Oleh Joni MN. Aman Rima*
Mengingat manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan bermoral di banding dengan mahluk-mahluk lain, maka manusia ideal adalah selalu bersentuhan dengan persoalan moral. Moral secara sederhana dapat dimaknai sebagai suatu perilaku yang baik yang sesuai dengan norma, etika dan nilai-nilai yang diakui oleh suatu masyarakat atau kelompok tertentu. Nilai-nilai moral dalam hal ini, selain dapat tampil dalam bentuk norma relijuitas yang telah diatur dan ditetapkan, juga dapat pula terlahir dari hasil pemikiran subjek-subjek moral terhadap berbagai realita yang ada. Untuk yang terakhir ini memerlukan kematangan berpikir reflektif, kreatif dan positif. Dalam kontek ini manusianya mampu menganalisis setiap peng-aksenan dari nilai-nilai tersebut dan norma yang terdapat dalam proses pendidikan, yang menuju kearah kreatif yang positif.
Berfikir kreatif dan reflektif adalah semacam corak berpikir yang mempraktekan pemikirannya dalam memandang ke depan setelah menganalisis dan mempertimbangkan dampak negative dan positivenya suatu tindakan dengan berbagai konsekuensi yang mungkin akan ditimbulkannya menuju suatu keputusan yang terbaik dari berbagai pilihan yang tersedia. Dalam konteks etika, penelaahan akan konsekuensi tersebut tentu berkenaan dengan memilah dan memilih mana yang paling bermanfaat dan menguntungkan menuju kebajikan. Berpikir reflektif-kreatif ini menekankan pencarian moralitas pada kemampuan akal yang dengan cerdas dan terampil menganalisis berbagai kemungkinan konsekuensi dan implikasi dari suatu perilaku moral menuju yang terbaik.
Kematangan berpikir yang bijak dan bermoral menjadi semakin urgen, terutama bila dihadapkan pada kenyataan bahwa perilaku potensial manusia menjadi aktual melalui proses penyadaran di satu sisi dan pembiasaan di sisi lainnya seperti yang telah diuraikan oleh para orang – orang tua terdahulu pada Suku Gayo di Takengon Aceh Tengah, yang diisitilahkan bahwa Pendidikan seperti “I Panang Sareh I Engon nyata, I amat gere murasa, mehatne we kin neraca” ini merupakan roh pendidikan di Aceh Tengah dan kata-kata bijak ini bermakna bahwa; pendidikan itu berwujud abstrak namun sangat berpengaruh terhadap realitas kehidupan manusia dan hal itu sudah menjadi tolak ukur prilaku antara baik dan buruk moral manusianya.
Oleh karena hal tersebut, seorang yang sudah terdidik lebih-lebih bergelar tinggi di Gayo sudah dipercaya dapat mencerminkan ahklaq yang mulia, beretika, dan moralitas yang bagus pula terhadap lingkungannya serta perserta didik. Bukan saling menjatuhkan dengan cara menjelek-jelekan, saling berebut posisi, lupa akan jasa, korupsi baik waktu maupun uang, dan saling meremehkan antar sesama, yang lebih parah lagi yang terjadi saat ini adalah hasil pendidikan di nilai dengan angka kemudian pemeberian angka tersebut di berikan dengan berdasarkan imbalan baik materi atau jabatan. Hal inilah yang mungkin tidak terjadi di ranah pendidikan kabupaten Aceh Tengah, karena hal ini dapat menghilangkan roh dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan di Dataran Tinggi Gayo merupakan salah satu sarana pembentukan akhlaq yang baik dan moralitas yang tinggi, Karena upaya pendidikan tidak lain adalah suatu upaya pemanusiaan, maka untuk melihat moralitas kependidikan itu mesti diawali dengan mendudukkan makna dan orientasi humanitas agar segala yang akan ditempuh dalam kegiatan kependidikan tidak lari dari esensinya. Hal ini terbukti dalam falsafah Suku Gayo yaitu; “Remalan Bertungket Peri Berabun” lebih kurang bermakna bahwa; bergaul, bertindak, dan berusaha harus dengan ilmu, berbicara, berinteraksi dan lainnya haruslah memiliki ilmu dan kesopanan, kalaupun orang itu salah, namun saat menegur tidak boleh terang-terangan, dan bukan memberikan harapan kepada orang tersebut dengan maksud harapan imbalan kelak.
Kembali kepada pembahasan inti yaitu roh dari pendidikan juga tersangkut kepada Perealisasian perilaku moral dalam tindakan-tindakan nyata seperti yang terkandung dalam roh pendidikan di atas adalah selalu bersentuhan dengan dorongan kuat yang datang dari dalam diri seseorang untuk bertindak moral, yang biasa disebut dengan kesadaran moral bagi para pendidik, stick-holder, peserta didik dan anggota masyarakat. Mengingat moralitas memang merupakan perilaku manusia yang dilakukan atas dasar kesadaran yang dalam dari subjek pelakunya, maka moralitas selalu dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan tanpa paksaan dan desakan dari luar diri manusia. dan oleh karena itu-pulalah maka moralitas akan senantiasa bersifat tanpa pamrih dan dorongan dari luar perilaku moral itu sendiri, sehingga perilaku apa pun yang dilakukannya nanti adalah benar-benar dilandasi oleh dasar yang kukuh yang menjadi dirinya konsen terhadap perbuatan itu yang pada akhirnya akan selalu menjelmakannya dalam setiap realisasi dirinya dalam tindakan dan pemikiran.
Pada hakikatnya, dalam diri manusia terdapat sifat-sifat dan unsur-unsur ilahiyah berupa potensi-potensi yang mesti dikembangkan dan dijabarkan manusia dalam bentuk perilaku-perilaku nyata. Hal ini karena memang dalam proses kejadiannya manusia ditiupkan ruh dari Tuhannya yang tidak terdapat pada makhluk lainnya. Dengan tugasnya sebagai khalifah, manusia diberi hak untuk mengembangkan dan memelihara sifat-sifat potensial yang berdimensi sifat ilahiyah yang bersemayam dalam dirinya ini agar benar-benar menjadi perilaku-perilaku senyatanya. Manusia dalam hal ini dituntut untuk berpikir kreatif dan inovatif untuk mengembangkan dirinya ke arah realisasi dari sifat-sifat Tuhan yang ada dalam dirinya itu dan selalu menjaga dan memelihara sifat-sifat potensial itu dari kehancuran dengan cara menjauhi larangannya. Berdasarkan inilah maka manusia dituntut untuk tetap selalu tanggap dan tangkas dalam memandang setiap realitas yang ada dalam kehidupannya, sehingga memudahkan dirinya untuk menjadi lebih baik dan sempurna.
Memanusiakan manusia dalam konteks pendidkan dan budaya Gayo adalah bagaimana memotivasi dan menumbuhkan sifat-sifat dasar manusia yang telah dianugerahkan Tuhan sebagai lambang bagi kemanusiaannya yang membedakannya dengan hewan atau binatang lain. Menjadi manusia sejati, tentulah harus mengacu pada pembinaan dan menghidup-suburkan sifat-sifat potensial manusia tersebut dalam kehidupan mereka, baik dalam tataran individual dan sosial maupun dalam tataran pendidkan, tenaga kependidikan serta pada tataran pembuat kebijakan pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka pendidikan dalam hal ini tentulah diharapkan sejalan dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri yang menempatkan manusia sebagai mahkluk yang telah diperkaya dengan potensi akhlaq, etika dan moralitas. Mengingat nilai kemanusiaan selalu dilihat dari perilaku tersebut yang mereka tampilkan, dan memang misi penciptaan manusia itu sendiri adalah untuk moral atau berakhlaq mulia, maka dapat dikatakan, bahwa akhlaq, etika dan moralitas adalah juga esensi kemanusiaan. Karena akhlaq, etika dan moralitas adalah inti kemanusiaan, maka hal tersebut mestilah pula dijadikan sebagai sentral bagi upaya pemanusiaan dari manusia itu sendiri. Pendeknya, menjadikan manusia dan sebagai manusia adalah juga berarti berupaya menciptakan manusia-manusia yang bermoral, beretika, dan memiliki norma dalam berkehidupan.
Dalam budaya masyarakat suku Gayo seperti yang terkandung pada falsafah di atas bahkan juga dalam Agama Islam, pada setiap manusia tidak saja diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan tanpa batas , tetapi juga mengajarkannya, sehingga ilmunya dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar dirinya yang dapat membimbing dan membentuk para manusia – manusia yang lain kearah yang beretika baik . Islam sangat mencela orang yang menyembunyikan ilmunya, terlebih lagi yang menjerumuskannya, dari yang baik menjadi tidak baik dan dari yang tidak baik menjadi baik, seperti halnya pernah penulis jumpai baru-baru ini di dalam tugas akhir Mahasiswa di dalam isi Acknowledgement Skripsi Mahasiswa ucapan Terimakasih urutannya pertama Kepada ALLAH, kedua Nabi Besar Muhammada s.a.w kemudian setelah ini urutannya langsung kepada pihak pembimbing dan lain-lain, bukan kepada orang yang telah melahirkannya, ayahnya (Suami/Istrinya), malah para pembimbing tersebut ingin menempatkan diri mereka pada posisi orang tua dari si pemilik karya ilmiah tersebut dengan dalih ikuti prosedur akademika (lembaga), dan pengakuan dari mereka mahasiswa hal itu juga merupakan arahan dari beberapa pembimbing mereka, sesuai dengan arahan dan cita – cita pendidikan yang sudah ada baik pada buku-buku filsfat pendidikan, undang-undang pendidikan dan lainnya senmuanya pasti mementingkan penegakan moral pada peserta didik tersebut, dan hakikatnya jelas, hal tersebut merupakan penjerumusan moralitas negative dan pengkaburan nilai-nilai pendidikan itu sendiri, yaitu; dari yang baik menjadi tidak baik, mungkin hal ini terjadi terlalu dipaksakan karena ketidak tahuan para pembimbingnya atau mungkin kurangnya refrensi bacaan. Padahal hal ini sudah jelas di paparkan pada buku-buku yang mebahas tentang “Garis Hirargi Normative” pada buku –buku Hakekat Manusia dan Filsafat Moral..
Oleh karena itu, pendidikan dalam konteks Budaya Gayo dan Agama Islam haruslah dimaknai sama-sama memiliki peran dan tujuan yang sama, yaitu; sebagai upaya sadar bersama seluruh komponen pekerja pendidikan yang dilakukan untuk menjadikan subjek didik sebagai manusia yang kompleksitas dan/atau dengan kata lain, pemanusiaan atau pemoralisasian manusia adalah tugas utama pendidikan dengan melibatkan berbagai komponen baik dalam struktural maupun fungsional. Dan Pendidikan sebagai lembaga pembinaan dan penanaman nilai-nilai humanitas merupakan sesuatu hal yang memiliki korelasi positif dengan proses modernisasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendidikan merupakan sarana penting yang sangat diperlukan dalam proses perubahan sistem sosial, ekonomi dan politik.
Oleh karena itu sudah merupakan suatu kemestian untuk mengikutkan pendidikan dalam program modernisasi. Pendidikan memiliki kaitan signifikan dengan kualitas suatu masyarakat. Dan kemudian pembaharuan-pembaharuan di bidang pendidikan sangat diperlukan agar segala aktivitas yang dilakukan di dalamnya benar-benar dapat menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat padasaat ini. Penormalisasian makna adat dan budaya serta agama ke dalam ranah pendidikan akan dapat membantu untuk mengembalikan nilai dan hakikat dasar dari pendidikan itu sendiri seperti semula.
“Nilai manusia yang sesungguhnya pada dasarnya ditentukan
oleh ukuran dan rasa yang telah mencapai pembebasan
dari dirinya sendiri.” (Eistein)
*Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon