Oleh Marah Halim*
Ungkapan terkenal dari William Shakespeare “what’s a name” yang artinya kira-kira “apalah arti sebuah nama”, bagi kita umat Islam sepertinya tidak bisa kita terima. Bagi kita nama adalah do’a sesuai perintah Nabi, jika seorang anak lahir maka kewajiban pertama bagi orang tua adalah memberikan nama yang baik; karena nama yang baik adalah sebuah do’a.
Begitu pula kiranya dalam memberi nama daerah, apalagi daerah tempat hidup suatu suku bangsa seperti suku Gayo. Nama kabaupaten harus bisa menunjukkan keberadaan (eksistensi) suku, jiwa bangsa, cita-cita dan idealisme masyarakatnya. Kemanapun warga suatu kabupaten pergi dan dokumen apapun yang melengkapi dirinya pasti mencantumkan daerah asalnya.
Apa yang terjadi dengan nama kabupaten Bener Meriah adalah di luar harapan sebagaimana disampaikan di atas. Alangkah disayangkan, ketika terjadi pemekaran kabupaten Aceh Tengah (yang juga tidak menunjukkan identitas ke-Gayo-an, yang menonjol adalah ke-Aceh-annya), nama yang diberikan kepada “bayi” yang baru lahir tersebut adalah “Bener Meriah”, nama yang sangat asing dan aneh sekaligus lucu bagi orang yang pertama menyebut atau mendengarnya.
Masalah nama Kabupaten Bener Meriah ini sudah lama mengganggu pikiran penulis, sejak berdirinya kabupaten ini. Masalah ini telah penulis angkat dalam diskusi jarak jauh lewat facebook dalam “RUANG NGUNE” yang dikelola oleh Ama Yusra Habib Abdul Gani, dalam ruang tersebut saya sampaikan pertanyaan sebagai berikut:
“ama/ine/sudere bewene, gereke kite tukermi geralni Bener Meriah o, i
luer takengen dor i plesetni jema orom ‘MERIAH BENER”, kurasa Bener Meriah gere menunjukkan identitas Gayo, kite gantin dih orom GAYO LUT atau GAYO LINGE. Sikusesali hanati waktu turun mani oyawa gere kiruh-kiruh oya kati gerala pe kurasa salah pilih. Juge kite engon kabupaten len i Acih ni, Nagan Raya, Aceh Jaya, Abdya, Singkil, dan GAYO LUES, ke tangkoh dedirie identitas a…BERIJIN SEBELUME ATAS TANGGAPEN BEBEWENE.”
Wacana tersebut saya lemparkan kemarin tanggal 9 Agustus 2011, dan alhamdulillah mendapat tanggapan positif dari urang Gayo serantau. Dari berbagai tanggapan yang ada, rata-rata mereka terusik dengan nama Bener Meriah menjadi nama Kabupaten kita.
Berikut ini beberapa alasan pragmatis dan logis terhadap usulan perubahan nama Bener Meriah sebagai berikut:
- Secara pragmatis, penulis belum pernah mendengar atau membaca ada nama satu daerah/kabupaten yang dibuat dengan memakai nama orang, sebesar apapun nama orang itu, walaupun sudah menjadi pahlawan, paling banter jadi nama jalan atau gedung, tapi kalau nama kabupaten, tidak ada. Ini karena nama kabupaten harus bisa menunjukkan identitas dan eksistensi orang-orang yang hidup di daerah itu.
- Aceh Tengah dan Bener Meriah saat ini adalah dua kabupaten yang ada di zona tengah Aceh yang nota bene disebut Dataran Tinggi Gayo, tetapi anehnya nama kabupatennya sedikitpun tidak mencerminkan ke-Gayo-annya, yang muncul adalah identitas ke-Aceh-annya. Padahal dalam forum-forum resmi dan tidak resmi selalu kita sebut bahwa kita berasal dari Tanoh Gayo.
- Ketika orang bertanya, dimana itu tanoh Gayo, maka satu-satunya daerah yang bertuliskan Gayo dalam peta adalah Gayo Lues yang nota bene baru kemarin sore menjadi kabupaten dan nota bene cucu dari kabupaten Aceh Tengah sebagai induk. Apapun cerita orang hanya merujuk Gayo Lues sebagai daerah Tanah Gayo, sementara kita selalu menyebut Aceh Tengah. Orang heran tanah Gayo kok disebut Aceh, karena orang bukan melihat Aceh sebagai nama tempat tetapi sebagi suku.
- Semua kabupaten pemekaran di Aceh secara elegan dan percaya diri memberikan nama yang menunjukkan identitas daerahnya seperti Kabupaten Nagan Raya, karena dulu memang wilayah itu adalah wilayah kerajaan Nagan. Kabupaten Aceh Jaya dulunya adalah bekas kerajaan Jaya, mereka bangga menyebut diri mereka ”Kami Orang Jaya” (baca tulisan Otto Syamsuddin Ishak, ”Kami Orang Jaya”, Serambi Indonesia, Opini, Juli 2011). Kabupaten Pidie Jaya hanya menambah kata ”Jaya” sebagai tambahan dari nama induknya, Pidie. Kedua kabupaten ini bangga menyebut kabupaten mereka kabupaten Pidie yang berasal dari kerajaan Pedir. Mereka menolak disebut Aceh Pidie, tetapi dengan Pidie saja.
- Landasan historisnya adalah eksistensi urang Gayo sebagai penduduk asli pertama di Aceh (diakui oleh banyak pihak saat ini seperti pengamat politik nasional asal Aceh, Prof. Fachri Ali), karena itu sangat rugi kita tidak menggunakan nama Gayo di depan nama dua kabupaten utama Gayo.
- Alasan ekonomi dan alasan geografis, misalnya selama ini kita mati-matian mempromosikan kopi Gayo yang kita klaim berasal dari Gayo, tempatnya dimana kita tunjuk Aceh Tengah dan Bener Meriah, lantas orang berpikir ”mana Gayo-nya?”. Bandingkan dengan kopi Toraja yang memang langdung dari tanah Toraja, kopi kintamani langsung merujuk ke kabupaten Kintamani di Bali.
- Alasan kesulitan psikologis, banyak orang dari Bener Meriah yang merasa terlecehkan ketika berurusan administrasi dimana-mana karena diolok-olok orang ketika mengetahui asalnya dari Bener Meriah, misalnya ”eh dari Bener Meriah ya, wah Meriah Bener ya”. Kita hanya bisa senyum-senyum, mau dijelaskan asal-muasal nama itu tidak mungkin karena mereka pasti tidak tahu siapa itu Bener Merie, akhirnya kita hanya bisa mengkel dalam hati, sakit rasanya.
- Landasan yuridis yang bisa digunakan untuk melakukan perubahan nama Bener Meriah adalah Pasal 7 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah:
Pasal 7:
(1) Penghapusan dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan alasan-alasan yang penulis kemukakan di atas tampaknya sangat wajar kita berupaya mengganti nama kabupaten Bener Meriah. Dalam pertanyaan ke “RUANG NGUNE” di atas saya usulkan nama “Gayo Linge”, alasannya karena dulu kerajaan terkenal yang diklaim asal-usul urang Gayo adalah Kerajaan Linge, atau Gayo Lut, karena secara empiris-geografis urang Gayo mendiami/hidup di lima kabupaten terpisah satu sama lain, karena itu masing-masing diberi identitas untuk memudahkan membedakan dari kawasan mana seseoorang Gayo datang, karena itu ada istilah Gayo Blang merujuk ke Gayo Lues sekarang. Orang gayo Blang atau Gayo Kalul menyebut Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagai “Lut” karena disana ada danau Laut Tawar kebanggaan Gayo. Nama Gayo Raya juga bisa dibuat untuk menunjukkan kebesaran suku Gayo.
Pembaca sekalian, jika ide ini dianggap masuk akal maka saya mengajak kita semua untuk mewacanakan ini sebagai wacana resmi. Marilah kita sadari pentingnya identitas kita di mata orang lain, jika memang perlu maka bukan nama Bener Meriah saja perlu kita ubah, saya mengusulkan Aceh Tengah juga, agar dunia tau bahwa etnis Gayo adalah etnis besar.
Yang perlu dicatat, ide ini bukan bermaksud menafikan keberadaan suku atau etnis lain di tanah Gayo, tidak sama sekali. Mereka adalah saudara-saudara kita bersama membangun gayo tercinta, tapi mereka juga harus berjiwa besar mengakui kita sebagai tuan rumah yang baik. Penulis lihat di semua daerah juga begitu.
Demikianlah lemparan wacana ini, mudah-mudahan ada pendapat, saran, kritikan dari pembaca sekalian.
*Pengamat Pemerintahan Gayo, tinggal di Banda Aceh
(Y) oya nge ku beteh arihi BENER MERIAH
balangi pedi artikel ni abang ni.. naku pe gati kualami sana si alami bang Gunawan LSK selama taring i banda ni.. cumen lagu pengalamen selama ini ike agenda lagu ini payah baro terjadi. conto e lagu agenda perubahan nama Kabupaten Aceh Tengah ku Kabupaten Tanoh Gayo si nge gati kite penge-penge sawah besilose gere ilen jadi-jadi. sana die penyebeb e..?
Aku setuju pedeh ya Bang, kerna aku pernah mengalamie hal lucu terkait ini.
Perhatikan salah satu fakta (kisah nyata) di bawah ini yang relevan dengan pendapat Tgk Marah Halim
Saat saya hijrah ke Banda Aceh tiga tahun lalu, kebetulan saya berbincang dengan seorang warga Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh. Saya lupa namanya, sebut saja Gam . Lalu ia bertanya tentang identitas saya. Berikut petikan perbincangan kami:
Gam: asli dari mana Bang?
Saya: Saya dari Takengon, Aceh Tengah
Gam: O saya pikir dari Gayo
Saya : Ia benar saya dari Gayo
Gam: Maksudnya, Abang dari Gayo lalu tinggal di Takengon ya?
Saya bingung dengan pertanyaaannya
Saya: Takengon itu juga Gayo Bang
Gam: Tapi tadi saya dengar Abang pakai bahasa Gayo, ada geh geh nya?
Setelah saya renungkan pertanyaannya, barulah saya sadar bahwa dalam pikiran si Gam, Gayo yang dimaksud adalah Kabupaten Gayo Lues. Sedangkan ia tak tahu Takengon atau Aceh Tengah bagian dari suku apa. Karena penasaran, saya balik bertanya padanya, “apakah yang Abang maksud Gayo Lues,” Tanya saya. “Ia,” jawabnya.
Dari peristiwa yang “aneh” tersebut, saya sepakat dengan Tgk Marah Halim, bahwa Aceh tengah maupun Bener Meriah tak lagi punya identitas Kegayoannya. Yang lebih dikenal sekarang adalah Gayo Lues karena menggandeng fonem dan entitas “Gayo”. Jadi alangkah baiknya Nama Kabpaten Aceh Tegah dan Bener Meriah juga mengandeng kata Gayo. Jika tidak, kita khawatir, jangankan untuk warga luar Aceh, warga pesisir Aceh pun suatu saat tak tahu dimana itu Takengon Aceh Tengah/Delung, Bener Meriah.
Mulailah dengan nama yang baik meski “apalah arti sebuah nama” kata mereka. Harus diingat, nama itu penting karena, (maaf) yang menemani saya berburu di Gayo Aceh Tengah juga punya nama seperti Jabut, Recom dll. Mulailah dengan mengganti nama. Semoga pejabat pemerintah menyadari hal ini.
Gunawan LSK
what’s *in* a name.