik adalah upaya yang dilakukan kaum perempuan baik disebabkan karena ketidak setujuan orang tua atau juga karena akibat dari perbuatan yang dilarang agama yaitu melakukan hubungan badan sebelum menikah (Gayo : jernihe nge I keruhen).
Keterpaksaan kedua dilakukan oleh pihak laki-laki dengan membawa perempuan yang akan menikah juga kerumah Tengku Kali, P3N atau langsung ke rumah Kepala KUA.
Fenomena seperti ini sudah dikenal lama dalam masyarakat Gayo, hanya saja terjadi perubahan nilai kuantitas. Munik atau musangka karena ketidak setujuan orang tua biasa dalam adat perkawinan lebih terhormat dibanding dengan perkawinan munik karena pelanggaran agama.
Menurut informasi yang didapat dari tokoh masyarakat Kute Kering Drs. Nawawi, kejadian yang ada dalam masyarakat antara mereka yang munik karena ketidak setujuan orang tua dengan munik karena kecelakaan jumlahnya hampir sama. Namun menurut keterangan Drs. Abu Mukmin (tokoh masyarakat Arul Kumer), bahwa mereka yang munik karena kecelakaan tidak terlalu banyak kendati menurut beliau ada juga terjadi.
Masih menurut Tengku Nawawi, mereka yang munik biasanya tinggal di rumah Tengku Kali atau P3N atau di rumah Tengku sampai dengan 4 atau 5 hari, hal ini biasa disebabkan karena mereka yang munik tadi tidak disetujui oleh wali dari pihak perempuan dan ketika wali dipanggil tidak segera datang.
Menurut Abu Mukmin, perkawinan munik dengan perkawinan biasa tidak dibedakan, artinya apabila ada orang yang munik maka akan dikembalikan kepada wali mereka untuk selanjutnya dilakukan proses sebagaimana menikah secara normal yang dimulai dengan meminang dan selanjutnya dinikahkan.
Kepala KUA Pondok Baru Saifullah menyebutkan apabila ada mereka yang menempuh jalan pernikahan melalui munik, KUA tidak akan melayaninya tetapi mereka akan diserahkan kepada P3N atau Tengku yang ada di Kampong. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tradisi nikah munik yang pada dasarnya sebagai akibat dari perbuatan yang tidak baik menurut ketentuan agama.
Zaini Maktum, salah seorang guru MAN Simpang Tiga Redelong menyebutkan bahwa mereka yang menikah dengan cara munik kebanyakan adalah mereka yang sedang duduk di bangku sekolah atau orang-orang yang seusia sekolah.
Keempat tokoh masyarakat tersebut sepakat menyebutkan bahwa mereka yang menikah melalui munik menunjukkan fenomena masyarakat yang tidak baik, bila dilihat dari berbagai segi agama, pendidikan, dan juga control keluarga. Mereka menjadi beban bagi Tengku Kadhi yang menampung mereka. Kendati mereka diberi dana penggulung nalas papar tengku Nawawi.
Penulis masih ingat banyak sekali kasus mereka yang menikah karena munik dan karena musangka, banyak orang tua yang menganggap mereka yang munik karena kecelakaan tidak dianggap lagi sebagai anak oleh orang tuanya, itu dilakukan karena perbuatan yang melanggar agama dan dianggap sebagai ‘aib bagi keluarga terlebih lagi orang tua, untuk kasus seperti ini tidak ada yang membela. Namun ketika pernikahan yang terjadi karena musangka dengan alasan tidak disetujui orang tua, biasanya mendapat pembelaan dan perlindungan dari wali yang lain.
Akibat dari pernikahan yang tidak disetujui oleh orang tua dalam tradisi masyarakat Gayo, tidak sedikit baru mendapat pengakuan dari orang tuanya dalam waktu yang lama, bahkan sampai mempunyai beberapa orang anak. Perbuatan seperti ini dalam masyarakat Gayo harus menebus diri dengan mengadakan kanduri dengan masyarakat kampong.
Berbeda halnya dengan keadaan sekarang, kita tidak bisa lagi membedakan antara penikahan disebabkan karena munik dengan sebab ketidak setujuan orang tua dengan pernikahan munik karena pelanggaran nilai agama dan juga dengan pernikahan musangka.
Perubahan nilai antara munik dan musangka dengan sebab yang telah disebutkan seharusnya dibedakan oleh orang tua dan masyarakat, sehingga jelas mana yang dibenarkan oleh agama dan mana yang tidak dibenarkan. Penyebab lain terjadinya perubahan nilai ini adalah karena rendahnya control dari orang tua dan masyarakat terhadap prilaku dan pergaulan anak, sebab lain adalah tidak tertanamnya nilai-nilai agama pada diri anak dan generasi muda secara menyeluruh. Hal ini juga tidak bisa kita nafikan kurangnya peran lembaga agama dalam mengawasi prilaku masyarakat.
Ada kesan yang kita ambil dari apa yang terjadi pada masa sekarang ini, banyak orang tua yang merasa tidak bersalah dengan prilaku anaknya yang telah melanggar agama, mereka dinikahkan dengan kemeriahan, lembaga agama dan adat diam seribu bahasa.
Untuk generasi muda harus kita ingatkan bahwa orang-orang tua kita tidak sepandai kita, tapi mereka sudah mempunyai masa depan. Namun sepandai-pandai kita, belum mempunyai masa depan. Dan juga anak-anak kita nanti belum tentu hidup senormal kita dan itu akan menjadi beban kita semua.