Bisnis Air Yang “Gurih”

Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat vital bagi kehidupan makhluk hidup yang ada di muka bumi. Untuk itu air perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainya.

Nah, terkait air ini, ternyata juga membuka lahan bisnis yang basah. Salah satunya adalah bisnis pengalian sumur bor dan jual air bersih, ungkap Jufrianto mantan Ketua Pengawas Pemilukada tahun 2006 lalu.

Menurutnya, semenjak empat tahun belakangan ini konsumsi air bersih sangat susah di dapat oleh masyarakat Acehtengah. Hal ini terjadi karena pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Tawar bekerja tidak profesional.

Ungkap Jufrianto, kepada Lintas Gayo pekan lalu, dirinya sudah memulai bisnis menjual air ini semenjak satu tahun belakangan. Saya memang terlambat untuk memulai bisnis ini, jelas Jufrianto. Namun mininya peluang kerja, saya harus menekuni bisnis jual air ini dan saya melihat sangat menjanjikan.

Bayangkan dalam satu hari, apalagi dalam kemarau panjang seperti sekarang, Jufrianto bisa mendapat order dari masyarakat seputaran kota dalam satu hari, mencapai 15-20 Polyteng (tangki-red). Untuk satu polyteng dapat diisi dengan 1100 liter air. Dengan harga perpolyteng sebesar, Rp 50 ribu. Permintaan masyarakat semakin meningkat apalagi di Bulan Ramadan sekarang, jelas Jufriato

Jufrianto sendiri, untuk mengeluti bisnis ini harus merogoh kantong dengan nilai, Rp 67 juta lebih, modal awal untuk membeli peralatan, seperti; Mobil Pick Up, Mesin penyedot air, Selang, Polyteng.

Untuk sumber air bagi para penjual air tidak mengambil sumber dari Danau, karena munurut mereka tidak Steril. Belakangan ini jelas Jufrianto, mereka mengambil air pesanan masyarakat, dari desa Pestak, Kecamatan Bebesen.

Dalam satu hari mereka para penjual air juga harus memberikan sejumlah uang pada pemilik lahan (sember air-red) senilai Rp 20 ribu dalam satu harinya. Kami tetap membayar hak si pemilik tanah, jelas Jufrianto.

Menurut Jufrianto, besarnya permintaan air belakangan ini selain kemarau panjang yang tengah terjadi di Dataran Tinggi Tanoh Gayo, PDAM juga tidak berfungsi bagus. “jadi masyarakat banyak kekurangan air”, dan hal tadi membuka peluang bisnis bagi kami, jelas Jufrianto.

Belakangan para penjual air terus bertambah di Aceh Tengah, sekarang mencapai tujuh orang penjual air yang mengunakan Armada angutan dan siap diantar ke rumah masyarakat. Ada juga yang berkapasitas lebih dengan mengunakan Mobil angkutan dengan mengunakan Tengki kecil layaknya penjual Minyak Tanah.

Dengan mengunakan mobil yang lebih besar ini masyarakat harus mengeluarkan uang senilai Rp 200 ribu dalam satu tengkinya, memang jumlah kubik air lebih banyak ketimbang dengan mengunakan Polyteng tadi.

Selain mereka tadi, ada juga yang melakukan bisnis Sumur Bor. Masyarakat sangat beralasan mengapa mereka harus membuat sumur bor. Karena selama lima tahun belakangan ini, pemerintah melalui PDAM tidak sanggup memberikan pelayanan akan kebutuhan air untuk masyarakat Gayo.

Sehingga belakangan banyak masyarakat yang beralih pada membuat sumur bor, walau di awalnya harus mengeluarkan dana yang lumayan besar berkisar antara, nilai, Rp. 1-1,5 juta untuk membuat sumur bor. “Hal ini terpaksa kami lakukan, karena air kebutuhan fital dalam sebuah rumah tangga”, jelas Aman Kiki, salah seorang kepala keluarga di Jalan Seribu Satu.

Salah seorang pengelola sumur bor kepada Lintas Gayo (6/8) mengatakan, sejauh ini permintaan masyarakat untuk membuat sumur galian (sumur bor-red) sangat tinggi jelas, Adi yang tinggal di Desa Kemili, Kecamatan Bebesen.

Dalam satu bulan dirinya bisa menerima order mencapai 12 rumah, sebutnya. Sejauh ini harga yang kami tawarkan sangat minim ketimbang pengalian sumur bor yang ada di luar Aceh Tengah, jelas Adi yang telah tiga tahun melakoni pekerjaan ini.

Air di beli belakangan ini bukan hanya oleh masyarakat, namun kantor-kantor juga mulai kekurangan air, akibat tidak becusnya sistem Manajemen yang di bangun oleh Kepala PDAM Tirta Tawar, M. Daut.

Dimana belakangan telah menghabiskan Anggaran Pembelanjaan Biaya Kabupaten (APBK) sebesar Rp. 3 Milliar lebih, namun belum mampu menampung keluhan masyarakat, akan air. Dan pemerintah daerah sendiri terkesan membiarkan, padahal ini terjadi setiap tahunnya. (A Mude Sastra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.