Menyikapi Banking Concept of Education

Oleh Dr. Darul Aman , M.Pd*


 Marilah kita perhatikan hari ini bahwa pendidikan yang dirasakan oleh anak didik belum sepenuhnya menyentuh proses yang reaktif akan tetapi lebih cendrung kepada proaktif (Darul Aman, 2011). Konsep pendidikan ala banking merupakan sebuah konsep pendidikan bersifat tabungan dan penuangan materi ajar pada diri pendidik (Freire, 2002). Anak didik hanya mampu menerima materi ajar untuk menjadi tabungan hari-hari tua nantinya, mereka selalu mengumpulkan bahan sebanyak-banyaknya karena satu saat akan digunakan sebagai stok/amonisi yang sangat bermanfaat bagi dirinya sendiri. Perlakuan model ini  setiap hari, setiap jam, setiap menit dalam proses pembelajaran dilakukan oleh guru kepada anak didik. Inlah yang disebut dengan pendidikan yang memakai konsep banking.

Hari ini Masih terjadi model proses pembelajaranyang dilakukan dengan cara dimana anak didik diberi ilmu pengetahuan yang padat. Anak didik dijadikan sebagai objek investasi dan sumber deposito yang potensial. Anak didik tersebut tidak berbeda dengan komiditi yang ekonomis dengan nilai jual yang tinggi nantinya yang berujung kepada prolehan hasil dalam sebuah bisnis. Depositor atau investor-nya adalah guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa penuh di tempat mereka mengajar. Sementara depositonya adalah berupa paket ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik dari zero sampai angka sembilan atau dari kosong menjadi penuh.  Anak didikpun diperlakukan sebagai sebuah bejana kosong yang akan diisi dengan berbagai macam bahan/adonan, intinya adalah sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan yang akan dipetik hasilnya kelak.

Guru sebagai aktor aktif leluasa memberikan materi ajar dari akar sampai ke daun pucuk, sementara anak didik menjadi aktor pasif tanpa memiliki kemampuan berakting karena remote control ada pada guru yang super pinter dalam memberikan orasi ceramah dalam mata pelajaran yang diampunya. Sementara, anak didik menjadi sasaran empuk yang penurut, dan diperlakukan sama rata antara yang berpotensi rendah, sedang dan tinggi. Pendidikan dalam bentuk seperti ini bersifat negartif dimana guru menjadi sumber informasi dari segala sumber yang harus ditelan oleh anak didik, wajib diingat dan dihafal segala macam jenis rumus-rumus pelajaran. Secara kognitif, anak didik memiliki dan menguasai paket ilmu pengetahuan dalam konteks tertentu namun sangat disayangkan bahwa anak didik sebagai reciver berita. Freire (2002) menyusun daftar antagonisme pendidikan ala banking sebagai berikut:

  1. Guru sebagai pengajar, murid belajar.
  2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
  3. Guru berfikir, murid yang dipikirkan.
  4. Guru bicara, murid mendengarkan.
  5. Guru mengatur, murid diatur.
  6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti.
  7. Guru bertindak, murid membayangkan apa tidakan guru itu.
  8. Guru memilih materi ajar, murid menyesuaikan diri.
  9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismennya, dan mempertentangkan dengan kebebasan anak didik.
  10. Guru adalah subyek belajar, murid menjadi obyeknay.

Berdasarkan gambaran di atas, maka wajar-wajar saja anak didik mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, bahkan yang lebih ironi adalah harus diteladani dalam semua hal.  Implikasinya adalah akan benar-benar melahirkan generasi baru duplikasi guru mereka sebelumnya. Generasi tersebut juga akan menjadi guru dengan sikap dan watak yang sama dengan gurunya, perlakuannya adalah menjadi subyek dalam proses pembelajaran dan akan dijadikannya anak didik sebagai obyek. Format ini menjadi status-quo  sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaruan melainkan bertahta dalam istana pendidikan sistem tabung yang berjalan tanpa mengenal waktu.

Sebagai solusinya adalah:

  1. Guru menjadi partner kerja bagi siswa dalam proses pembelajaran.
  2. Guru menjadi sumber inspirasi bagi siswa dalam proses pembelajaran.
  3. Guru harus lebih banyak belajar bagaimana membelajarkan siswa dalam proses pembelajaran.
  4. Guru harus bisa menumbuh kembangkan bakat siswa ke arah yang positif.
  5. Guru dituntut trampil dalam teknologi, bukan gaptek.
  6. Proses pembelajaran harus bepusat kepada siswa.
  7. Siswa diajarkan bersifat reaktif dalam proses pembelajaran, bukan proaktif.
  8. Siswa dilatih berkreasi dalam proses pembelajaran.
  9. Siswa dilatih dalam menciptakan sesuatu yang inovatif dalam proses pembelajaran.
  10. Siswa dilatih bagaimana merangkai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan harapan bahwa anak mereka mampu meningkatkan keterampilan hidupnya.
  11. Dan lain-lain.

 

Referensi:

Darul Aman, 2011. Kesiapan Guru Sekolah Dasar Aceh Tengah dalam Meningkatkan Kualitas Belajar Siswa. Takengon.

Freire, Paulo, 2002. The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation. READ (Research, Education and Dialogue).

——-

*Guru SMAN 1 Takengon dan Dosen Bahasa Inggris STAIN GP Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.