.
SIAPA yang tidak bangga bila pondokannya dikunjungi oleh tamu dari daratan Eropa, apalagi pondokan kecil itu dijadikan tempat menginap selama berada di Takengon Aceh Tengah. Suasana itulah yang dirasakan keluarga Aman Shafa saat menyambut kedatangan dua orang gadis cantik dari Polandia sore tadi, Jumat (20/1).
Kedatangan gadis bule asal Polandia yang bernama Joanna Niedzialek (25) dan Bogumila Jablecka (25) membuat suasana pondokan ditengah kebun kopi itu makin meriah. Suara jangkrik bakda magrib ditambah ucapan good afternoon dari gadis bule itu, membangunkan anak-anak Aman Shafa yang sedang siap-siap beranjak ke peraduan.
Bagi anak dan isteri Aman Shafa, kehadiran bule ke pondokannya bukanlah sesuatu yang baru. Pondokan ditengah kebun kopi yang terletak di Desa Paya Serngi Kecamatan Kebayakan sudah sering dijadikan penginapan oleh komunitas backpacker internasional yang berkunjung ke Takengon.
Sebagai salah satu anggota komunitas backpacker internasional, Aman Shafa, isteri dan anaknya telah sangat siap menerima kunjungan tamu-tamu internasional itu. Tempat tidur tamunya tidak istimewa, hanya balai-balai kecil ukuran 2×3 meter yang beralaskan tikar plastik. Benar-benar cerminan asli suasana pondokan ditengah kebun kopi, sangat sederhana.
Dari pengamatan Lintas Gayo saat mengantar kedua backpacker itu ke pondokan Aman Shafa, ternyata balai-balai yang dibuat dari papan itu tingginya hanya 15 cm dari lantai semen. Sulit membayangkan dua gadis bule yang biasanya tinggal dirumah yang sangat lumayan, tiba-tiba harus menginap di pondokan petani. Tetapi, itulah fakta yang Lintas Gayo saksikan langsung sore tadi.
Menurut Aman Shafa, balai-balai itu digunakan keluarganya sebagai tempat makan secara lesehan sekaligus tempat nonton televisi. Balai-balai model itu memang ciri khas pondokan atau rumah kebun yang terdapat di Dataran Tinggi Gayo. Bahkan pondokan petani yang berada di pedalaman, biasanya tersedia tungku sederhana di tengah balai-balai. Fungsi tungku itu untuk menghidupkan api unggun agar ruangan menjadi lebih hangat.
Menyangkut dengan jasa penginapan dari kedua backpacker itu, Aman Shafa mengaku tidak pernah memintanya. Dia ikhlas melayani kunjungan mereka, apalagi tidurnya juga di balai-balai sederhana itu. Mereka tidak minta divan mewah, tidak minta selimut tebal, cukup digelar tikar maka mereka bisa tidur nyenyak berbantalkan ranselnya. Untuk mandi, mereka menimba air sendiri dari sumur. “Makan pun mereka tidak pilih-pilih, cukup dengan ikan asin dan sayur rebus,” ungkap Aman Shafa.
Prinsip Aman Shafa ada dua, pertama sebagai ummat Islam tentu wajib menghormati dan melayani tamu yang sudah mau berkunjung ke pondokannya, dan yang kedua mereka pasti akan mempromosikan keindahan panorama Kabupaten Aceh Tengah kepada teman-temannya yang lain. “Hitung-hitung sebagai upaya mendukung promosi pariwisata Indonesia,” kata Aman Shafa yang dibenarkan oleh isterinya.
Kepada Lintas Gayo, dua gadis bule itu menjelaskan bahwa mereka mendapat beasiswa untuk program studi Bahasa Indonesia di Universitas Kristen Petra Surabaya. Mereka sudah berada di Indonesia selama tiga bulan. Kebetulan saat ini sedang libur, maka mereka memanfaatkan liburannya untuk mengunjungi Aceh Tengah, The Paradise Land.
Ketika ditanyakan dari mana mereka mengetahui tentang Aceh Tengah, Bogumila Jablecka yang penyandang gelar master antropologi itu mengungkapkan bahwa mereka melihatnya dari internet melalui situs Lonely Planet. Mereka tertarik terhadap gambar keindahan panorama Danau Laut Tawar dan hutan hujan tropis yang masih alami.
Mereka memang mengetahui kondisi Aceh saat ini, tetapi mereka mengaku tidak takut karena itu sudah berlalu. Menyangkut dengan motivasinya mengambil studi Bahasa Indonesia, pertama karena bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa yang lain. Kedua, mungkin dengan kemampuan bahasa Indonesia akan terbuka peluangnya untuk menjadi diplomat atau entrepreneur.
Setelah lama berbincang-bincang, rona kelelahan terlihat di wajah Joanna Niedzialek dan Bogumila Jablecka yang hari ini telah keliling Danau Laut Tawar. Kemudian Aman Shafa mempersilakan mereka istirahat di balai-balai sederhana itu. Tanpa rasa risih atas fasilitas pondokan Aman Shafa, akhirnya kedua gadis bule itu merebahkan diri di atas balai-balai beralaskan tikar. Mereka perlu istirahat, karena besok akan melanjutkan perjalanan ke Ketambe di kaki pegunungan Leuser Aceh Tenggara.
Aman Shafa dan keluarganya pantas mendapat gelar sebagai salah seorang “duta” pariwisata. Barangkali, jika tulisan ini dibaca oleh Ibu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, orang-orang berkarakter seperti Aman Shafa dan keluarganya layak diberi penghargaan khusus. Dengan caranya yang sederhana, Aman Shafa dan keluarga telah sukses mengangkat potensi pariwisata Indonesia di mata dunia internasional. Bravo Aman Shafa, dua jempol untuk anda!
(Muhammad Syukri)
.