Di sebuah jalanan di pelosok Pondok Ranji Ciputat yang minim penerangan saya bertemu dengan Win Hasnawi (36 tahun), petani kopi Gayo. Saya merupakan penikmat kopi Gayo dan merupakan salah satu alasan kedatangan ke gudang Qertoev, nama dagang kopi Gayo yang ia pasarkan sejak tahun 2008. Baru kali ini saya menemukan seorang petani kopi nun jauh dari Gayo sana memasarkan langsung hasil produksinya di Jakarta. Ia tengah berjuang melanggar sebuah pakem supply chain, memangkas banyak perantara dalam sistem perdagangan kopi dan Qertoev sudah mulai banyak dikenal sebagai salah satu pemasok kopi Gayo khususnya di Jakarta.
Win & Qertoev Coffee
Pertama kali bertemu dengan Win saat acara uji cita rasa kopi di Spinelly Coffee bulan Mei lalu saat Ia menyodorkan dua bungkus kopi Gayo untuk kami coba. Tanpa diseduh saja aromanya sudah begitu mengundang dan Qertoev berhasil membukukan nilai 83, menembus ambang batas kopi spesial. Ia memilih merek dagang Qertoev karena tak lepas dari hasil goreng kopinya yang tak bisa dinikmati karena tak punya alat penggiling kopi. Orangtuanya berkata, “kau kertuf saja kopinya”, artinya kunyah saja kopinya. Jadilah nama ini yang ia pilih hingga sekarang. Sambih ditemani bede (pisang goreng) dan secangkir kopi Gayo, saya bertandang ke Qertoev Coffee di kawasan Pondok ranji Ciputat Timur, Tangerang.
Gayo adalah suku Asli yang terletak di dataran tinggi Aceh Tengah yang terdiri dari tiga Kabupaten yakni Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Secara kultural penduduk Gayo bertanam komoditas kopi arabika karena sesuai dikembangkan di dataran tinggi. Inilah kawasan perkebunan kopi terluas di Nusantara yang mendekati angka 100 ribu hektar/.
Kehidupan petani kopi Gayo
Mengapa Win memilih menjual langsung kopi hasil dari kebun kopinya ? Hal ini tak lepas dari hasil permenungannya saat berada di Jakarta dan sebelumnya memilih kerja serabutan daripada berkebun kopi karena hasil yang tak sebanding dengan kerja super berat yang ia lakukan. Win menceritakan bagaimana sejak kecil orang Gayo sudah akrab dengan kehidupan hutan dan membantu menebang pohon untuk ditanami kopi. Ia tahu benar dan harus hati-hati dengan serudukan babi hutan yang sangat berbahaya. Petani kopi juga akrab dengan monyet dan prilaku mereka yang seringkali tak terduga dengan melakukan penyerangan tiba-tiba kepada manusia karena merasa habitatnya terganggu.
Satu juta per bulan
Tidaklah ringan bekerja sebagai petani kopi yang hidupnya pas-pasan dan tak mungkin mampu membeli pupuk dan pestisida untuk menyuburkan pohon kopi mereka. Tak heran kalau kebun kopi yang dirawat sekedarnya seringkali tak berbuah dalam jangka waktu setahun. Menurut Win, rata-rata setiap keluarga minimal punya satu hektar yang akan menghasilkan sekitar 700 kilogram gabah kopi. Harga pasar tentu tergantung permintaan, tapi dengan harga 17 ribu per kilo, pendapatan kotor petani bila dibulatkan sekitar 12 juta untuk satu kali panen. Ini pendapatan kotor dan belum termasuk tenaga yang harus mereka keluarkan untuk memproses gelondong merah menjadi gabah dan biaya lainnya seperti makan sehari-hari.
Candra dan Iwan
Karena hasil yang tak seberapa inilah, kedua saudaranya Candra Effendi (25 tahun) dan Iwan Melala (32 tahun) akhirnya hijrah ke Jakarta. Menurut keduanya, fenomena ini sudah banyak terjadi saat generasi muda lebih memilih alih profesi ketimbang berkebun kopi, selain pekerjaannya berat dan hasil yang tak seberapa. Candra yang dulu membabat hutan selama enam bulan membiarkan kebunnya diurus oleh kerabatnya dan ia sekarang bekerja sebagai tenaga kemanan sebuah perusahaan swasta di Ciputat. Demikian juga Iwan yang memilih kerja serabutan dan enggan menyentuh kebun kopi.
Buku Kopi dari Surip Mawardi
Awalnya Win memulai usahanya dengan 50 kopi yang dikirim keluarganya, tapi ia mengalamai jalan buntu saat mencoba memasarkannya. Kesalahan memilih target pembeli adalah awal ia memetakan penjualan kopi di Jakarta dan terus mencoba menembus beberapa sasaran lain yang lebih spesifik seperti kedai kopi. Walau hasilnya belum menjanjikan, Win terus mengenalkan kopi Gayo dimana selalu ia tekankan kepada calon pembelinya bahwa dia adalah petaninya langsung, sebuah upaya yang mulai membuahkan hasil.
Ia juga harus meyakinkan keluarga di Gayo untuk mengirimkan sebagian kopinya ke Jakarta ketimbang menjualnya kepada pengepul. Peneliti kopi dari ICRI, Surip mawardi pernah memberikannya sebuah buku cara bertanam kopi yang ia gunakan untuk meningkatkan kualitas kebun keluarganya. Perlu jalan panjang karena menurutnya, tak mudah meyakinkan kebiasaan bertani yang sudah turun temurun. Kopi yang baru dipetik hanya dijemur sekedarnya di atas tanah dan bercampur dengan kotoran lainnya, sebagian pecah tak berbentuk, dan itulah yang dijual kepada pengumpul dengan kualitas seadanya.
Tapi sedikit-demi sedikit ia memberikan keyakinan bahwa pengolahan kopi yang benar diharapkan mampu meningkatkan harga kopi dan itulah yang sedang ia lakukan saat ini. Sedikit demi sedikit kopi kiriman keluarganya dari Gayo mulai berdatangan hingga sekarang 2.5 ton tersimpan rapi di gudangnya yang bersahaja dan siap untuk dipasarkan.
Dua rekannya Candra dan Iwan serta keluarganya yang berada di jakarta mulai kembali tertarik dengan usaha yang dilakukan Win. Kelak mereka akan kembali ke tanah Gayo, melanjutkan sebuah warisan leluhur untuk melestarikan kopi dari dataran tinggi Aceh ini. Bagi para petani Gayo yang saya temui malam itu, ruh kopi sepertinya tak pernah hilang dari jiwa mereka.
Terakhir, bila Anda penyuka kopi dengan pekat yang diselimuti aroma coklat dan rempah, tak ada yang bisa memadukan kesemuanya secara paripurna selain Gayo, the most beloved coffee origin. Qertoev !
* * * *
Kontak : Qertoev Coffee / Win Hasnawi, di Menjangan IIIA no. 17, Pondok Ranji Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Telepon 021-7410539.
(www.cikopi.com)