Merebut Batas Di Bumi Linge

MATAHARI pagi mulai memancarkan sinarnya, walau masih agak gelap dan berkabut Pendi bergegas berangkat ke kebun untuk membersihkan perkebunan pinang, kelapa dan sebagian pohon kopi. Pekerjaan ini rutin dia lakukan sembari menunggu sarapan pagi yang di masak sang istri.

Begitu juga dengan penduduk lainnya, mereka selalu lebih cepat ke kebun untuk mengontrol hasil pertanian yang ada. Kadang kala mereka saling berebutan dengan gajah liar untuk memanen hasil perkebunan. Mengapa gajah ikut memanen hasil kebun mereka? Jawabannya adalah karena hutan sebagai habitat gajah tersebut dilumat habis oleh segelintir manusia “rakus”.

Daerah tersebut bernama Desa Pantan Lah, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah yang di buka menjadi perkebunan sejak tahun 1976 (dulu masih Aceh Tengah). Desa ini cukup terisolir, menuju ke sana melewati jembatan gantung yang membelah sungai Pesangan. Walau hanya satu kilo meter jaraknya dari jalan negara. Apabila kita menuju Bireuen, tepatnya di Perbatasan Bener Meriah KM 35, kita dapat melihat ke arah barat, Desa Pantan Lah nampak dilihat dengan mata telanjang.

Dua tahun yang lalu, Desa tersebut cukup indah. Karena dikelilingi hutan yang sangat lebat, isi hutan itu bukan main-main. Banyak terdapat kayu berkualitas super, mulai kayu semantok, jempa, meranti dan lainnya. Saat ini hutannya juga mulai lapang, karena banyak pembalakan liar. Bukan hanya itu, Pemkab Bireuen juga menurunkan alat beratnya “mencaplok” dan membuka lahan persawahan baru di sana.

Ini juga yang membuat kawanan gajah liar turun ke desa mengamuk dan memanen hasil perkebunan warga, karena habitat binatang yang memiliki belalai ini diganggu dan di jarah oleh manusia.

Anehnya lagi, saat ini di Desa Pantan Lah terdapat dua Kepala Kampung. Begitu juga dengan warganya, mereka ada yang memiliki KTP Bener Meriah dan sebagian yang lainnya memiliki KTP Bireuen. Lebih gila lagi, salah seorang warga Pantan Lah Mukhtar pada tahun 1990 an pernah menjadi sekertaris desa. Kini “berhianat” membuat desa baru bernama Desa Pante Pesangan yang dia pimpin langsung dan tunduk ke Kecamatan Juli Bireuen dengan memimpin sekira 20 KK.

“Ini adalah peristiwa luar biasa, sama dengan satu negara ada dua pemimpin. Tahun 2002 saat saya menjabat kepala desa di sini dan masih wilayah Aceh Tengah tidak ada terjadi penyerobotan lahan. Sekarang saat Bener Meriah sudah mekar tiba-tiba sebagian besar kampung kami di serobot oleh Bireuen serta masyarakat terpecah belah ,” ungkap Pendi mantan Kepala Desa Pantanlah yang menjabat pada tahun 2002 lalu, saat itu masih dalam wilayah Aceh Tengah.

Pantan Lah Kekuasaan GAM Wilayah Linge

Ternyata bukan hanya pemerintahan resmi yang berebut wilayah administratif, buktinya saat Aceh sedang dilanda konflik ada dua kekuatan berebut wilayah Pantan Lah. Yakni GAM Linge (meliputi kekuasaan Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara) dengan GAM Bireuen.

Pendi menuturkan, saat itu medio tahun 2002 dia sebagai kepala desa di Pantan Lah bersama masyarakat dan dua pimpinan GAM Linge Alm Jamaluddin, serta GAM Bireuen juga dihadiri Biro Penerangan GAM Tgk Daud duduk sepakat untuk menentukan batas wilayah “kekuasaan” administratif.

Hasil kesepakatan bersama warga dan para pemimpin GAM saat itu beserta sejumlah bukti dukungan berupa peta dan sejarah asal muasal Pantan Lah, maka daerah ini tetap masuk dalam kekuasaan GAM Linge.” Saat penentuan batas tersebut penuh dengan persaudaraan. Tidak ada cek-cok dan saling ancam. Ke dua belah pihak saling memahami, sehingga Pantan Lah tetap masuk wilayah Aceh Tengah dan dalam genggaman wilayah GAM Linge ,” ungkap Pendi.

Dari kejadian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa GAM yang dulu di anggap separatis dan di kejar-kejar oleh negara dapat dengan jernih memecahkan persoalan sengketa perbatasan tanpa ada gesekan. “ Namun mengapa Bener Meriah dan Bireuen yang resmi memiliki daerah secara kenegaraan dan pemerintahan tidak mampu mengurus perbatasan ini ,” tanya Pendi.

Jangan dikira persoalan perbatasan di anggap sepele, pergesekan antara masyarakat pelan-pelan mulai terjadi. Apalagi saat ini alat berat milik Pemkab Bireuen sedang bekerja di Wilayah Pantan Lah untuk membuka lahan persawahan baru, sehingga sebagian warga yang mencintai wilayah Linge terusik.

“Saya hawatir terjadi pergesekan sehingga sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, ketika timbul korban baru Pemkab Bener Meriah “melek”. Kalau Bener Meriah tidak sanggup, kembalikan saja wilayah ini ke Aceh Tengah ,” ancam Pendi melihat ketidak seriusan Pemkab Bener Meriah menungurus daerah terpencil yang berada di perbatasan itu.(Khairul Akhyar, Tulisan ini telah terbit di Harian Waspada)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.