Karya Umar ”Jepang Taring” Tergilas Rencana PLTA
Khalisudddin
Zaman boleh berubah. Demikian juga teknologi. Perkembangan teknologi mesin telah menggantikan tenaga manusia hingga dengan sebuah remote saja. Sebuah proses produksi bisa dijalankan dari sebuah kursi putar.
Namun ditengah era teknologi mesin dan peralatan canggih teknologi seluler seperti sekarang ini, masih ditemui kearifan lokal dengan memanfaat energi air sebagai penggerak utama mesin penumbuk padi.
Meski terbilang langka, namun fakta itu masih bisa dilihat saat ini di mesin padi milik H. Aman Limpah di Remesen Silih Nara dan milik H. Aman Payung di Kampung Uning Kecamatan Pegasing Aceh Tengah. Kedua mesin penggilingan padi tersebut masih aktif dan berproduksi dengan baik.
Pembuatan mesin penggilingan padi tradisional yang memanfaatkan derasnya arus sungai Peusangan diilhami dari alat penumbuk padi tradisional Gayo jaman dulu yang memanfaatkan tenaga air.
Adalah seorang bekas serdadu Jepang yang menetap di Takengon yang dikenal masyarakat Gayo dengan nama Jepang Taring (Gayo : Jepang Tinggal) menawarkan jasa untuk merancang dan membuat alat penggiling padi modern dengan tenaga air.
Menurut keterangan ahli waris H. Aman Limpah, orang yang pertama sekali membangun mesin penumbuk atau penggilingan padi, lewat ahli warisnya, Anwar (51) penggilingan padi tenaga air peninggalan ayahnya dibangun atas permintaan ibunya, Inen Limpah, setelah ”pecah kongsi” dengan mesin penggilingan padi Angkup Silih Nara.
Sebelum menggunakan penggilingan rancangan Umar si Jepang Taring, Aman Limpah membuat roda penumbuk padi tradisional di Remesen yang juga memanfaatkan aliran air sungai Peusangan. Saat itu masyarakat sekitar dibebaskan mengoperasikan dan menumbuk padi sendiri di roda Aman Limpah dengan upah seikhlasnya berupa beras hasil tumbukan.
Aman Limpah, kala itu, berteman baik dengan Umar si Jepang Taring yang menyarankan agar dibangun alat pemecah padi bertenaga air dengan menggunakan teknologi yang lebih modern, hemat biaya pembuatan, ekonomis biaya produksi dan ramah lingkungan.
Aman Limpah menerima saran dan tawaran tersebut. Tidak sampai hitungan dua belas bulan, tahun 1959 berhasil beroperasi penggilingan padi Aman Limpah di kampung Remesen kecamatan Silih Nara sekitar 17 km dari kota Takengon yang kemudian dikenal dengan Roda Aman Limpah.
Sukses di Remesen, si Jepang Taring yang kemudian berganti nama menjadi Umar kembali mendapat tawaran dari Aman Payung dari Kampung Uning Kecamatan Pegasing untuk dibuatkan mesin yang sama seperti milik abangnya Aman Limpah. Dengan lokasi berbeda.
Tahun 1960, Roda Aman Payung di Uning mulai beroperasi menerima jasa penggilingan padi dari masyarakat petani sawah di sekitarnya terutama dari kampung-kampung dalam kecamatan Pegasing, Kecamatan Celala dan Kecamatan Silih Nara.
Sukses beroperasinya dua mesin penggilingan Remesen dan Uning, tujuh tahun berikutnya, seorang hartawan yang darmawan dan terkenal di Kabupaten Aceh Tengah, H. Aman Kuba sangat tertarik dengan teknologi ramah lingkungan dan ekonomis yang dibangun oleh Umar si Jepang Taring.
Berdasarkan penuturan Hasan Makmur (51) beberapa waktu lalu di Pendere Saril kecamatan Bebesen Aceh Tengah, pada tahun 1967 dimulailah pembangunan mesin dengan memanfaatkan teknologi air sungai Peusangan dengan skala yang lebih besar.
Mesin milik Aman Kuba di Pendere ini merupakan mesin Four in One. Karena bisa dijadikan sebagai mesin untuk padi, pengupas kopi, sumber listrik dan pembelah kayu menjadi papan dan balok (shawmill).
Haji Aman Kuba, menaruh harapan besar terhadap investasinya di Roda Pendere. Untuk membangun mesin four in one ini, Aman Kuba menjual 12 unit mobil truk bermerek merek Dodge dan Vargo untuk belanja modal pembuatan mesing penggilingan (dalam bahasa Gayo disebut Roda), itu. Selain itu, Aman Kuba juga memberikan 1 unit Jeep Willis untuk Umar si Jepang Taring sebagai tanda terima kasih. Atas dedikasinya dan rancangannya membuat Roda.
Tahun 1968, angan-angan H. Aman Kuba terwujud, rangkaian alat yang dirancang Umar mulai beroperasi sesuai dengan fungsi yang diharapkan. Hingga tahun 1989, seluruh peralatan masih berfungsi dengan baik. Namun, di tahun 1990 As Utama roda penggerak rusak berat dan harus diganti.
Butuh waktu untuk memperbaikinya dan kegiatan pabrik sempat terhenti beberapa bulan. Saat sedang mencari As Roda yang sesuai. Agar mesin tetap berproduksi, energi air digantikan sebuah mesin truk Fuso dimodifikasi sebagai pengganti sementara penggerak pabrik untuk berfungsi kembali.
Ditahun yang sama H. Aman Kuba menghembuskan napas terakhir. Pengelolaan mesin diserahkan kepada anak ketiganya Hasan Makmur hingga sekarang. Hasan Makmur kemudian berusaha memperbaiki peralatan Roda yang rusak hingga tahun 1992. Usaha tersebut menjadi sia-sia saat isu pembangunan PLTA Angkup merebak. Walau pabrik Roda Pendere tidak terkena proyek tersebut, masyarakat sekitar Roda merusak Lung (parit=saluran air) air penggerak roda sepanjang 500 meter dan dijadikan kolam ikan, agar mendapat ganti rugi.
Akibatnya proses perbaikan Roda Pendere terhenti total hingga sekarang. Ironisnya proyek PLTA terhenti hingga 2009, 19 tahun berlalu begitu saja. Roda Pendere sedihnya, pembangunan Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan hingga kini belum dilanjutkan walau situasi Aceh sudah kondusif paska MoU.
Teknis Operasional Cerka
Menurut H Taharuddin Aman Nona, Cara kerja mesin pemecah padi ini sangat ekonomis dan ramah lingkungan. Sebagian Air sungai Peusangan dialirkan melalui sebuah Lung (parit =saluran air) berukuran lebar 1,5 meter dengan kedalaman 1 meter mengarah kesebuah roda (Gayo : Cerka) . Air ini kemudian memutar bilah-bilah papanyang berputar seperti kipas.
Hempasan air dengan kuat kemudian memutar roda tersebut yang terhubung dengan roda penghubung melalui tali ban. Diperlukan empat rangkaian roda penghubung hingga sampai ke Alat Pengupas Padi dan berakhir di Alat Pembersih Beras.
Padi siap giling dimasukkan ke pengupas padi dan kemudian dibersihkan oleh pembersih dimana terjadi pemisahan antara beras, sekam dan dedak.
Biaya kerusakan alat di Roda Aman Payung terbilang sangat kecil, Roda penggerak utama mesti diganti setiap 3 tahun sekali, kemudian karet pada alat pemecah padi dan pembersih biasa diganti tiap bulan dengan biaya tidak lebih dari Rp. 300.000,-. Bila menggunakan tenaga mesin diesel, untuk solar saja menghabiskan 20 – 30 liter perharinya. Dengan penggerak mesin tenaga air, maka biaya pembelian solar dan biaya kerusakan sudah menutupi upah 5 orang karyawan di mesin Aman Payung.
Banyak kesamaan menyangkut biaya operasional antara Roda Aman Payung dengan mesin Roda Aman Limpah. Perbedaan yang agak mencolok menyangkut penggantian Cerka (roda utama), Aman payung mengganti tiap 3 tahun sekali dengan bahan kayu Meudang Jeumpa, sedangkan Roda Aman Limpah menggantinya setiap 7 tahun sekali dengan bahan kayu Kerto Cane yang banyak terdapat di Jagong Jeget. Biaya juga terdapat selisih, Aman Payung mengeluarkan sekitar 10 juta rupiah, sedangkan Aman Limpah lebih kecil yakni 8 – 9 juta rupiah.
Menurut catatan Haji Taharuddin Aman Nona (69) yang merupakan pewaris Aman Payung pemilik pertama Roda Aman Payung perharinya mereka menggiling padi sebanyak 2 – 3 kunca (1 kunca = 75 kaleng = 550 kg padi) dalam 1 kunca menghasilkan beras sebanyak 21 bambu. Hasil sampingan berupa dedak tiap 1 kuncanya diperoleh 2 goni dedak (1 goni dedak = 60 kg). Upah jasa penggilingan setiap kuncanya berupa beras 3 bambu atau Rp.30.000,- perkunca.
Aman Nona mempekerjakan 5 orang tenaga kerja dengan gaji sama rata Rp. 600.000,- perbulan, ditambah tunjangan beras 2 kaleng setiap bulannya dan uang rokok Rp. 5.000,- perhari. Penghasilan ini belum termasuk penjualan dedak yang diberikan sepenuhnya kepada pekerja untuk mengelolanya. Bila musim panen penghasilan pekerja malah lebih besar dari gaji yang diterima.
Selaku umat Islam yang ta’at, tiap tahunnya H. Taharuddin Aman Nona mengeluarkan zakat penghasilannya sejumlah Rp.3.000.000,- dan bila jumlah ini adalah 2,5 % maka penghasilan Aman Nona dari jasa penggilingan ini adalah Rp. 120.000.000,- pertahun.
H. Taharuddin Aman Nona sempat menjadi PNS dijajaran Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Aceh. Karena alasan gaji tidak mencukupi, dia memutuskan berhenti dari PNS ditahun 1968 yang kemudian mengelola Roda Penggilingan Padi Aman Payung. Kini Aman Nona berhasil menyekolahkan ketujuh anaknya dan ada hingga S2. Enam diantaranya sudah menjadi PNS. Taharuddin beserta istri juga telah pulang dari tanah suci Makkah Mukarramah menunaikan ibadah haji.
Berbeda dengan Roda Aman Payung, Roda Aman Limpah yang dikelola Anwar (51) mempekerjakan 3 orang dengan sistem penggajian bagi tiga. Satu bagian untuk pemilik, satu untuk perawatan dan penyusutan alat dan satu bagian lagi untuk pekerja.
Sedangkan biaya pemecahan padi, di Roda Aman Limpah dikenakan 2,5 bambu beras setiap 1 gating padi yang diproses atau setara Rp. 22.000. 1 gating setara dengan 5 kaleng padi atau 2 kaleng beras. Volume kerja perharinya sekitar 20 – 30 gating, setara dengan 2 – 3 kunca padi.
Jika penggunaan ketiga alat pemecah padi diatas dianalisis dengan metoda analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat) yang merupakan metoda analisa yang paling dasar, yang berguna untuk melihat suatu permasalahan dari 4 sisi yang berbeda dimana hasil analisa merupakan rekomendasi untuk mempertahankan kekuatan dan menambah keuntungan dari peluang yang ada, sambil mengurangi kekurangan dan menghindari ancaman. Maka wajar jika Pemerintah beberapa kali merencanakan dan melaksanakan pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan memanfaatkan aliran sungai Peusangan seperti yang dilakukan Aman Limpah, Aman Payung dan Aman Kuba.
Kenyataannya, mega proyek PLTA Peusangan yang gagal dibangun hingga kini dengan berbagai alasan, ternyata telah mematikan sebuah usaha yang memanfaatkan teknologi air. Pertanyaannya, apakah keegoan ”si Mega Proyek” akan melindas ketiga aset teladan teknologi tepat guna yang bersejarah tersebut ?
Saat ini Taharuddin Aman Nona dan Hasan Makmur serta Roda milik Aman Kuba sedang resah, pasalnya, cerka atau bilah-bilah kayu yang menggerakkan mesin setelah diterjang air, dalam keadaan rapuh karena usia pemakaian.
”Cerka-cerka ini harus sudah diganti karena lapuk. Namun terkendala tidak adanya kayu. Kalau mau mengambil kayu untuk cerka ini, katanya harus ada ijin. Inilah hambatan utamanya,” jelas Taharuddin Aman Nona bingung. Taharuddin berharap dinas terkait yang mengeluarkan izin tebang memberi kemudahan baginya untuk menebang pohon kayu yang akan dijadikan bahan baku cerka penggerak mesin.
”Kalau mesin ini rusak dan tidak berfungsi banyak orang yang yang selama ini tergantung pada mesin ini akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan,” pungkas Aman Nona.
(Sudah pernah dimuat di tabloid TingkaP)