6 Nopember 1908, 101 tahun lalu, Cut Nyak Dhien yang paling ditakuti penjajah Belanda berpulang ke Rahmatullah di negeri pengasingan yang nan jauh dari Aceh saat itu, Sumedang Jawa Barat.
Seseorang yang pernah sangat dekat dengan pemilik julukan “Ibu Perdu” ini, dalam perannya sebagai Panyair dalam film dokumenter bertajuk Cut Nyak Dhien, Ibrahim Kadir sang Penyair, putra Gayo yang lahir dan besar di Takengon merasakan layaknya ikut berperang dengan penuh heroik membela agama dan kehormatan jengkal demi jengkal tanah Aceh melawan Belanda kafir bersama Cut Nyak Dhien. Penyair, adalah nafas sebuah perjuangan rakyat Aceh. Ibrahim Kadir sangat bangga dan beruntung pernah menjadi orang kepercayaan Cut Nyak Dhien walau hanya dalam sebuah episode film.
Sangat beruntung, Ibrahim Kadir sang Penyair ternyata tidak begitu sulit di cari. Mengisi hari-hari tuanya, sang penyair dipercayakan menjadi tampuk pimpinan pembangunan Masjid Babussalam Kemili kabupaten Aceh Tengah. setiap waktu shalat wajib tiba, dipastikan Ibrahim ada bersama jama’ah masjid tersebut.
Assalamu’alaikum, ucap kami kepada seorang lelaki tua berpakaian biru dengan peci hitam dikepala yang duduk sendiri di teras Masjid Babussalam Kampung Kemili Kecamatan Bebesen Aceh Tengah, Kamis (5/11) sore. “Wa’alaikum salam, waktu belum masuk waktu ashar, kalau belum wudhu’ silahkan disebelah sana tempatnya,” jawab lelaki tersebut ramah.
“Iya Ama, sebenarnya kami ingin ngobrol dengan Ama,” kata teman yang bersama saya, Munawardi, seorang pemerhati sejarah Gayo di Aceh Tengah. Ama, bahasa Gayo yang berarti bapak.
Pria ini adalah pemegang peran Penyair dalam film Cut Nyak Dhien yang diproduksi tahun 1988 dan menjadi film terbaik di piala Citra, ajang penjurian perfilman nasional di tahun yang sama. Film yang disutradarai Eros Djarot tersebut juga menjadi film pertama Indonesia yang ditayang di festival film Chanes Prancis tahun 1989.
Diawali dengan perkenalan dan mengutarkan maksud pertemuan, sesaat kemudian kami hanya mendengar penuturan seniman gaek ini. Dari cara bercerita, Ibrahim Kadir tampak sangat menjiwai perannya dan masih sangat ingat semua yang dialami saat melakoni Penyair dalam film bergengsi tersebut.
Tanggal 6 Nopember, apakah bapak ingat sesuatu ? sesaat pria tersebut tercenung seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Aduh, saya ingat. Besok 6 Nopember adalah hari wafatnya Cut Nyak Dhien,” jawab Ibrahim Kadir dengan wajah yang tiba-tiba cerah bersemangat. “Saya sang penyair yang mengumandangkan Allahu Akbar dan menyanyikan Hikayat Prang Sabi untuk membakar semangat pejuang Aceh untuk melawan Ulanda Kape. Saya pernah bertengkar dengan Pang Laot. Saya katakan kepada dia “Hei Panglima Laot!, Dengan senjatamu kamu tidak akan bisa usir Kafir Belanda dari Aceh. Tapi dengan syair-syairku kafir-kafir itu akan tunggang langgang hengkang dari Aceh.”
Apa tugas dan fungsi Penyair dalam perang Aceh ?
Para Panglima boleh mati, akan tetapi penyair tak kan pernah mati. Saat Cut Nya’ Dhien dan para pejuang kelihatan lemah dan turun semangat, serta merta penyair hadir untuk kumandang Azan dan mengaji, dendangkan hikayat Perang Sabi dan pekikkan Allahu Akbar. Ketauhidan para pejuang dan rakyat Aceh yang membuat Kafir Belanda tidak bisa menaklukkan Aceh.
Lalu apa syair yang paling berkesan bagi Bapak ?
Cut Nyak Dhien pernah bertanya kepada saya. Penyair, apa syair yang paling indah ?, saya menjawab Allahu Akbar. Itulah syair yang terbaik di jagat raya ini.
Bagaimana Bapak melihat sosok Cut Nyak Dhien ?
Walau perempuan, Cut Nyak Dhien sangat kuat dan siap berperang lahir dan bathin karena dia adalah sosok yang bersih, imannya kuat. Belanda bisa kuasai raganya akan tetapi takkan pernah kuasai ketauhidan Cut Nyak Dhien serta seluruh rakyat Aceh.
Bagaimana perasaan Bapak saat ikut ambil peran dalam film Cut Nyak Dhien ?
Wah…sangat istimewa, saya seperti berada dalam kejadian sesungguhnya, apalagi saat film tersebut sudah jadi dan diputarkan. Tak terkatakan perasaan saya saat melihat acting saya dalam film tersebut. Saya tak percaya bahwa itu saya.
Bagaimana bisa terpilih sebagai actor ?
Aneh bin ajaib, suatu mu’jizat dalam hidup saya. Saya bertemu Eros Djarot dan kawan-kawan di Hotel Renggali Danau Laut Tawar Aceh Tengah. Saat itu, saya sebagai pelatih Didong yang dipertunjukkan kepada para insan film nasional tersebut. Sebelumnya saya tak kenal Eros Djarot, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Pietrajaya Burnama dan lain-lain. Eros menanyai saya, kita mau buat film Cut Nyak Dhien dan sedang cari pemain untuk Penyair. Apakah bapak bersedia datang ke Sigli ikut di tes dengan peran Penyair ?. Saya menjawab seadanya, bersedia.
Kira-kira satu bulan kemudian, Sekda Aceh Tengah yang dijabat M. Syarif menghubungi saya untuk ikuti tes di Sigli. Kepada Sekda tersebut saya jawab, saya tidak usah ikut, dan tak mungkin lulus. Saya juga tidak punya uang untuk ongkos. Sekda tetap memaksa saya, lalu saya diberi uang, cukup untuk ongkos PP dan makan satu hari. Kalo tidak lulus, harus langsung pulang ke Takengon.
Saya kemudian berangkat seadanya tanpa bawa perlengkapan pakaian. Saya hanya penuhi permintaan Sekda untuk ikut. Tiba di Sigli persis pukul 5 sore. Saya kaget, ternyata Eros Djarot, Slamet rahardjo, Christine Hakim, Pietrajaya Burnama. LK Ara juga sebagai peserta dan puluhan peserta lainnya sudah ada disana. Sesaat kemudian Eros Djarot langsung menuyuruh baca naskah film. Sebentar, sekitar 5 menit dan langsung di tes. Keinginan saya hanya ingin proses tersebut segera berlalu dan langsung pulang ke Takengon. Saya tak baca naskah tersebut dengan baik dengan alasan sebagai orang Aceh sudah faham sejarah Aceh.
Lalu apa yang ditanya Eros Djarot ?
Sebagai rakyat Aceh, bagaimana sikap rakyat Aceh saat melawan Belanda. Saya jawab, ini film Aceh bukan film Jawa, tentu tidak sama. Kalau orang Jawa menyapa tamu, singgah Mas, mau kopi ? silahkan diminum, dan lain-lain. Intinya, Jawa sangat ramah dan lemah lembut. Dan karena sikap seperti itu Jawa bisa dijajah hingga 350 tahun.
Nah kalau di Aceh, orang asing yang datang akan ditanya, so nyoe !, dari pane ?, na Assalamu’alaikum ? Han. Cang laju. Karena orang Aceh seperti itu maka Belanda tak berkutik di Aceh.
Eros kelihatan kaget, dan bertanya kepada rekan-rekannya. Nah, anda lihat, anda lihat. Itu orangnya.
Saya bingung, kenapa dan ada apa dengan saya . Eros kemudian katakan “selesai”. Saya betul-betul bingung saat itu. Apalagi setelah Eros katakan hasil testing diumumkan di Anjungan Mon Mata Banda Aceh. Saya tidak punya uang dan hanya bawa pakaian di badan.
Tak hilang akal, saya melobi LK Ara, jika saya tidak lulus maka LK Ara beri ongkos pulang ke Takengon. LK Ara setuju. Dan jadilah saya ke Banda Aceh.
Setibanya di Anjungan Mon Mata, saya tidak percaya diri untuk masuk. Saya bersama rekan seniman asal Gayo di Banda Aceh, Mursalan Ardy mengobrol saja diluar gedung. Saya tidak tahu jika seluruh pembesar dan tokoh-tokoh Aceh sudah berada di dalam Anjungan. Dari Ahli Adat, Gubernur Ibrahim Hasan, Kapolda Aceh Abullah Moeda, petinggi meliter, para rektor perguruan tinggi dan lain-lain.
Saya sama sekali tidak ikuti prosesi acara tersebut, termasuk saat Eros berpidato dan melaporkan hasil tes actor kepada para undangan yang hadir. “Semua pemeran untuk film Cut Nyak Dhien sudah lengkap. Untuk peran Teuku Umar, Slamet Raharjo, Cut Nyak Dhien oleh Christine Hakim, Pang Laot Pietrajaya Burnama, sebagai Nyak Bantu Rita Zahara. Untuk pemeran Penyair yang menembangkan Hikayat Perang Sabi membangunkan semangat perang rakyat Aceh sudah didapat, yakni dari “Jantungnya Aceh, Tanah Gayo” yakni Ibrahim Kadir.
Para pemeran terpilih dipersilahkan maju ke depan para undangan. Lalu, saat nama saya dipanggil, saya tidak dengar karena saya berada diluar. Sampai seseorang berteriak berulang-ulang, mana Ibrahim Kadir. Saya menjawab, hadir, ada apa ?. Orang itu meyuruh saya masuk. Akan tetapi malah saya spontan jawab, untuk apa ?.
Rekan saya, Mursalan menegur, tidak baik bersikap seperti itu, ayo masuk, ajak Mursalan. Saat berada di pintu Anjungan, Eros menunjuk, itu Ibrahim Kadir, kamu lulus. Saya bingung dan spontan menjawab, Lulus Apa ?.
Kemudian saya minta pengumunan diulang. Belum lagi selesai Eros mengulang pengumunan, Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan mendatangi saya yang masih tetap berdiri di depan pintu. “Ibrahim dari Gayo Aceh Tengah, ke depan kamu,” kata Ibrahim Hasan.
Di depan, saya kemudian dipeluk Ibrahim Hasan sambil berpesan, Bawa nama Aceh, kamu salah satu yang lulus jadi pemeran penting dalam film Cut Nyak Dhien, yakni sebagai Penyair. Gubenur kemudian menyelipkan Rencong Emas ke pinggang saya. Saya menangis terharu. Ibu Gubenur juga ikut-ikutan beri amanah, sebagai putra Aceh saya harus bawa nama Aceh.
Lalu bagaimana dengan rival-rival bapak ?
Hehehe., yang lucu sahabat saya, LK Ara yang mengaku sudah tiga bulan menyiapkan diri untuk terpilih sebagai pemeran Penyair akan tetapi tidak lulus. LK Ara ucapkan selamat kepada saya, tapi sambil berkata, ongkos pulang ke Takengon yang dijanjikan dibatalkan. Saat itu, diantara tangis kami tertawa terbahak-bahak.
Jadi untuk pemeran yang termasuk utama hanya bapak yang dari Aceh ?
Kalau melalui tes resmi iya, tapi ada seorang anak yang berperan sebagai Agam, pemerannya Kamaruzzaman asal Sigli dan sekarang bekerja di Jakarta. Khusus untuk cerita anak ini, saya bingung, sebenarnya anak siapa dia ?, benarkan keponakan Cut Nyak Dhien ?.
Perkiraan saya, anak tersebut adalah anak korban syahid kekejaman Belanda di Tenge Besi Kabupaten Bener Meriah sekarang. Dari tiga orang yang dibuang Belanda ke Sumedang, anak itu adalah salah satunya. Anehnya, tidak adanya catatan sejarah kemana anak itu pergi setelah Cut Nyak Dhien wafat di Sumedang.
Pembicaraan kemudian berakhir seiring dikumdangkannya Azan, waktu shalat Ashar sudah tiba. (Khalisuddin | www.theglobejournal.com)