SADARKAH kita saat ini sedang terperangkap di dalam masa atau dunia yang penuh problematika dengan tingkah laku manusia yang terkadang di luar batas logika bahkan membuat kita jenuh, marah dan sampai benci. Masalah-masalah kian hari kian banyak mendera manusia dari mulai masalah politik, rumah tangga, pendidikan hingga masalah pernikahan.
Salah satunya adalah masalah perjodohan satu suku atau di kenal juga jika menikah harus dengan suku sendiri, tidak boleh berlainan suku. Masalah ini sepertinya bukan masalah yang penting, tetapi alangkah baiknya jika kita cari cara penyelesaiannya agar tidak terlalu mengganggu pikiran atau membuat galau para kawula muda (remaja) dan supaya suatu saat bisa di gunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan di saat waktu yang tepat.
Mungkin banyak dari kita telah mendengar atau bahkan telah mengalami secara langsung hal tersebut. Merasa bahwa orang tua tidak berpihak dan mengerti perasaan kita sebagai mahluk yang mencintai dan di cintai, karena larangan dari orang tua, kelurga dan sanak famili serta masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal kita.
Rupanya hal ini tidak saja berlaku di daerah kita Gayo tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia bahkan dunia, misalnya saja seperti mitos yang ada di tanah Pasundan, lelaki Suku Sunda tidak boleh menikah dengan perempuan Suku Jawa, padahal jika kita liat daerah Pasundan bukankah Suku Sunda juga berada dalam kawasan Tanah Jawa. Tetapi mengapa ini bisa terjadi? inilah realita yang tidak bisa kita pungkiri tentang syarat kecocokan pasangan versi mereka.
Seperti itu juga yang terjadi terhadap pemikiran sebagian orang tua suku Gayo yang beranggapan bahwa jika sang anak ingin menikah nanti tidak boleh menikah dengan orang dari luar suku atau mesti satu suku yaitu Suku Gayo sendiri. Sangat disayangkan anggapan ini berkembang bak mitos di tanah Pasundan yang menganggap jika menikah dengan suku lain tidak akan ingat terhadap orang tua serta keluarga lagi, tidak akan bahagia, akan mengikuti watak suku tersebut misalnya ucit (pelit) dan entah apa lagi.
Anggapan terhadap suku-suku tertentu yang dianggap kurang baik oleh masyarakat walau pikiran tersebut hanya bagian terkecil dari pikiran masyarakat secara menyeluruh. Tetapi anggapan ini nampaknya berbanding terbalik dengan anggapan kaula muda Gayo khususnya remaja, mereka tidak menghiraukan perkembangan paradikma berpikir masyarakatnya dan orang tua karena mereka sadar bahwa anggapan masyarakat belum tentu kebenarannya dan dianggap kuno atau jadul, walau masih ada juga yang masih beranggapan sama dengan anggapan masyarakat karena meyakini kebenaran setelah melihat fakta-fakta yang terjadi di lingkungannya.
Yang paling menggelitik hati dan pikiran penulis adalah perkataan dari sanak famili Saya yang waktu itu berkumpul di rumah karena ada kenduri, “enti kenal Urang “S” jerohen Urang Gayo ken pemen ni kami”–jangan cari orang “S” lebih baik orang Gayo yang jadi menantu kami– mungkin kata-kata ini keluar secara spontan atau tanpa di segaja sama sekali dari mulut dan pikiran mereka, karena melihat budaya serta bahasa yang berbeda, terlebih jika orang yang sudah tua dalam Suku Gayo biasanya menyukai makanan ceceh, pengat, masam jing dan lainnya yang notabennya suku lain di luar Suku Gayo tidak bisa membuatnya ini salah satu pertimbangan mereka.
Tetapi kata-kata ini menjadi semacam ‘sugesti’ yang kuat untuk membentuk pola pikir kita mengurungkan niat mendekati suku lain di luar Suku Gayo ucapan tadi karena memang pemikiran mereka di dasari oleh fenomena yang mereka lihat serta amati yang terjadi di lingkungan mereka, seperti ada menantu yang tidak sayang dengan mertua, adik, kakak dan sebagainya.
Banyak dari kita khususnya orang tua langsung mengambil sebuah kesimpulan tanpa mencari apa sebenarnya masalah dan bagaimana asal muasal masalah tersebut bisa berkembang hingga menjadi seperti itu. ini yang terjadi sehingga kita terjebak dalam pemikiran yang salah bahwa suku lain tidak pernah baik, suku kita lah yang paling terbaik, sifat ini muncul karena kita malu dan malas mencari kelemahan suku sendiri, kita cenderung menganggap bahwa itu bukanlah masalah yang besar.
Kalau kita tilik dari segi sejarah orang terdahulu seperti ‘muyang’ serta ‘datu’ berpikiran selangkah lebih maju atau moderen terbukti dengan tidak pernah beranggapan atau berpikiran seperti, itu malahan Orang Gayo jaman dahulu lebih menghormati suku dan bangsa lain. Hal ini terbukti dengan adanya istilah Exogam yaitu suatu istilah dalam adat perkawinan masyarakat Tapanuli bahwa untuk mencari jodoh harus di luar marga.
Suku Gayo juga melarang keras diantara mereka Urang Gayo menikah dengan belahnya sendiri atau satu belah. Menurut adat masyarakat Gayo perkawinan endogami menjadi larangan atau pantangan dan bagi siapa yang melanggarnya akan dikenakan sanksi atau hukuman adat yang lebih di kenal dengan nama Farak (hukuman ganti rugi menyembelih kerbau kalau tidak harus keluar dari kampong) walau pun tidak mempunyai hubungan genealogis. (Melalatoa, M.J. 1995. Enskiklopedi Suku Bangsa Indonesia). Menurut masyarakat Gayo menikah dengan lain belah dapat menghidari keturunan yang terlahir cacat dan bermental lemah serta akan memudahkan hubungan genealogis antara satu kampung dengan kampung lainnya, sehingga dapat membuka keterisoliran Gayo pada saat itu.
Permasalahan larangan menikah dengan orang yang berlainan suku baru menjadi masalah dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini karena telah terjadi alkulturasi budaya di Tanoh Gayo sendiri dengan banyaknya pendatang dan keberangaman suku-suku yang mendiami negeri antara pada saat ini serta di tambah lagi dengan banyaknya orang Gayo yang mulai keluar dari daerahnya sehingga membawa perubahan dalam tatanan pernikahan dan pikiran orang Gayo itu sendiri.
Di tengah masyarakat yang multietnis dan multikultur seperti saat ini, tentu pernikahan berlainan suku tidak bisa di hindarkan sama sekali karena pada dasarnya sebagai manusia tentu kita menginginkan yang terbaik, pendamping hidup yang bisa membuat nyaman serta menjadi imam yang baik, ALLAH juga berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi seperti ini:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Kalau kita telusuri dalam satu keluarga saja bisa berbeda-beda pola pikir serta tingkah lakunya walau dikandung dan dilahirkan oleh ibu yang sama apa lagi yang berlainan suku sudah pasti ada perbedaan dan ini tentunya semakin membuka wawasan serta memperkenalkan Suku Gayo kepada masyarakat luar sehingga mereka lebih mengerti dan memaham kita.
Menikah dengan yang satu suku pun belum tentu cocok, belum tentu baik perilakunya. Su’udhon terhadap suku lain tentunya bukan hal yang baik karena kita sendiri juga tidak mau bila ada suku lain su’udhon terhadap suku kita karena itu masalahnya bukan di kata suku tetapi kembali lagi kepada individunya masing-masing.(irwanputra88[at]gmail.com)
*Mahasiswa asal Bener Kelipah di Bandung