Ada Dendang Lagu Jepang Di Rimba Lhok Gayo

Aman Udin dan keluarganya. (Foto : Jaka)

.

JALAN setapak menuju rimba Lhok Gayo masih licin, dikiri-kanan jalan tikus itu penuh dengan semak belukar, bagi warga yang baru melintasi, memperlambat langkah merupakan keputusan yang tepat, bila tidak, resiko tergelincir atau jatuh akan dihadapi.

Waspada yang mendatangi kawasan perkebunan yang sudah menjadi rimba itu, Sabtu pekan lalu sempat kewalahan menaklukkan jalan setapak diantara kebun warga yang lama sudah tidak digarap lagi.

Terus melangkah, namun setelah dua kilometer sayup-sayup ditengah rimba itu terdengar dendangan lagu Jepang, tidak begitu jelas. Penasaran, penulis terus mendekati asal dendangan yang asing terdengar itu.

Bersama seorang teman, penulis terus menelusuri jalan setapak, sebuah hamparan di penuhi pohon sawit yang kurang terawat sudah kami lintasi, dendangan itu kian terasa dekat. kami terus melangkah.

“Mayotono sur yo akiti ka ka you ka kaya keba oyoma oo ka dayu oo yasima..” “oh itu dia, Assalmualaikum” Sapa Paijo teman ku, Sosok tua telanjang dada keluar dari balik semak, sapaan itu membuat pak tua yang hanya mengenakan celana pendek kumal itu mengentikan langkah dan dendangannya. Sesaat ia menjawab “Walaikum salam,” katanya sambil tersenyum.

Pak tua yang memangul potongan kayu dengan diameter sekitar 10 centimeter dengan panjang kurang dari dua meter itu kemudian mendekati kami, Mata senjanya menatap saya. “Mau kemana nak, kok pakai ransel,?” “Mau dengar bapak nyanyi, lagu apa itu pak?” Tanya ku.

“Wah itu lagu Jepang, Ayo ke pondok dulu nanti saya cerita,? Kata Pak tua dengan sikap ramah. Kami pun melangkah diatas jalan setapak yang licin. Sepelemparan batu dari tempat kami bertemu sebuah gubuk sudah terlihat, Dari jauh nampak kupulan asab. Terus mendekat, bau wangi mulai tercium.

“Ayo- ayo duduk sini,” ajak Pak Tua, tapi pria yang di sapa Aman Udin itu meminta penulis tidak terlalu dekat dengan kuali yang berisi air Nira mendidih. “Wah…baunya enak.. masak pak,? Tanya saya membuka pembicaraan. “ini air nira, nanti jadi gula aren,” kata Aman Udin menjelaskan.

Profesi sebagai pembuat gula aren tersebut sudah ditekuninya sejak usia muda, dan sejak tinggal di kawasan Lhok Gayo setelah hijrah dari kampung halamannya di Blangkejeran, pekerjaan Aman Udin sebagai pembuat gula aren juga masih digelutinya.

Air Nira yang di masak dalam kuali berdiameter sekitar 50 centimeter itu berasal dari tiga batang pohon Nira dikebun Aman Udin. Dalam sehari aman bisa membawa pulang lima sampai enam kilogram Gula aren yang sudah siap di cetak.

Sepekan kemudian, Aman Udin meminta anaknya membawa gula aren ke Blangpidie untuk di pasarkan. “ Disana sudah ada yang tampung, sekilo di bayar Rp7.000,” kata Jumadin anak Aman Udin.

Berebut dengan beruang

Untuk mendapatkan air nira dari batangnya aman harus berjuang dengan mempertaruhkan nyawa, mengingat usia yang sudah lanjut, rasanya mustahil bagi Aman Udin bisa memanjat pohon itu, Namun saban hari usia shalat subuh sejak 15 tahun lalu, Aman sudah melangkah meninggalkan rumah menuju tiga pohon nira di tengah rimba Lhok Gayo.

Kehadiran Aman Udin di pagi buta bukan tanpa alasan, terkadang bila telat datang maka pohon sudah di jambangi oleh beruang yang juga mengincar air nira sejuk dan manis. “beruangnya kadang-kadang saja datang, tapi kalo bertemu saya usir saja, dia sudah mengerti,” Kata sambil tersenyum penuh makna.

Dikampung Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot pria yang mengaku sudah berumur sekitar 80 lebih tahun itu di sapa Aman Udin, tidak banyak warga yang mengetahui namanya. “orang hanya mengenal saya Pak Aman Udin, padahal nama asli saya Rahmat Lembung,” Katanya.

Lagu Jepang

Bagi orang Gayo, Aman berarti Ayah sementara Udin adalah nama anak tertua Rahmat, Jadilah Suami Aminah ini di sapaan Aman Udin. Sapaan itu sesuai dengan kebiasaan warga Gayo, sebuah komonitas yang kini mendiami dataran tinggi di Kabupaten Aceh Tenggah, Aceh Tenggara dan Kabupaten Bener Meriah.

Lantas dari mana Aman Udin bisa mendendangkan Mars Lagu Jepang itu? Sebuah lagu pemberi semangat bagi prajurit Jepang di masa penjajahan dulu, “ Waktu itu saya masih kecil, tentara Jepang sering mengajari saya,” Kata Aman Udin.

Masa kecil Aman Udin dihabiskan di Blangkejen, Saat itu dia sudah mulai membawa buah-buahan kepasar untuk di jual, “ saat itu sering punggung saya di elus tentara Jepang, sekarang pun masih terasa,” Katanya sambil

Saat itulah Rahmat kecil di ajarkan mars tentara jepang itu, mulailah Aman Udin menyanyi “Mayotono sur yo akiti ka ka you ka kaya keba oyoma oo ka dayu oo yasima sinasa isi asura suto oo you ma kadayu oo Yasima,”

Bila di Indonesia kala pejuang merebut kemerekaan dulu, lagu Mars pemberi semangat seperti sorak sorak bergembira dan Halo halo bandung lazim di dendangkan oleh pejuang, begitu juga dengan Mars yang di nyanyikan oleh Aman Udin atau Pak Rahmad.

Bagi Aman Udin Lagu itu sudah memberikan semangat hidup baginya, meski dari beberapa sumber menyebut Aman Udin adalah korban Konflik yang terlupakan. Kepahitan hidup keluarga miskin yang kehilangan anak perempuannya itu sesaat lenyap bersama lagu itu.

Meski sama-sama tidak mengetahui artinya, serempak kami pun berdendang “ Mayotono sur yo akiti ka ka you ka kaya keba oyoma oo ka dayu oo yasima sinasa isi asura suto oo you ma kadayu oo Yasima,”

Aman Udin korban Konflik yang terlupakan

Konflik yang mendera aceh memang telah berakhir, pemerintah pun hingga kini terus melakukan rehabilitasi kepada korban konflik baik yang merupakan korban dari aksi Anggota Gerakan Aceh Merdeka maupun korban serdadu pemerintah Indonesia.

Namun rehabilitasi yang dijanjikan itu belum memberikan rasa adil keadilan bagi korban, masih banyak di pelosok Aceh korban perang itu yang terus menunggu janji.

Satu diantaranya Rahmat atau lebih dikenal dengan Aman Udin (80) si pembuat gula Aren di Rimba Lhok Gayo. Aman Udin dan Istrinya Aminah harus rela kehilangan rumah akibat di bakar oleh serdadu pemerintah.

Tidak hanya itu, anaknya sang anak Jumadin juga harus menanggung perih, ia harus dirawat secara tradisional selama sebulan di dalam rumah, “anak saya di aniaya oleh tentara,” kata Aminah (70). Sabtu, pekan lalu.

Kecuali 10 bambu beras, hingga kini pemerintah belum memberikan bantuan atas kemalangan yang menimpa Aman Udin dan keluarganya.

Setelah rumah beserta isinya hangus jadi abu, Aman Udin dan keluarganya harus tinggal di perkampungan Lhok Gayo, jauh dari tempat ia berusaha. Ditempat yang baru itu hidup keluarga miskin itu kian sulit.

Usahanya sebagai pembuat gula aren terganjal sebuah larangan, ia dan warga lainnya tidak di perbolehkan masuk kedalam rimba, terkait keamanan Aman Udin dan warga lainnya.

Saat konflik berkecamuk, Rimba Lhok Gayo merupakan arena perang antara pasukan Pemerintah dengan Anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Di wilayah itu juga Aman Udin membuat Gula Aren.

Aman Udin kian binggung menghadapi hidup, ia berharap damai segera datang, sehingga tidak ada lagi perang dan penganiayaan. “Saya hanya mau buat gula aren untuk membeli beras,” Kata Aman Udin

Tidak hanya Aman Udin, puluhan warga lain juga bernasib serupa, kebun mereka jadi tidak terawatt dan menjadi semak belukar karena harus ditinggalkan, banyak warga Lhok Gayo yang beralih profesi dari petani menjadi pencari Ikan Lele agar bisa bertahan hidup.

Namun Aman Udin tidak memiliki keterampilan sebagai pencari Ikan Lele di rawa-rawa disekitar Gampong Lhok Gayo. Ia tetap bertahan sebagai pembuat Gula Aren.

Sebulan bertahan Aman Udin kemudian mengangkangi larangan masuk rimba. “Saya tidak mau keluarga mati karena kelaparan, dan saya juga tidak takut mati, toh memang sudah tua,” kata Aman Udin sambil tersenyum.

Keputusan untuk masuk rimba dan memulai rutinitas sebagai pembuat Gula Aren mendapat tantangan dari kelurganya yang takut pak tua itu jadi korban sengketa tentara pemerintah dan para kombatan. “ Saya tidak peduli, saya langsung masuk rimba,” kata Aman Udin.

Keputusan Aman Udin akhirnya berbuah pahit, beberapa kali Aman Udin di datangi tentara. Ia di cerca pertanyaan seputar aktifistasnya di tengah rimba. Ia juga di wanti-wanti oleh para combatan GAM. “posisi kita saat itu sangat sulit,” kata Aman Udin.

Beruntunglah Aman Udin memiliki keterampilan berbahasa batak dan bahasa Jawa. Karena itu pula semua kecurigaan dari serdadu pemerintah itu bisa teratasi.

Kepada combatan GAM, pembuat gula aren itu lebih memilih diam, “mungkin mereka tahu kerja saya cuma buat gula aren saja,” Kata Aman Udin sambil tersenyum. Sikap dan kemahirannya berbahasa itu membuat Aman Udin tetap bisa bekerja menghidupi kelurganya.

Pria yang tidak begitu terampil berbahasa Aceh mengaku membuat Gula aren adalah profesi yang bisa digeluti. “Saya tidak bisa cari lele, pekerjaan saya hanya sebagai pembuat gula aren, hanya itu yang saya bisa,” Kata Aman Udin

Waktu terus berlalu, kondisi keamanan di Aceh terus memprihatinkan, dan Aman Udin dalam kondisi itu terus saja menjalankan usahanya sebagai pembuat Gula Aren. “waktu itu saya hanya bisa berdoa agar Aceh aman,” Kata Aman Udin.

Harapan Aman terkabul, setahun setelah rumah hangus, bencana tsunami menghantam Aceh, dan delapan bulan kemudian RI dan GAM berdamai.

Meski luka dan perih sudah pulih, namun istri Aman Udin, masih bertanya, “Kami ini orang bisa, rakyat kecil. kenapa kami yang korban,?” Tanya Aminah.

Kini ditengah damai Aman Udin dan keluarganya hanya berharap pemerintah membangun kembali rumahnya yang dibakar, karena ia mengetahui pemerintah akan menyediakan rumah bagi para korban konflik. “Karena memang sudah di janjikan,” Kata Aman Udin

Disamping itu ia dan warga juga berharap pemerintah daerah Kabupaten Aceh Barat Daya membangun kembali jalan dan jembatan yang rusak dan memberikan modal berusaha para warga Lhok Gayo. “bantulah kami rakyat kecil ini,” harapnya.

Diakhir pertemuan dengan penulis, Aman Udin berpesan, Lupakan masa lalu, kita lihat masa depan bersama –sama.

(Di Posting : 29 Agustus 2007 | http://jakacjr.wordpress.com | Red-03)

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.