Oleh Luqman Hakim Gayo
Inilah kenangan dari Provinsi ke-27 Timor Timur, yang kini sudah menjadi Negara sendiri. Berkunjung ke Timor Timur pada waktu itu, besar sekali artinya. Karena, tidak semua orang dapat dengan mudah melakukannya. Selain kekacauan bagai tak pernah reda, korban pergolakan politik juga terus berkecamuk. Bahkan belakangan, berkembang menjadi pertikaian antar agama. Saya berkesempatan dua kali mengunjunginya, yaitu pada Agustus 1995 dan Februari 1996.
Pada awal-awal berintegrasinya kawasan ini ke dalam pangkuan Republik Indonesia, pemerintah pusat melakukan kebijakan secara khusus. Antara lain, tidak semua orang dengan bebas keluar masuk ke sana. Ada beberapa informasi. Berkunjung ke bekas koloni Portugis itu, harus seizin pihak Keamanan. Mengingat daerah itu masih dalam pengawasan dan dinilai belum aman benar-benar.
Bagi saya, dorongan sangat kuat untuk harus melihat negeri itu dari dekat. Saya sudah beberapa kali terjun dalam kancah peperangan besar, seperti di kawasan Balkan dan Timur Tengah. Sedang di Timor Timur hanyalah sebuah pergolakan lokal yang mendapat sokongan dari pihak internasional. Karena itu, seperti apa kancah peperangan di Timor Timur, saya ingin melihatnya.
Negeri ini bergabung dengan Indonesia sejak 31 Mei 1976. Perjuangan untuk menjadikannya Provinsi ke 27 sangatlah berat. Sebuah komplek perumahan khusus janda korban Timor Timur di Bekasi, menjadi catatan betapa banyaknya yang tewas dalam peperangan merebut koloni itu. Komplek Perumahan Seroja, namanya. Bahkan kecamuk pro-kontra integrasi, khususnya melalui gerilya belum juga berhenti. Kontak senjata bisa meletus sewaktu-waktu .
Pemerintah pusat sudah mulai membangun sarana dan prasarana dengan menghabiskan anggaran biaya yang luar biasa. Bahkan lebih besar dari provinsi lain. Seiring dengan pembangunan itu, pejabat sipil dan militer ikut dilantik. Baik jajaran pemerintahan maupun perwakilan departemen pusat untuk berbagai sektor. Sama seperti provinsi lainnya.
Saya berangkat, berkat bantuan seorang pejabat setingkat Kanwil yang sangat teguh beribadah dan peduli dengan Islam. Ia mengundang beberapa wartawan dari Jakarta untuk melihat perkembangan agama Islam di negeri itu, yang menurut penglihatannya sangat dianak tirikan oleh pemerintah provinsi baru. Menurut dia, pemerintah setempat tidak adil dalam pembinaan keagamaan untuk warga Timtim.
Perkelahian massal atau pertempuran yang dipicu oleh konflik agama, sering terjadi dan sangat mengerikan. Hal itu yang membuat saya was-was pada mulanya. Betapapun ngerinya, toh, harus dilihat dari dekat, seperti apakah konflik yang kemudian berkembang menjadi pertikaian massal itu..
Setibanya kami di Airport Dili, ibukota Tim Tim, langsung di jemput oleh petugas khusus. Rombongan kami diamankan di sebuah rumah dalam komplek perumahan karyawan. Rumah itu belum dihuni. Kami dilarang berkeliaran, nyaris tidak pernah keluar. Beberapa ibu tetangga, telah mendapat tugas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama berada di Dili. Lumayan, seperti tamu rahasia yang berleha-leha beberapa hari sebelum ada instruksi program perjalanan.
Komplek An-Nur
Malam-malam awal kami tiba di Dili, sejumlah pemuda Islam didatangkan. Termasuk beberapa da’i muda. Mereka bercerita suka-duka berdakwah di koloni Portugis itu. Diusir, dicemoohkan bahkan difitnah. Ada yang dikeroyok rame-rame dan digiring ke pantai. Sementara, pengikut pengajian, ditangkap lalu dipukuli. Para muallaf lebih sedih lagi. Mereka ditangkap dan disiksa di kantor polisi setempat.
Satu-satunya tempat menyelamatkan diri para juru dakwah dan muallaf, adalah komplek An-Nur. Komplek ini tempat bermukimnya segelintir umat Islam sejak koloni itu berdiri. Mereka datang dari Hadramaut, berdagang dan menetap. Akhirnya menjadi penduduk asli sebagai bagian dari warga Timor Portugis. Mereka memiliki toko-toko dan kehidupan relatif lebih baik dibanding penduduk asli.
Mereka semua beragama Islam. Di satu sudut kota Dili, Lacidere, mereka mendirikan sekolah-sekolah Islam, mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah. Masjid, Musholla, pondok dan asrama anak yatim. Semua berkumpul di komplek yang disebut An-Nur itu, sesuai dengan nama Masjidnya.
Ketika terjadi peperangan besar antara dua kubu, yang pro dan kontra integrasi, komplek ini menjadi persinggahan pertama pasukan pendatang dari Indonesia. Pasukan khusus dari TNI mendarat di kawasan An-Nur, karena komunitas komplek An-Nur lebih berbau Indonesia dibanding yang lain. Memang, disini sudah mengenal bahasa Indonesia. Selain itu, sebagian besar yang didatangkan beragama Islam. Disini mereka bisa leluasa menunaikan ibadah. (bersambung)