Setelah Jadi Kemdikbud, Lalu Apa ?

Oleh Johansyah*


Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik kabinet hasil perombakan (Rabu, 19/10/11) pagi di Istana Negara, maka Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) resmi berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sesuai Keppres No.59/P/Tahun 2011, Mendiknas Mohammad Nuh berganti jabatan menjadi Mendikbud. Dalam melaksanakan tugasnya, dia dibantu dua wakil menteri, yaitu Musliar Kasim untuk bidang pendidikan Wiendu Nuryanti  untuk bidang kebudayaan (www.kemdiknas.go.id).

Mendikbud menjelaskan ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; pertama, ingin nilai-nilai budaya melekat dalam proses pendidikan kita. Kedua, Kemdikbud ingin menumbuhkan kecintaan anak-anak Indonesia terhadap nilai-nilai budaya. Dan ketiga, Kemdikbud akan berusaha menggali warisan budaya yang belum ditemukan. Sementara itu, Musliar Kasim mengatakan bahwa penyatuan visi pendidikan dan kebudayaan ke dalam satu kementerian harus bisa saling mengisi. “Anak didik harus punya kecerdasan yang baik, tapi juga memiliki karakter budaya Indonesia,” tuturnya (www.kemdiknas.go.id).

Tentu saja ini bukanlah babak baru dalam dunia pendidikan mengingat sebelumnya kemdiknas adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Dengan kata lain kemdikbud saat ini kembali ke wujud semulanya. Dari perubahan nomenklatur ini diharapkan tumbuhnya spirit baru untuk menciptakan iklim pendidikan Indonesia yang lebih baik sekaligus sebagai aufklarung (pencerahan).

Reintegrasi antara pendidikan dan kebudayaan di atas, hemat penulis merupakan kesadaran kolektif pemerhati pendidikan bahwa keberadaan pendidikan sulit dilepas dari konteks budaya, apalagi ruh pendidikan karakter berada di sana. Tak pelak, bahwa pendidikan karakter tidak mungkin lepas dari ranah kultur sosial yang merupakan dunia nyata untuk dihadapi semua orang. Untuk itu, rujuknya kebudayaan dalam pangkuan kementerian pendidikan adalah momentum baik untuk menjadikan budaya dan kearifan lokal sebagai sumber-sumber nilai yang mumpuni untuk ditransformasikan kepada anak didik sehingga mereka tidak merasa asing dengan budaya sendiri.

Beberapa Keraguan

Terkadang muncul skeptik  dan pesimis dalam benak penulis meskipun itu tidak baik. Pasalnya, ketika dulu dikbud dirubah menjadi diknas maka perubahan mendasar apa yang dapat kita lihat dan nikmati dalam dunia pendidikan Indonesia?, apalagi dikaitkan dengan pembentukan karakter generasi bangsa ini. Jika hanya masalah administrasi dan pembagian job descreption, maka alangkah sia-sianya perubahan yang dilakukan.

Kedua, bahwa di antara kebiasaan kurang baik dalam sistem pemerintahan Indonesia (khususnya pendidikan) adalah kegemaran gonta-ganti nama, padahal substansinya sama. Contohnya banyak; mulai dari kurikulum, format laporan, nama sekolah, nama ujian nasional dan perubahan beberapa aspek lainnya. Lihat saja perubahan nama kurikulum, peralihan dari kurikulum 1994 ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), lalu dirubah lagi dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam kenyataanya, suka atau tidak harus diakui bahwa substansinya sama sekali tidak jauh berbeda.

Inilah yang kita khawatirkan dari perubahan nomenklatur kemdiknas menjadi kemdikbud, jangan-jangan hanya berganti busana saja sementara orangnya sama. Kata Buya Syafii Maarif (2009), bentuknya saja yang berubah namun isinya tetap sama. Apalah arti sebuah nama bukan?, perubahan nama hanyalah simbul dan bentuk, bukan substansi atau isi. Oleh karena itu, tidaklah berarti perubahan tersebut  bilamana tidak diikuti dengan perubahan fundamental sistem pendidikan yang telah jauh lari dari nilai-nilai keadilan, kejujuran serta pemerataan.

Melihat Akar Masalah Pendidikan

Mewujudkan pendidikan ke arah yang lebih baik sungguh merupakan sebuah mimpi di siang bolong ketika akar-akar masalah pendidikan tidak pernah menjadi perhatian kita bersama. Hemat penulis, inilah yang menjadi blunder dalam politik dan kebijakan pendidikan saat ini, akar-akar masalah pendidikan kurang mendapat perhatian atau bahkan sengaja diabaikan.

Akar masalah pertama terkait dengan sistem demokrasi yang dibangun Indonesia sekarang. Bahwa sistem demokrasi kita masih sangat  prematur, partai politik masih sangat kekanak-kanakan dalam membangun relasi dengan rakyat dan antar penguasa, ditambah dengan masyarakat kita yang masih sangat polos dalam berdemokrasi, seperti menilai sosok mana yang berkualitas atau tidak.

Pelaksanaan demokrasi Indonesia sebenarnya cenderung oligarkis dan pada dasarnya  berisikan kleptokrasi (pemerintahan para maling). Maka sistem semacam ini jelas berdampak besar terhadap politik dan kebijakan pendidikan, karena pendidikan itu berada pada cengkeraman pemerintah yang absurd diceraikan. Maka sebelum sistem demokrasi kita berjalan sesuai kehendak demokrasi sesungguhnya, selama itu pula ia akan menjadi palang penghalang bagi laju perkembangan pendidikan  ke arah yang lebih baik.

Masalah kedua adalah hilangnya tanggung jawab kolektif pendidikan. Saat ini secara umum kita hanya mengandalkan pendidikan formal dan menumpukan pencarian solusinya di sana. Fungsi dan kewenangan masyarakat dalam pendidikan tidak lagi kelihatan, terutama dalam membentuk perilaku generasi muda dan anak-anak didik kita. Pendidikan partisipatoris lagi-lagi hanya tertulis rapi dalam konsep dan aturan belaka. Sekiranya belum ada kesebangunan tanggung jawab pendidikan secara kolektif, maka pendidikan dan budaya ibarat suami istri yang tidak pernah tidur satu ranjang, atau tidur seranjang tapi mandul tidak menghasilkan apa-apa.

Terakhir, keseriusan dalam mengembalikan ruh pendidikan (moral) masih menjadi tanda tanya besar. Pendidikan karakter yang lagi didengungkan oleh pemerintah melalui kemdikbud saat ini, penulis anggap seumpama kolam terapung yang mudah diombang-ambing ombak besar karena tidak menancap dan berakar ke bumi.

Dari itu, perubahan nomenklatur kemdiknas menjadi kemdikbut sejatinya menjadi mikroskop baru untuk menzoom akar masalah pendidikan secara lebih detail dan jelas. Demokrasi yang sehat, tangung jawab bersama dan prioritas moral dalam dunia pendidikan merupakan di antara syarat yang harus dipenuhi untuk merubah kondisi pendidikan ke arah yang dicita-citakan. Sebagai tokoh, pemerhati, dan praktisi pendidikan sejatinya pola pikir kita bukan seperti tukang sablon dan pamphlet, mereka senang dengan perubahan nama kemdikbud karena mendapatkan proyek baru sebab pamphlet instansi-instansi di bawah naungan kemdikbud akan segera diganti. Semoga pendidikan Indonesia ke depan menjadi lebih baik.

*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments