(Suntingan dari Isi Master buku Gayo Awards 72+……… Jema)
Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
M |
asyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (baca ; serba ganda) dan dikenal dengan berbagai corak dan warna suku bangsa yang berada di nusantara ini, yang memiliki latar belakang sejarah, budaya serta beraneka ragam, satu suku dengan suku lainnya. Namun, kesemuanya itu mempunyai satu arti, yaitu satu kesatuan yang tidak terpecah – belah antara satu suku dengan suku lainya.
Seiring dengan perjalanan waktu, beralihlah estafet kepemimpinan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, serta menyimpan catatan tersendiri yang merupakan sejarah bagi generasi akan datang. Bias dari semua itu, dapat dikatakan sesuatu yang pantas dan cukup kita katakan naif. Pada kalangan generasi muda rakyat Gayo, yang tidak mengetahui tentang eksistensi mereka sendiri
Semua itu terjadi karena berbagai faktor yang ada di sekitar kita dari tahun ke tahun. Sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang, masa perang kemerdekaan, gejolak DI/TII, peristiwa G30S/PKI, bias dari DOM (Daerah Operasi Militer), dan dilanjutkan dengan kondisi yang tidak kondusif (pasca DOM). Diberlakukannya Darurat Militer I dan II, Darurat Sipil I dan II, terjadinya peristiwa maha dahsyat gempa dan tsunami pada tanggal 24 Desember 2004 sampai saat ini di era globalisasi yang melanda daerah wilayah Aceh, khususnya wilayah tanah Gayo. Faktor itu membawa berbagai dampak nilai sejarah yang ikut berubah.1
Dalam konteks wacana yang sedemikian kompleks, masih ada beberapa putra anak negeri rakyat Gayo yang tetap peduli dan kritis terhadap sejarah, budaya yang berada di Daerah Tanah Gayo. Karena selama ini semua referensi tentang Gayo memakai sumber (baca ; buku) produk luar yang notabene mempunyai kepentingan tertentu. Hal yang sangat memalukan, kita bertanya kepada orang lain tentang karakter dan sifat kita sendiri.
Dahulu, ketika rakyat Gayo masih mengkonsumsi makanan tradisional, seperti ketor, masam jing, gegerip, petukel, taruk ni jepang, dan lain sebagainya. Tanah Gayo bisa banyak melahirkan beberapa intelektual, baik dalam skala lokal maupun nasional.
Adapun yang bergelar profesor , antara lain ; Prof. Dr. H. Teungku Baihaqi. A.K, Prof. Drs. H. Yoenos Salim, M.Sc, Prof. Dr. H. Abdi Wahab, M.Sc, Prof. Daud Ali Bintang, Prof. Dr. H. Al Yasa’ Abubakar, Prof. Dr. Gani. Kobat, Prof. Dr. Ismail Arianto, Prof. Tantawi, Prof. Dr. Alfian Beni Banta Cut, Prof. Dr. Abd Hamid, M.Pd, Prof. DR. M.J. Melalatoa.
Tapi sekarang, ketika rakyat Gayo telah mengkonsumsi makanan yang serba instan (baca ; tinggal hisap dan kunyah). Tidak ada lagi generasi rakyat Gayo yang bisa atau sedikit setara dengan generasi pendahulunya. Yang menjadi sebuah pertanyaan, mengapa itu harus terjadi ?
Dari beberapa literatur menyebutkan bahwa Rakyat Gayo mempunyai latar belakang orang hebat. Dari beberapa pendapat yang menguatkan hipotesa tersebut, antara lain sebagai berikut :
- buku karangan orang berkebangsaan Belanda yang mengangkat tentang kehidupan Rakyat Gayo, menyebutkan bahwa “ ada salah satu Suku di Indonesia mendiami pedalaman Aceh (baca ; Dataran Tinggi) yang tinggalnya di hulu sebuah sungai yang memiliki IQ yang sangat tinggi, yaitu suku Gayo yang berada diseputaran Danau Laut Tawar.
- Sebutan Negeri Aulia yang merupakan salah satu julukan kota Takengon bermakna tempat – tempat orang berkharisma. Hal ini diilhami bahwa dahulunya di seputar pinggiran danau Laut Tawar banyak orang – orang yang menuntut ilmu dengan menyendiri menempati gua – gua yang ada di seputaran danau Laut Tawar atau istilah sebutan bahasa Gayo adalah berkallut.
- Belanda melakukan penyerangan ke tanah Gayo, Penguasa Tertinggi Colonial Belanda di Aceh (Sebagai Gubenur Militer Belanda) Letnan Jenderal J.B. Van Heutsz membentuk Pasukan Marsose (Het Korps Marechaussee) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Van Daalen. Pasukan khusus ini dibentuk untuk bertugas untuk menguasai daerah pedalaman Aceh (Dataran Tinggi Tanah Gayo). Keberhasilan serangan pasukan Belanda yang kedua ini adalah dengan berbekal laporan seorang Antropolog berkebangsaan Belanda yaitu C. Snock Hurgronje yang berjudul Het Gayoland En Zijne Bewoners (Negeri Gayo Dan Penduduknya). Dalam penyusunan laporan tersebut Snock menjadikan dua orang rakyat Gayo sebagai nara sumber pentingnya, yaitu : Nyak Putih dan Aman Ratus. Kedua orang Gayo ini akhirnya di bawa ke Batavia.
- Agama Islam mulai tersebar dari daerah Gayo terus ke daerah pesisir utara, yang pada akhirnya menyebar ke seluruh pelosok nusantara ( lihat kisah Merah Silu).
- Dua kerajaan besar yang ada di Aceh, pertama di besarkan oleh orang yang mengalir dalam tubuhnya darah Gayo, yaitu Pertama Sultan Aceh Darussalam (Meurah Johan yang bergelar Meurah Johan Syah Al – Khahar) yang merupakan anak Raja Islam Linge. Beliaulah tokoh dari pengunungan yang menaklukan kerajaan Hindu Lamuri di Aceh meng-Islamkan kerajaan Hindu dari keturunan China. Kedua, Pendiri Kerajaan Samudra Pasai Merah Silu yang terkenal dengan sebutan Sultan Malikul Saleh keturunan orang – orang yang pernah berdiam di daerah Gayo Raya Tanah Agung (GARTA) atau anak dari tokoh penyebar agama Islam di kota Takengon yang terkenal dengan sebutan Muyang Kute.
Dan tentang keberadaan daerah ini ada beberapa misteri yang sampai sekarang belum diketahui apa maksud dari tanda tersebut. Tanda tersebut antara lain, yakni :
- Peta yang dibuat oleh Belanda dimana dua nama daerah di tulis dengan cetakan tebal yang sama, yaitu antara tulisan Gayoland dengan tulisan Singapura. Kenapa Belanda membuat seperti itu ?
- Sebuah batu besar di desa Serule yang dipenuhi jejak kaki bintang, seperti ; gajah, rhino (baca ; jenis binatang purba), harimau, monyet, beruang, ular dan lain sebagainya. Menurut sebuah legenda, dahulunya tempat tersebut merupakan tempat pertemuan para binatang membuat kesepakatan untuk permasalahan tertentu.
Kebesaran tanoh Gayo juga tercermin dengan temperamen budaya rakyat Gayo yang terkenal dengan Ukang Ogor – Ogoren (baca ; bandel berutal). Ukang bisanya pasti dilakukan oleh orang yang pinter. Ogor – ogoren diartikan, mereka bertindak sesuai dengan prinsip yang mereka anggap benar tanpa memikirkan lagi apa dampaknya nanti (baca ; keteguhan pendirian), sebagai kompensasi dari penyaluran kecerdasanya maka melakukan tindakan yang ekstrem. Hal ini tercermin dari gerakan tari guel.
Maka Kalau ingin melihat secara global tentang watak budaya rakyat Gayo, maka lihatlah gerakan tari guel (baca ; mesium gerak tanpa bangunan/menggambarkan aurat orang Gayo). Yang menurut Yusra HAG (Lihat ; Falsaafat Tari Guel, Serambi Indonesia, 2010) merupakan imaginator ingin menintipkan pesan – pesan kehidupan yang hanya bisa ditangkap lewat pendekatan falsafah. Artinya ; salam semah dalam gerak munatap, redep, ketibung, kepur, nunguk, seneng lintah, sengker, kalang, selain menyinggung aspek sejarah, juga mengandung falsafah moral, eksistensialisme, humanism, realism, futurism, sekaligus menghubungkannya dengan emosional, romantika, dinamika dan problematika kehidupan orang Gayo itu sendiri.
Takengon, 28 Juli 2011
Hormat Penulis
*Penulis adalah seorang antropolog, guru SMAN 1 Timang Gajah dan staf pengajar Fisipol Universitas Gajah Putih – Takengon.
Betul itu rakyat gayo punya bakat jenius tapi sayang sifat orang gayo lebih cenderung gak perlu diketahui orang….
bismillah,,, sangat dan amt sangt kita bersyukur kepada Rabb nya seluruh makhluk, jika diwaktu tertentu kita takjub dengan apa yg ada pada diri kita..tentu dgn cepat sebelum kesombongan hinggapi diri kita ungkapkan pujian kita kepada Rabbul “alamin..iinci demi inci kemuliaan seorang hamba adalah anugerah dari sg pencipta,,, dan sangat perlu disadari kemuliaan dari sisi Allah disebabkan “ketaqwaan kaum yg mengitari daerah tersebut” sebatas mana ketaqwaan mereka kepada sg khalik, yg telah memberikan hidayah kepada hambanya, melalui lisan nabiNYA yg mulia muhammad shallallhu “alaihi wasalam”