Yusra Habib Abdul Gani[1]
PADA 03 Oktober lalu, berlangsung pelantikan anggota Kabinet Helle Thorning Schmidt Menteri Negara Denmark dari partai Social demokrat, yang berjaya mengalahkan Lars Løkke Rasmussen dari partai Ventre pada Pemilu 15. September 2011. Pemilu ini dilaksanakan dengan undang-undang Pemilu baru yang pada prinsipnya merubah paradigma demokrasi dari pengunggulan satu partai kepada sistem blok partai untuk memenangkan pemilu. Sistem ini belum pernah diamalkan oleh negara manapun, kecuali: Denmark buat pertama sekali memulai dengan hasil yang mengagumkan.
Perubahan paradigma demokrasi baru terjad, setelah mengakhiri era ’absolute monarchy’ 5. Juni tahun 1849 dan sejak memasuki abad ke XX(priode: 1913-2008), mengunggulkan satu partai di Parlemen. Kini, terdapat 9 partai politik, yaitu: partai Venstre, Dansk Folke, Det Konservative Folke, Kristen Demokrat dan Liberal Alliance (tergabung dalam Blok Biru) berhadapan dengan partai Socialdemokratiet, Socialistisk Folke, Det Radikale Venstre, Enhedslisten (tergabung dalam Blok Merah); yang memperebutkan sebanyak 175 kursi di Parlemen pusat (plus 2 orang wakil Grønland, 2 dari Færøerne – seluruhnya 179) dan bersaing memperebutkan posisi Menteri Negara mewakili blok, yang kali ini 92% untuk kemenangan Blok merah dan 87% untuk Blok Biru. Dalam rentang masa 100 tahun terakhir ini, tidak terlalu tajam perubahan jumlah anggota Parlemen pusat; terbukti: pada tahun 1913, 113 anggota; tahun 1920, 139 anggota; tahun 1947, 148 anggota; tahun 1953, 149 anggota dan sejak tahun 1953-2001, 175 anggota Parlemen.
Dilihat dari perolehan suara, partai Ventre (mencalonkan Menteri Negara mewakili Blok Biru) memperoleh lebih banyak suara ketimbang partai Socialdemokrat (mencalonkan Menteri Negara dari Blok Merah). Tetapi secara keseluruhan, blok Merah (4 partai minoritas) mengantongi suara mayoritas daripada Blok Biru (5 partai besar). Dalam tubuh Blok Merah sendiri; persentase perolehan suara partai Socialdemokrat jauh lebih kecil daripada kegemilangan partai Radikale Venstre dan partai Enhedslisten; bahkan Partai Socialistisk Folke kehilangan beberapa kursi di Parlemen. Ketiga partai ini merupakan anggota Blok Merah yang mencalonkan Helle Thorning sebagai Menteri Negara dari partai Socialdemokrat. Yang nampak disini adalah tradisi membesarkan kawan, mengakar dan tumbuh dalam organisasi kepartaian.
Walaupun Jimly Asshiddiqie dalam ”Dinamika Partai Politik dan Demokrasi” mengatakan: ”Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi” dan Schattscheider berkata: ”partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi dan bahkan menyimpulkan “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”; akan tetapi dalam aplikasinya, tetap saja akan dimoninasi oleh satu partai unggul, karena memperoleh suara mayoritas di Parlemen. Partai-partai kecil menjalin koalisi setelah pemilihan. Cara pandang demikian sudah usang (’out of date’) di Denmark; walaupun di negara-negara pengamal demokrasi di seluruh dunia masih menerapkannya. Paradigma demokrasi –sistem dan mekanisme kerja partai- mulai berubah dari dominasi satu partai (’one party dominance’) kepada dominasi gabungan partai (’dominance of the combined party’) yang dirumuskan dalam MoU antara partai dan terang-terangan menunjukkan keberpihakan kepada blok partai. Namun, masing-masing partai tetap punya ciri/karakter dan bersaing merebut penyokong. Sebetulnya, perubahan paradigma berpikir model ini, sudah berlaku dalam dunia sepak bola yang merubah dari pola ”total football” kepada ”collective football” tanpa menggugat kecemerlangan seorang bintang lapangan.
Kenyataannya, walaupun beberapa partai berada dalam satu Blok, tetapi tidak wujud penekanan-penekanan, apalagi ”mempertuan”-kan satu partai. Masing-masing partai punya otonomi program, missi dan visi yang tidak boleh didékté oleh partai manapun, apalagi pimpinan tertingi negara terpilih atas dasar suara mayoritas Blok, bukan suara mayoritas satu partai. Adalah lumrah jika ada partai dalam satu blok terjadi perbedaan pendapat dalam Sidang Umum Parlemen; sebab kebebasan berpendapat merupakan hak asasi yang benar-benar dihormati.
Sistem Blok partai di Denmark tidak sama dengan ”Koalisi Partai” yang dikenal di beberapa negara di dunia -tidak diikat oleh MoU antar Partai- dan oleh sebab itu, partai koalisi mudah berkhianat, ’kutu loncat’ dan rapuh kesetia-kawanannya. Keutamaan dari Blok partai adalah: lebih selektif memilih kandidat Kepala Negara/Kepala Daerah, meniadakan dominasi satu partai (pertuanan), membangun tradisi dalam pengambilan keputusan atas dasar musyawarah dan membiasakan diri hidup dalam suatu organisasi yang akur dan teratur. Dalam konteks inilah Robert Michels berkata: “…organisasi, merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif”. Robert Michels. {baca: “Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy.” Yang diterjemahkan: Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1984, hal.23.} Lagipun, sulit dibayangkan kalau ”suatu sistem politik dengan hanya satu partai politik, sulit sekali dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.” {Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, third edition, Oxford University Press, 1998, hal. 86.} Keratan kalimat: “ dengan hanya satu partai politik”, wujudnya boleh jadi dalam bentuk dominasi satu partai dalam multi partai. Kiranya, tulisan ini dapat memberi wawasan pemikiran, walaupun untuk merubah paradigma demokrasi model ini, barangkali memerlukan proses puluhan tahun lamanya; namun mengisahkan sesuatu yang baru dan baik adalah juga ibadah!