Dampak Bulan Puasa Terhadap Perekonomian

Banda Aceh – Keberni Gayo (05/08) selama bulan Ramadhan live pada jam 14.00 sampai dengan 15.00  WIB, kali ini mengambil tema “Dampak Ekonomi Wan Ulen Pasa”, nara sumber yang dihadirkan adalah Drs. Mahadi Bahtera, M.Si. Dia adalah seorang Guru pada STIMA, Tenaga Pengajar di Akademi Maritim Aceh dan juga Pegurus Koperasi.

Dalam bahasannya beliau memulai dengan nilai-nilai yang terdapat di bulan puasa, bulan puasa kita kenal dengan optimalisasi yang terbatas artinya kita berusaha membatasi diri dalam seluruh aspek kehidupan secara optimal, tidak boleh boros, tidak boleh makan berlebihan, berpenampilan sederhana. Dari segi ibadah kita harus berusaha optimal, melakukan ibadah-ibadah sunat sebanyak-banyaknya, memberi sadakah kepada orang lain sebanyak-banyaknya.

Itulah yang diharapkan dari kita pada bulan puasa, tapi realita ini terbalik. Masyarakat hidup lebih boros, berlebihan dalam makanan ketika berbuka dan makan sahur apa lagi dengan mempersiapkan makanan mewah pada hari raya, berpenampilan melebihi standar kebiasaan. Ini dapat dilihat dari terjadinya inflasi yang terjadi sampai dengan 5, 2 % sampai dengan lima hari puasa.

Pola hidup masyarakat secara umum termasuk orang Gayo, pada bulan puasa kurang bisa mengendalikan diri, dimana mereka yang selama ini biasa makan jaher keke karena puasa ia membeli ikan yang lebih mahal, yang biasanya minum kopi dalam bulan puasa minu susu. Apa lagi kita lihat kebiasaan masyarakat dimana yang dalam bulan puasa ini harus serba baru, rumah dicat, mebel dan kursi tamu diganti, Honda diganti/dibeli, layar pintu yang selama ini tidak ada pada menyambut hari raya dipasang. Dan banyak hal-hal yang dilakukan sebanarnya tidak perlu.

Di sisi lain kita lihat dimana musim yang ada di Gayo pada saat ini belum ada musim panen, tidak panen ini boleh jadi disebabkan karena keadaan cuaca yang panas, atau juga karena memang bulannya bukan bulan musim panen, sehingga di Gayo pada saat ini terjadi paceklik yang bermuara pada meningkatnya kemiskinan.

Sebenarnya pemerintah telah berupaya menekan terjadinya inflasi, dengan membuat pasar-pasar murah. Namun pasar murah itu sendiri terkadang dalam pelaksanaannya tidak berpihak kepada masyarakat level bawah, sebagai contoh kita lihat. Di Banda Aceh, pasar murah di buat di dekat masjid raya. Di Takengon nanti di buat di lapangan musara alun, lalu siapa yang membeli ? pasti mereka yang tinggal di dekat daerah tersebut, sedangkan mereka yang miskin ada di Linge, Serule, Jamat, Samar Kilang dan lain-lain. Kapan mereka mau datang, berapa ongkos yang harus mereka keluarkan  ?

Pemerintah juga sebenarnya telah melakukan upaya membantu orang yang miskin dengan raskin, tapi kenyataannya semua orang makan raskin termasuk orang kaya. Itulah sebenarnya juga yang yang ingin dirubah oleh Allah melalui bulan puasa ini, yaitu perubahan mental dari yang tidak baik menjadi lebih baik.

Kalau kita berpikir secara benar, alangkah baiknya kita sudah menyiapkan baju untuk anak-anak dua bulan sebelum bulan pasa, mengecat rumah tidak harus hari taya, demikian juga dengan mengganti mebel dan Honda serta lain-lainnya. Memang orang akan katakan bahwa semua telah diusahakan selam 11 bulan dan akan dihabiskan dalam satu bulan.

Pernyataan tersebut juga tidak bisa disalahkan, namun masalahnya semua orang menggunakan momen ini untuk mengambil keuntungan, penjual menggunakan momen ramadhan untuk menjual barang-barang dengan harga mahal, dia manfaatkan keuntungan sebulan untuk setahun.

Narasumber juga menyebutkan, seharusnya pendapatan + utang = saving, masih bagus pendapatan + utang = pendapatan dan bukan pendapatan + utang = utang.

Bila dibahasakan, setiap orang mempunyai usaha dan dari usaha yang dilakukan mendapatkan penghasilan, kemudian penghasilannya bisa menutup apa yang menjadi kebutuhan walaupun dengan cara utang tetapi mereka masih meninggalkan sisa. Tapi ada juga mereka dalam kehidupannya pas-pasan, artinya apa yang diusahakan dan hasil yang didapat cukup untuk makan dan kebutuhannya dan tidak meninggalkan sisa. Yang kita sayangkan mereka yang tidak punya usaha atau tidak mau berusaha dan selalu hidup bergantung pada orang lain, selalu dililit oleh utang da tidak bisa keluar dari lingkaran terbut.

Kalau kita kembali kepada prinsip dasar dari koperasi “dari kita untuk kita”, artinya pemintaan pinjaman uang atau barang dari koperasi bukan karena pemaksaan diri tapi lebih kepada kebutuhan. Jadi tidak baik apabila orang meminjam uang dari koperasi karena ingin membeli sesuatu karena pemaksaan kehendak, seperti membeli mebel karena malu dengan orang, membeli sepeda motor karena alasan lebaran, dan lain-lain.

Demikian juga dengan Bank, sebenarnya tidak diharapkan meminjam uang karena alasan mau pulang kampung, atau alasan-alasan lain yang karena tidak berdasarkan kebutuhan dan itulah sebenarnya yang disebut dengan riba. Jadi menurut nara sumber riba itu bukan pada banknya tetapi lebih kepada kebutuhan atau pemaksaan keperluan peminjaman.

Diakhir bahasannya nara sumber menyebutkan bahwa makna taqwa yang selama ini dipahami hanya dari sudut pelaksanaan ibadah tidaklah cukup, tapi juga harus dipahami dari sudut penggunaan uang atau juga aspek lainnya. (Drs. Jamhuri, MA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.