Drs Ishak*
Dalam sistim pemerintahan Negara Republik Indonesia, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan proses demokrasi yang dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun sekali, semua elemen masyarakat telah melaksanakan proses demokrasi ini sejak berusia 17 tahun atau telah menikah.
Seseorang telah melaksanakan Pilkada beberapa kali dalam kehidupannya. Dalam menentukan pilihan biasanya didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain; pendidikan, pengetahuan, wawasan, pengalaman, moral, pertalian darah, asal usul calon, partai yang mengusung calon, dan segudang pertimbangan lainnya, serta banyak juga masyarakat menentukan pilihan sekedar hanya ikut ikutan memilih Bupati atau Gubernur tanpa memahami apa manfaat dan pengaruhnya terhadap daerah, masyarakat, dan kehidupan disekitarnya, bahkan sehagian masyarakat/kelompok masyarakat memilih salah satu calon Bupati dikarenakan yang bersangkutan telah menerima “sesuatu” berupa oleh-oleh atau buah tangan dari salah satu calon bupati atau Tim Sukses (TS ) calon Bupati bisa berupa selembar kain sarung, bantuan pembangunan menasah/masjid, bakal untuk baju persatuan dan sebagainya bahkan sebagian lagi menyakini janji-janji calon bupati.
Berbagai cara dilakukan oleh para calon bupati untuk bisa menang dan terpilih, tidak peduli cara itu legal atau ilegal, halal atau haram, dan bahkan ada calon atau TS yang mendiskreditkan calon lainnya, menjelekkan calon lainnya, agar masyarakat meyakini bahwa dialah calon bupati yang paling terbaik, dialah yang mampu, dialah yang paling hebat dari calon bupati lainnya.
Semua Calon Bupati atau Wakil Bupati, mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk bisa menang dan terpilih. dana tersebut antara lain digunakan untuk membiayai, kontribusi terhadap Partai Pendukung, Biaya Kampanye, Akomodasi dan Transportasi, Biaya saksi yang ditugaskan pada TPS, Biaya untuk puluhan dan bahkan ratusan TS, Bantuan–bantuan terhadap seseorang atau kelompok dan banyak lagi pengeluaran untuk keperluan lainnya.
Kita semua dapat membayangkan bahwa dana yang milyaran ini tentunya tidak mungkin semuanya ditanggung oleh para calon Bupati, tetapi dibantu juga oleh para donatur dari berbagai elemen masyarakat, perseorangan, para pengusaha, dan pihak pihak lain yang berkepentingan. Sulit diterima oleh akal sehat dana yang dikeluarkan tidak dikembalikan setelah menjabat jadi Bupati atau Wakil Bupati.
Mari kita renungkan bersama, masih berlakukah pada saat ini kalimat “Membantu tanpa pamrih” mungkin sebahagian kita sependapat bila bantuan itu diberikan hanya sedikit tentunya ada yang berjiwa ikhlas, tetapi bagaimana apabila bantuan itu nilainya lumayan banyak, apakah seseorang tidak mengharapkan balasan?
Dari sekilas gambaran diatas, dapat kita menduga, para donator, para pendukung, akan menuntut perhatian khusus bila kandidat yang mereka dukung terpilih dan ditetapkan sebagai pemenang. Perhatian khusus terhadap donator dan pendukung tersebut dapat berbentuk pemberian proyek, pemberian jabatan dan lain sebagainya.
Para pengusaha akan berusaha mengembalikan modal yang dikeluarkan dan mendapatkan keuntungan melalui proyek yang diberikan oleh kandidat yang didukung bila terpilih sebagai pemenang, para pejabat akan mengharapkan kedudukan dalam jabatan.
Kenyataan yang bisa kita lihat bersama, para pejabat akan membuat program dan membangun seputaran lingkungan dia tinggal atau daerah dimana ia dilahirkan, hal ini dipengaruhi oleh masyarakat sekitar serta tanggung jawab moral pejabat yang bersangkutan untuk membangun daerah sekitarnya, sehingga tidak aneh bagi kita apabila ada pembangunan yang tidak prioritas atau belum sepantasnya dibangun tetapi dibangun juga, sementara daerah lain yang sangat prioritas untuk dibangun, hanya kebagian pembangunan WC Umum.
Dalam kesempatan ini, mari kita melihat Aceh Tengah ke depan, dan belajar dari masa lalu, mari tujukan pilihan kita kepada pemimpin yang Jujur, Adil, Bijaksana dan bisa membangun Aceh Tengah secara menyeluruh dan menempatkan para pejabat yang mampu bekerja sesuai bidang keahliannya.
Jangan korbankan Aceh Tengah akibat kita salah memilih bupati, mari kita tempatkan diri kita sebagai salah satu dari rakyat Aceh Tengah yang menghendaki kesejahteraan, keadilan, kejujuran, dan sebagainya.
Aceh Tengah bukan milik Bupati. Aceh Tengah bukan milik Pejabat Aceh Tengah milik kita semua. “janganlah mengatakan seseorang baik karena pemberiannya”, “janganlah mengatakan seseorang baik karena kata katanya”, “janganlah mengatakan seseorang baik karena penampilannya”, “Mari kita katakan, seseorang itu baik karena perbuatannya dan sangat memahami kebutuhan rakyatnya”…
*Pemerhati Politik, tinggal di Aceh Tengah